"Tertawalah selagi masih mampu menutup banyak luka di dada."
"Kapan naik gunungnya, Ma?" tanya Devit dengan polos, membuat Atul dan temannya Risa tertawa kecil.
"Cie ... udah gak sabar, ya?" Atul menjawil pipi kanan Devit.
"Hehe, Tante mau ikut juga bareng Devit?"
"Mau, dong! Emang kamu doang!"
Devit bersorak, "Yeay! Mama, ada temennya!"
Acha mengelus bahu anaknya itu. "Iya, udah, yuk, cuci muka terus salat subuh," ajaknya.
Tidak ada acara mandi pagi segala dan itu membuat Devit semangat ingin cepat naik-naik ke puncak gunung. Mengapa bisa semangat walaupun tidak mandi? Tentu saja bocah mungil itu merasakan dinginnya air yang membasahi kulitnya, sampai meminta kepada Acha untuk memasak airnya dulu sebelum mengambil wudu.
"DINGIN! KAYAK ES BATU!"
Karena Acha terus memaksa harus mengambil air wudu. Dijelaskanlah bahwa Devit tidak perlu mandi, Devit pun menurut. Tidak lupa mendapat hiburan lain dari orang-orang yang akan menjadi teman pendakiannya, berawal dari Bram yang meyakinkan Devit bahwa ia tidak mandi pagi itu juga, tetapi hanya mengambil air wudu saja.
Selesai sarapan pagi, semua perlengkapan kembali ditata rapi di dalam carrier. Melihat tas besar yang digendong oleh orang-orang di dekatnya, Devit merengek ingin mencoba milik Acha. Sayang, carrier dan tubuhnya sungguh jauh berbeda. Untuk mengawali pendakian, mereka semua dipimpin doa oleh Irsad.
"Bismillah, semoga niat tadabur alam ini tidak ada hambatan yang melintang. Sampai ke titik tujuan dan pulang kembali dengan selamat, aamiin!"
Sebuah mobil kap terbuka datang, menjemput rombongan berjumlah sepuluh orang. Butuh waktu kurang lebih sepuluh menit, mereka semua diturunkan di depan jalan kecil yang hanya mampu dimasuki satu motor saja. Jadi, mereka harus mulai berjalan kaki. Trakking pole segera dikeluarkan, sebagai pegangan dan alat bantu perjalanan. Devit mendapatkannya juga, Bram selalu ada di belakang Acha untuk mengawasi.
"Puncak gunungnya di mana, Ma?" tanya devit dengan polos.
"Belum keliatan, sekarang kita masih ada di kebun penuh sayuran," jelas Acha, menunjuk beberapa tanaman yang belum siap panen.
"Ada jagung!" seru Devit, menunjuk deretan lahan jagung yang mulai mematang.
Perjalanan yang normalnya hanya memakan waktu empat dan paling lambatnya lima jam, terasa sangat semakin melambat karena Devit yang sering mengeluh. Bram menjadi seseorang yang memberikan banyak perhatian, tidak lupa memantau Acha yang takutnya terpeleset karena pasir hitam benar-benar habis diguyur hujan tadi pagi. Walaupun tidak deras sekali, tetapi mampu membuat sepatu terselip-selip.
Setelah Bram memutuskan menggendong Devit, akhirnya base camp tempat istirahat sudah ada di depan mata. Rombongan itu segera berhenti, sedangkan Irsad segera memberikan beberapa perwakilan data diri dan mulai briefing dengan pengelola base camp Cikahuripan. Acha memilih duduk di sebuah warung yang banyak menjajakan makanan, Devit juga langsung rebahan di atas dipan.
"Minum dulu, nih." Bram menyodorkan air mineral, langsung disambar Devit tergesa-gesa.
"Huft! Puncak gunungnya di mana, sih, Om? Masih lama?" keluh Devit seraya menutup botol airnya.
Bram mengacak rambut Devit yang basah karena keringat itu. "Enggak, cuma beberapa menit lagi," ucapnya berdusta, agar Devit kembali semangat.
"Berapa menit coba?"
Ekspresi Bram seolah mengartikan sedang berpikir keras. "Dua puluh kayaknya," balasnya meyakinkan, lalu melanjutkan, "Kalo kamu gak banyak ngeluh itu juga, pasti cepet sampe."
Bibir kecil Devit monyong ke depan. "Devit gak bisa lari, Om ... capek! Lelah! maunya digendong lagi, boleh, ya?" Bola matanya berbinar-binar, berharap Bram mengiyakan.
"Masa anak cowok digendong! Ih, nanti dikira anak cewek mau?"
"NO! TIDAK MAU!" Devit menjauhi Bram yang terus menggodanya, lalu duduk di samping Acha yang masih menegak air minumnya. "Mama, capek banget gak kayak, Devit?"
