Sedari tadi aku hanya berfokus menatap layar komputer yang berada di depanku. Hari ini pekerjaanku begitu banyak; sampai aku tidak bisa menikmati waktu istirahat seperti biasanya. Padahal, teman-teman se-profesiku yang lain sudah pergi untuk makan siang. Dan sebenarnya bisa saja jika aku menunda pekerjaanku dan melanjutkannya nanti, tapi jika aku tunda maka pekerjaanku semakin numpuk, nanti bisa-bisa aku akan lembur.
Aku menghela nafas dan menyandarkan tubuh pada kursi, sembari meregangkan otot-otot yang terasa pegal. Sepertinya, hari ini benar-benar terasa-begitu melelahkan. Namun tiba-tiba, kepalaku terasa begitu sakit; seperti dipukul dengan benda yang keras.
"Kenapa kepalaku jadi terasa sakit?" aku bergumam, dan memegangi kepala, berusaha untuk menahan rasa sakit.
Kucoba untuk memejamkan mataku sejenak, karena mungkin saja aku terlalu lama menatap layar komputer, sehingga membuat kepalaku jadi terasa sakit. Tapi semakin lama, rasa sakitnya semakin terasa; seakan kepalaku ingin pecah.
Aku segera bangkit dari kursi yang kududuki, berniat untuk pergi ke toilet dan mencuci muka; agar aku bisa merasa segar kembali, dan mungkin saja—nanti sakit kepalanya akan hilang. Tapi kini, perutku malah terasa mual, seakan ingin memuntahkan isinya.
Kurasa aku masuk angin, karena berada di ruangan ber-AC dengan perut yang kosong. Ditambah, tadi pagi aku juga tidak sarapan.
Perlahan, aku berjalan sembari memegangi kepalaku yang semakin terasa sakit; bahkan kini rasa sakitnya terasa begitu hebat.
"Della?"
Aku langsung menghentikan langkahku, begitu mendengar suara tersebut, dan dapat kulihat—pak Arya yang sedang berjalan menghampiriku.
"I-Iya pak, ada apa?" tanyaku, sambil menatapnya.
"Kamu sakit?" ia berbalik tanya padaku, dengan kekhawatiran yang terlihat di wajahnya.
"Enggak kok pak, saya baik-baik saja" aku menggeleng, dan tersenyum padanya.
"Tapi kok kamu memegangi kepala? Kepala kamu sakit?" ia kembali bertanya, dan mengerutkan dahinya.
"Ah, iya pak, tapi nanti juga hilang, mungkin karena saya terlalu lama menatap layar komputer" jawabku, sambil tersenyum canggung, dan menundukkan kepala.
"Kalau begitu, ayo kita ke dokter" ajaknya, tanpa melepaskan pandangannya dariku.
"E-Eh, enggak usah pak, nanti juga akan sembuh sendiri kok" aku mengangkat kepala, dan menggeleng dengan cepat.
"Tapi wajah kamu pucat begitu, kayak orang sakit" ujarnya, dengan kekhawatiran yang semakin terlihat jelas di wajahnya.
"Enggak apa-apa pak, saya baik-baik saja kok" aku menggeleng dan tersenyum—berusaha untuk menyakinkannya, kalau aku memang baik-baik saja.
Ia hanya terdiam, dan memandangiku dengan raut wajah yang terlihat begitu khawatir.
"Kalau begitu, saya izin ke toilet dulu ya, pak?" aku membungkukkan sedikit tubuhku, dan hendak berjalan melewatinya, tapi aku malah terhuyung, dan untung saja dengan cepat ia memeluk pinggangku; sehingga membuatku tidak jadi terjatuh.
"Della, kamu sakit, kita ke dokter saja, ya?" ujarnya, sambil menatapku yang berdiri di depannya, dan terlihat semakin khawatir.
"Enggak usah pak, saya baik-baik saja" aku kembali menggeleng, dan tersenyum, berusaha menyembunyikan rasa sakit di kepalaku, yang semakin menjadi-jadi.
