"Huft! Tidak selelah menantimu, tetapi sudah cukup menambah beban di pendakian tanpamu."
Setelah kepergian pendaki yang turun, ada beberapa pendaki datang dengan tujuan yang sama untuk naik. Mengingat hari sabtu, bukan hanya rombomngan saja yang datang, beberapa pasangan suami istri sampai yang masih pacaran saja sudah terlihat melewati. Jarum jam sudah menunjuk pukul satu siang, mereka sepakat untuk mengqada salatnya. Mengingat keadaan yang sangat tidak memungkinkan.
Hingga Irsad yang memandu rombongan meminta untuk berjalan kembali, bukan sebuah jalan berbatu landai, tetapi sebuah bukit yang harus dilalui dengan cara berjalan miring. Otomatis beban yang dibawa ikut miring ke kiri! Acha mulai mengatur napas, usahakan jangan sampai oleng. Bukan satu jalur, ada tiga sekaligus yang bisa diambil. Pertama, paling kanan berarti paling menanjak lerengnya, di tengah aman tetapi masih miring juga, sedangkan paling bawah banyak longsoran.
Kemungkinan jika pendaki tidak hati-hati bisa terperosok ke bawah jurang sana. Acha sendiri memilih jalur tengah, mengikuti langkah kaki Bram yang terus mengintainya, padahal ia juga sedang fokus membimbing Devit untuk berjalan di jalur paling atas. Dari bawah, Atul meminta kepada Acha untuk menariknya.
"Aduh, kok, berasa pusing, ya," keluh Atul.
"Semangat! Semangat!" sorak Acha.
Akhirnya! Acha tersungkur merasakan lutut yang menahan beban kala berjalan di kemiringan. Berhasil juga melaluinya dengan aman. Ternyata seolah mengelilingi bulatan bola, berjalan semiring-miringnya. Napas sudah tak beraturan. Acha dan Devit langsung merebahkan diri. Semilir angin pegunungan sangat menenangkan, terlihat jelas awan digiring angin ke hilir. Hijau dedaunan nyata yang tak bisa digapai dengan gampangnya.
"Minum ...," pinta Devit, menggapai-gapai.
Acha yang siap menegakkan tubuhnya untuk mengambilkan air minum, dengan cepat dihalau oleh Bram. Ia memintanya untuk tetap istirahat saja. Bram pun membuka daypack Devit, mengeluarkan botol air mineralnya.
"Trims, Om Bram, Sayang .... Baik hati tidak sombong!" Walaupun terlihat lemah, Devit masih bisa melempar guyonan juga.
Bram mengacak puncak kepala Devit, rambutnya basah oleh keringat. "Harus kuat, dong!"
Devit menghabiskan setengah air minumnya, lalu tersenyum. "Wahh ... pemandangannya cantik banget, ya!" Devit mengedarkan pandangannya, sampai melihat jelas bukit yang kehitaman. "Kok, itu item?" Tunjuknya.
Bram mencari titik yang dimaksud Devit. "Itu pasirnya longsor, liat bukan tanah 'kan yang ada di tangan, om."
Devit mengangguk, Bram pun membuang pasir di tangannya. Beberapa longsoran jauh di sana nampak jelas, hitam menandakan pasir yang kehilangan pepohonan dan hijaunya dedaunan. Bram beranjak pergi, membuntuti Irsad. Acha yang masih tidak percaya dengan penglihatannya, nampak jelas sebuah jalan menjulang tinggi seolah berdiri. Apa itu? Itu jalan yang akan dilalui? Tidak mungkin, mengapa seolah berdiri tegak?
Bram dan Irsad mendekati sebuah petunjuk arah, menjadikan titik istirahat. Bertuliskan jalur Puncak ada di dua jalur, sebelah kiri adalah jalur rawan longsor, sedangkan sebelah kanan jalur baru.
"Wah, longsornya parah," kata Irsad lalu kembali duduk di samping carrier-nya.
"Jadi sesuai petunjuk aja, kita langsung ke puncak empat," balas Bram.
Setelah menghabiskan air minum, Acha dan Devit masih diam di tempat. Tidak percaya, akan apa yang harus dilalui sekarang. Lihatlah! Jalannya sungguh menanjak, bukan! Bukan menanjak itu berdiri! Bram menyadarkan Acha yang terus memikirkan track yang akan dilalui. Masalahnya juga, bisa saja Devit menyerah di tengah jalan dan menangis ingin pulang bagaimana?
"Masa, sih, itu jalannya?" tanya Acha, berharap Bram bisa menenangkan pikirannya.
Bram duduk di samping Devit yang kembali sibuk menghabiskan cokelat batang. "Iya, emang mau ke mana lagi?" tanya Bram balik.
Acha menghirup udara dalam-dalam. "Kek berdiri gitu gak, sih? Masa iya, astagfirullah."
"Namanya juga track akhir," balas Bram sambil memicingkan matanya, menatap hitam jalan memanjang di tengah hijaunya pepohonan.
Bram menyerahkan selembar catatan yang menunjukkan apa yang merreka rasakan barusan, Devit kembali menjadi bocah yang menghimpit jarak di antara Bram dan Acha. Sesuai peta yang diberikan, tadi mereka melewati kemiringan 20° - 45° Pantas saja berjalan semiring-miringnya!
"Udah, santai aja, Devit gua yang jaga!"
Devit menoleh. "Ye .... Devit, kuat!" sungutnya, lalu memasukkan sampah cokelatnya ke dalam kantung daypack.
"Kalo capek, jangan dipaksain. Bilang aja ke om, ok?"
Kali ini Devit menangkap raut wajah Bram yang serius. "Emangnya masih jauh?"
Acha mengelus bahu anaknya itu. "Dikit lagi."
Devit menoleh. "Ih! Tadi, Mama bilang cuma beberapa menit lagi! Sekarang udah melewati mungkin tiga jam, hu!" protesnya, membuat Bram dan Acha menahan tawa.
"Udah istirahatnya? Kita lanjut?" seru Irsad, seraya meregangkan kedua tangannya.
Bram segera menarik tangan Devit, disusul Acha yang kesulitan bangkit dari tiduran paling nyamannya. Matahari yang tadinya terik tiba-tiba hilang, suasana terasa sunyi hanya alunan suara angin di kejauhan. Langkah rombongan terasa semangat untuk memulai, bukan lagi keindahan sabana di samping kanan kiri. Sekarang, mereka semua masuk ke dalam hutan yang mengharuskan berjalan satu per satu.
Mengingat jalur yang mereka lalui adalah baru dan pastinya masih alami, dihiasi akar pepohonan. Terdapat banyak batu runcing yang mengharuskan Bram menjaga Devit. Benar-benar hanya jalan setapak yang sempit, kentara jalurnya baru dibuat. Selanjutnya sebuah bebatuan menjadi tumpuan, di sinilah track hutan yang nyata. Kanan dan kiri hutan lebat, tumbuhannya pula bukan lagi rumput tinggi. Namun, pohon besar menjulang dan pohon tua yang mengakar panjang.
Terus berjalan, menemukan beberapa tanjakan yang harus dilalui dengan cara merangkak, napas mulai tak beraturan, track-nya benar-benar menantang untuk dilewati.
"Sumpah! Gua capek banget, Devit gimana, ya?" batin Acha, ia melihat gerak lincah anaknya yang dituntun Bram.
Pikiran Acha mulai mengacau, apakah di sini si Bagas selalu ditemui pendaki? Ya, Babi Ganas yang ditakutkan! Pastinya, Acha mulai ketakutan, beban di belakang punggung mulai terasa berat dan sangat menyakitkan bahu. Masih menanjak, tidak ada acara jalan landai di sini sekarang. Banjir keringat membasahi seluruh badan.
"Istirahat dulu di depan," seru Irsad, memberikan jeda.
Bram menoleh, mendapati wajah Acha sudah penuh keringat. "Lo gak papa?"
Acha menggeleng lemah. "Cuma butuh air doang," balasnya dengan napas tak beraturan.
"Dev, duduk di sini." Devit menurut, duduk di samping Bram yang membantu Acha membawakan air minumnya.
"Mama, kuat?" tanya Devit.
Acha mengangguk cepat. "Kamu minum juga, Sayang."
Pemandangan yang dapat dilihat di sana bukan lagi mempertontonkan bukit-bukit, juga merasakan semilir angin. Kali ini, hanya langit yang berawan, gelap mencekam dan suara hewan hutan. Dua pendaki yang berjalan di belakang ketiganya, segera merebahkan tubuh juga.
"Masih jauh, Bram?"
Pertanyaan Acha sontak membuat Bram menelan ludah kasar, seingatnya mereka belum berjalan sejauh yang dipikirkan. Ini masih di bibir pintu masuk. Karena mereka akan melalui tanjakan curam panjang, beruntung sebuah tali tambang akan mempermudah perjalanan. Bram berpaling, menatap rombongannya yang ada di atas.
"Masih panjang," lirihnya.
Acha mengembuskan napas kasar. Sekarang ia mulai ragu dengan kondisinya, bukan hanya kondisi Devit yang ditakutkan tidak bisa melanjutkan perjalanan.
"Bram," panggil Acha.
Bram menoleh. "Hem?"
Acha tergagap, "K—kalo, gua gak sanggup. Lo mau 'kan, nge-camp di pos dua aja? Gak usah lanjutin sampe ke puncak?"
Tangan Bram terulur, dielusnya pelan punggung tangan Acha mencoba meyakinkan. "Kita bisa, kenapa, sih? Jangan banyak pikiran, deh! Liat." Bram menunjuk Devit yang kembali mengemut cemilannya. "Dia juga semangat, jangan aneh-aneh, Cha!"
"Gua aneh karena gak ada Devid yang nemenin, Bram!" batin Acha.
"Kita bisa, ok?"
Acha mengangguk pasrah. "Gua usahain."