Acha menggeleng. "Mama, kuat! Mama juga gak manja nyusahin Om Bram, pengin digendong segala," sindirnya, memancing Devit bagaimana reaksi anaknya itu.
Devit menggigit bibir bawahnya. "Emm ... Devit juga gak manja! Tadi cuma iseng, biar beban Om Bram makin berat!" balasnya, membuat Acha maupun Bram yang di sampingnya menahan tawa.
"Kamu gak boleh isengin orang tua, siapa yang ngajarin kayak gitu?" Acha sengaja menajamkan tatapannya juga.
"Enggak! Mama, gak pernah ngajarin gitu ...!" Devit berbalik, mendapati Bram yang menatapnya sambil menahan tawa. "Om Bram, maafin Devit, ya, kata Mama jangan isengin orang tua! Maafin, ya?"
Bram memilih tidak lagsung menjawab, membuat Devit dengan kesal menarik kemeja yang membalut kaus putihnya. "Maafin ... Om, kesayangan Devit ...," rengeknya, lalu mencoba memeluk pinggang Bram yang belum bisa tergapai karena tubuh mungilnya.
"HAHAHA!" Bram terbahak, lalu berjongkok menjawil kedua pipi Devit. "Iya ... om maafin, kok."
Devit memeluk Bram dengan erat. Lalu panggilan Irsad menyadarkan, mengharuskan mereka semua mendengar penuturannya tentang pendakian yang akan mereka lalui di jalur nanti. Rawan longsor di beberapa jalur, terpaksa pihak pengelola mengharuskan semua pendaki mengambil jalur lain sesuai arahan dari selembar peta yang diberikan.
Badai di puncak nanti adalah hal yang harus dipersiapkan, apalagi rombongan Bram berniat nge-camp di puncak. Tidak seperti puncak dari jalur Citiis yang harus mendirikan tenda di pos tiga, sedangkan jalur Cikahuripan hanya ada dua pos saja. Setelah mendengar aturan yang tidak boleh dilanggar, mereka mulai melangkahkan kaki siap menyambut sabana dan disusul hutan belantara.
"Panas, ya, Ma. Pohonnya enggak rimbun, menutupi terik matahari," terang Devit, padahal ia sudah memakai topi dari awal perjalanan.
"Tenang, nanti juga bakal ketemu hutan yang menghalau matahari," balas Bram dari belakang.
"Yeay! Devit, makin semangat!" serunya.
Pandangan Acha menikmati padang sabana, dengan hiasan alam berupa bukit-bukit jauh di sana. Beberapa terlihat jelas longsor, jam tangannya yang sudah menunjuk pukul sepuluh pagi terasa melambatkan perjalanan. Padahal mereka semua memulai dari desa terakhir tepat pukul enam pagi, tetapi mengapa belum juga menemukan pos satu?
Di depan sebuah jamban menghentikan langkah rombongan, titik tempat istirahat. "Mau buang air kecil, Kak?" tanya Atul.
Acha menoleh. "Ayo, Dev ...."
"Iya, Ma?" Devit urung memutar tutup botol air mineralnya karena panggilan Acha.
"Mau buang air kecil?" tanya Acha, seraya bersiap pergi.
"Enggak, Mama aja sana," balasnya.
Atul dan Acha disusul Risa segera pergi, mengantre untuk membuang air kecil. Beberapa pendaki yang baru turun menyapa rombongan, memutuskan istirahat juga di sana. Karena salah satu pendaki perempuan ingin mengambil foto dengan latar bak punggung gunung yang hijau. Setelah Acha keluar dari jamban, menemui Devit yang sibuk menghabiskan choki-chokinya.
"Kamu mau difoto juga?" Acha menarik ponselnya dari tas kecil.
"Gak, ah, males!"
Bram menoleh. "Ada, loh, foto kamu waktu nguap mangapnya gede ... banget!"
Bola mata Devit terbelalak. "AWAS! JANGAN DISEBAR, YA!"
Ancaman bocah kecil itu membuat Bram tertawa. "Yee ... terserah om, dong!"
"Ma!" Devit meminta pembelaan. "Om Bram, jahat!"
"Bram ...," panggil Acha untuk mengakhiri candaannya itu.
Devit mendelik sebal. "Hu! Devit mau marahan, ah!" ketusnya, seraya menjauhi Bram.
"Ya udah fotonya disebar!" balas Bram.
"JANGAN ...!" Devit berkacak pinggang. "Apa syaratnya, biar foto jelek Devit dihapus?" tanyanya.
Bram menunjuk pipi kanannya. "Cium dulu!" pintanya.
Devit memonyongkan bibirnya. "Ih! Dasar Kakek Tua!"