Mengobrol Dengan Bram

963 Words
Sama seperti kemarin dan sebelumnya; saat jam istirahat, aku lebih memilih untuk menyantap makan siang di restoran, walaupun Carissa dan Elina sering mengajakku untuk makan bakso atau mie ayam bersama dengan mereka, tapi aku selalu menolak—dan masih dengan alasan yang sama, yaitu karena rasa kenyangku tidak akan bertahan lama, jika aku tidak memakan nasi. Dan di sinilah aku berada; di sebuah restoran yang berada di dekat kantorku, dan hanya seorang diri saja. Namun tidak dapat dibohongi, karena sedari tadi—aku terus memikirkan siapakah wanita itu? Ya, wanita yang tadi pagi memeluk lengannya Arsen, dan memanggilnya 'sayang'. Sungguh! Aku tidak bisa melupakan hal itu begitu saja, bahkan saat bekerja pun aku tetap memikirkan hal tersebut. Tapi untungnya, tidak sampai mengganggu konsentrasiku. "Ternyata kau ada di sini juga" Aku langsung mengangkat kepalaku, begitu mendengar suara tersebut, dan dapat kulihat—Bram yang sedang berdiri di dekat meja yang aku tempati. "Hai Bram" sapaku, sambil tersenyum padanya. "Hai juga Della, bolehkah aku duduk di sini?" ia bertanya, sambil mengangkat satu alisnya, dan menyunggingkan senyuman. "Tentu saja boleh, duduklah. Jangan terlalu lama berdiri, nanti kau dikira pelayan" aku menggangguk dan menahan tawa, sambil beralih menatap makanan yang masih tersisa di dalam piring. "Bisa saja kau ini" ia tertawa pelan, dan mendudukkan tubuhnya pada sebuah kursi, yang berada di depanku, "Tapi kau ada benarnya juga" sambungnya, sambil menganggukkan kepalanya. Aku hanya tertawa pelan, dan mengganggukkan kepalaku, sambil memasukkan sesendok makanan ke dalam mulutku. "Oh ya, tadi kau bilang, kau tidak punya nomorku, kan?" ia kembali bertanya dan menatapku, membuatku mengangkat kepala untuk menatapnya. "Iya, tapi aku hanya bercanda saja, maksudku. . . Aku tidak bermaksud meminta nomor teleponmu" aku menggangguk, dan tersenyum canggung, sebab aku jadi merasa tidak enak padanya. "Tidak apa-apa, santai saja, tidak perlu jadi canggung seperti itu" ujarnya, yang rupanya menyadari hal tersebut. Lalu ia merogoh saku celananya, seakan sedang mengambil sesuatu, "Ini" katanya, sambil memberikan ponselnya padaku. Aku mengerutkan dahi, dan menatapnya dengan bingung, karena aku tidak mengerti dengan apa yang ia maksud. "Maksudku, tolong catat nomor teleponmu pada ponselku, nanti aku akan menyimpannya" ucapnya, dengan disertai senyuman, yang terukir di wajah tampannya. Aku menggangguk, dan mengambil ponsel dari tangannya. Lalu aku mencatat nomor teleponku. "Ini" aku mengembalikan benda tersebut padanya, setelah aku selesai mencatat nomor teleponku. "Terima kasih" ia kembali tersenyum, dan mengambil ponselnya, lalu memasukkannya ke dalam saku celananya, "Oh ya, bagaimana kalau nanti sore kita pulang bersama?" tanyanya, sambil mengangkat satu alisnya. "Tidak usah, aku bisa pulang sendiri– maksudku, naik ojek online" aku menggeleng pelan, dan tersenyum. "Tidak apa-apa, lagipula kemarin kan aku tidak jadi mengantarmu pulang" ucapnya, yang masih menatapku, bahkan sedari tadi—ia tidak memalingkan pandangannya dariku, seakan tidak ada objek lain yang menarik perhatiannya. Aku langsung terdiam dan mengangkat kepalaku, setelah mendengar yang baru saja ia katakan, "Sekali lagi, aku minta maaf atas hal tersebut" ucapku, sambil tersenyum canggung, dan