"Baik-baik saja bagaimana? Kamu hampir saja terjatuh. Sebaiknya sekarang kita pergi ke dokter, lalu setelah itu saya antar kamu pulang" ujarnya, dengan satu tangannya yang masih memeluk pinggangku, dan hendak membantuku untuk berjalan.
"Enggak usah pak, saya kuat kok" aku menggeleng dengan cepat dan tersenyum, "Mungkin hanya masuk angin saja, karena sejak tadi pagi saya enggak makan".
Ia langsung menghela nafasnya dengan kasar, dan memalingkan pandangannya ke depan, "Jadi kamu terakhir makan kemarin sore?" tanyanya, dan aku hanya mengangguk, "Della Della, kenapa kamu malah cari penyakit?" ia kembali menghela nafasnya, dan menggelengkan kepala. Lalu ia menoleh ke arahku dan berkata, "Kalau begitu, kamu harus makan, lalu setelah itu minum obat sakit kepala, agar kepalamu enggak terasa sakit lagi".
"I-Iya pak" aku mengangguk, dengan kepala yang sengaja aku tundukkan, tanpa berani membantahnya lagi.
"Sekarang, ayo istirahat di ruangan saya, di sana ada sofa, kamu bisa beristirahat di sofa tersebut" ajaknya, sambil membantuku berjalan.
Namun aku hanya mengangguk, tanpa berani membantah ataupun menolaknya; karena takut—jika ia akan memarahiku. Lalu kami berjalan menuju ruangannya.
"Sebentar ya" ujarnya, saat kami tiba di depan ruangannya. Lalu ia segera membuka pintunya, "Ayo, kita masuk ke dalam" ia kembali membantuku berjalan, dan aku hanya menggangguk. Kemudian, kami masuk ke dalam ruangannya—yang cukup luas, dan berjalan menuju sofa.
"Nah, kamu bisa beristirahat di sini" ucapnya, ketika kami tiba di dekat sebuah sofa. Lalu ia segera membantuku untuk merebahkan tubuhku di sofa, "Tunggu sebentar, saya tutup pintunya dulu" ia membalikkan tubuhnya, dan berjalan untuk menutup pintu ruangannya.
Kuperhatikan punggungnya, dan kulihat ia yang menutup pintunya kembali, namun tidak menguncinya. Kini, kami hanya berdua di dalam ruangan ini; tapi tidak ada sedikitpun—rasa takut di dalam diriku, bahkan aku tidak berpikir yang macam-macam tentang dirinya.
Lalu ia membalikkan tubuhnya dan berjalan menghampiriku, "Kamu istirahat aja dulu" ujarnya, sambil merogoh saku celananya dan mengambil sesuatu.
"Iya pak" aku menggangguk, dan memperhatikannya yang berdiri di dekatku. Kulihat ia mengeluarkan ponsel dan menatap layarnya. Lalu ia menaruh benda tersebut pada telinganya, seakan sedang menghubungi seseorang.
Ia sedang menghubungi siapa? Aku bertanya-tanya pada diriku, dan mencoba menebak, siapakah yang ia hubungi? Atau jangan-jangan, ia menghubungi Arsen dan memberitahunya, kalau aku sedang sakit? Tapi dia kan tidak tahu, kalau aku adalah mantan kekasihnya Arsen.
"Ya, hallo, apakah kamu sedang sibuk?"
"Kalau begitu, saya ingin meminta tolong, belikan bubur yang berada di sebrang jalan, lalu mampir ke apotek dan beli obat sakit kepala"
"Iya, satu saja, dan pakai uang kamu dulu, lalu tolong antarkan ke ruangan saya, nanti uangnya langsung saya ganti"
"Oke, terima kasih ya" ia menggangguk, dan menjauhkan ponsel dari telinganya, lalu memasukkannya kembali ke saku celana.
Sepertinya, ia menghubungi seorang office boy, untuk memintanya tolong membelikan makan siang dan juga obat untukku.
Aku menghela nafas sedikit lega; karena rupanya—ia bukan menghubungi Arsen, melainkan seorang OB.