menundukkan kepala. *** Sore ini, aku kembali diantar pulang oleh pak Arya—padahal tadi Bram sudah mengajakku untuk pulang bersama, tapi saat aku dan dirinya sedang berjalan di lantai dasar perusahaannya Arsen, tiba-tiba saja pak Arya datang, dan mengajakku untuk pulang bersama dengannya, bahkan ia juga mengatakan; kalau ia tidak terima penolakan. Hingga akhirnya, aku terpaksa untuk menerima ajakannya—dan membuatku lagi-lagi harus merasa tidak enak pada Bram, karena kami tidak jadi pulang bersama, untuk yang kedua kalinya. "Della?" Aku langsung tersadar dari lamunanku, dan menoleh ke arahnya, saat mendengar ia yang memanggil namaku, "I-Iya pak– Ah, maaf, maksud saya. . . Mas" ucapku, sambil menundukkan kepala, dan menggigit bibirku. "Kamu sedang melamun?" tanyanya, sambil menoleh ke arahku sejenak. "E-Enggak mas" aku menggeleng pelan, dan sedikit gugup. "Lalu kenapa kamu diam saja? Apakah ada yang sedang kamu pikirkan?" ia menoleh ke arahku, dan kembali bertanya. "Enggak ada kok mas, saya. . . Maksudnya, aku hanya sedang memperhatikan jalan saja" jawabku, yang sengaja berbohong padanya, sebab tidak mungkin jika aku mengatakan yang sebenarnya. Ia pun mengganggukkan kepalanya, dan menatap jalan dilewati, "Oh ya, apakah besok kamu sudah ada rencana ingin pergi ke mana?" tanyanya kembali. "Belum ada mas" aku menggeleng, dan menoleh ke arahnya, memperhatikan ia yang sedang berfokus menyetir. Tidak dapat kupungkiri, jika sedang seperti ini ia semakin terlihat tampan dan juga mempesona. Dan kuyakin, begitu pun dengan Arsen, ia pasti akan terlihat semakin keren dan juga tampan, jika sedang menyetir mobil. Segera kugelengkan kepalaku, dan memalingkan pandangan ke depan, saat tiba-tiba aku teringat dengan dirinya. Sial! Kenapa aku jadi memikirkannya? Aku mengutuki diriku sendiri, dan menatap jalan yang dilewati. "Kalau begitu, bagaimana jika besok kita jalan-jalan bersama?" ia menoleh ke arahku, dan menatapku sesaat. "Jalan-jalan? Maksudnya mas?" aku masih menatapnya dari samping, dan mengerutkan dahiku. "Maksudku, kita menghabiskan hari Sabtu bersama– itu pun kalau kamu enggak merasa keberatan" jawabnya sambil tersenyum, dan berfokus menyetir. "Aku sama sekali enggak merasa keberatan kok mas, tapi. . ." aku menundukkan kepala, dan sengaja menggantungkan ucapanku, membuatnya menoleh ke arahku. "Tapi apa?" tanyanya, sambil menatapku dari samping. "Apakah enggak ada yang marah kalau mas jalan sama aku?" aku berbalik tanya padanya, dengan kepala yang masih aku tundukkan, karena aku tidak tahu apakah ia masih single atau tidak? "Maksud kamu adalah pacar?" tanyanya dan aku hanya menggangguk. Namun ia malah tertawa membuatku menoleh ke arahnya dan kulihat ia yang menggelengkan kepalanya sambil menatap ke depan, "Della Della, saya masih single" ucapnya, membuatku langsung melotot dengan mulut yang sedikit menganga, "Lagipula, saya enggak bakal mengajak kamu pulang bersama, atau mengajakmu untuk jalan-jalan, kalau saya sudah memiliki kekasih ataupun pendamping" lanjutnya. Ternyata tebakanku benar, kalau ia memang belum mempunyai pacar, tunangan, ataupun istri. Tapi tidak ada salahnya kan, jika aku berbicara seperti itu? Ya. . . Walaupun—mungkin terdengar tidak sopan, tapi dengan begitu, aku jadi mengetahui, kalau pak Arya memanglah masih single.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD