Tidak terasa sudah hari Senin lagi dan itu artinya waktunya—kembali bekerja. Dan saat ini aku sedang menyantap sarapan tentunya hanya seorang diri karena aku memang tinggal sendiri. Sarapan pagi ini adalah mie instan dengan nasi; sebab rasa kenyangku tidak akan bertahan lama jika aku hanya memakan mie saja maka dari itu aku menambahkan nasi. Sebenarnya ada yang mengatakan tidak boleh memakan mie instan dengan nasi sebab kedua makanan tersebut sama-sama mengandung karbohidrat. Tapi aku tidak peduli karena yang terpenting bagiku adalah perutku kenyang. Lagipula aku tidak sering memakan mie instan.
Aku langsung mengangkat kepalaku saat mendengar suara ketukan pintu yang berasal dari luar menandakan kalau ada seseorang yang datang.
Dengan sedikit enggan aku bangkit dari kursi yang ku duduki dan terpaksa harus menjeda acara sarapan untuk membukakan pintu dan melihat siapa yang datang.
Setelah sampai di dekat pintu aku langsung menghentikan langkahku dan membukanya; namun aku mendadak membeku dan menjadi patung saat melihat seseorang yang sedang berdiri di depanku.
"Selamat pagi, Della" sapanya, menyadarkanku dari lamunan.
"S-Selamat pagi juga pak– maksudnya, mas" aku mengganggukkan kepala, dan tersenyum canggung, karena rupanya yang datang adalah pak Arya, HRD-ku.
"Saya datang ke sini untuk mengajak kamu berangkat ke kantor bersama" ujarnya, dengan disertai senyuman yang terukir di wajahnya. Beruntung sekali diriku, masih pagi seperti ini sudah dijemput oleh pria tampan, dan melihat senyumannya yang indah.
"Ah, i-iya mas, kalau begitu silahkan masuk" aku tergelagap kaget, dan segera menyingkir dari ambang pintu, memberikannya jalan untuk masuk ke dalam rumahku.
"Terima kasih, Della" ia tersenyum, dan melangkah masuk.
Sepertinya, aku tidak bisa melanjutkan sarapanku yang sempat tertunda; sebab pak Arya sudah datang menjemputku, dan tidak mungkin jika aku membiarkannya menunggu lama.
"Kamu sedang apa?" ia berbalik dan menatapku, dengan satu alisnya yang terangkat.
"S-Sedang. . . Sarapan, mas" aku menundukkan kepala, dan sedikit gugup.
"Berarti saya datang diwaktu yang enggak tepat, karena mengganggu acara sarapan kamu"
"E-Eh, enggak kok mas, enggak apa-apa" aku segera menggeleng, dan kembali tersenyum canggung.
"Kalau begitu, lanjutkan saja sarapannya, saya akan menunggu" ucapnya, sambil menatapku dan tersenyum.
"Enggak usah mas, nanti mas kelamaan nunggu" aku kembali menggeleng, dengan kepala yang aku tundukkan.
"Enggak apa-apa, lagipula kita kan enggak lagi buru-buru" ia berkata, dan masih menatapku.
"Ya udah, tapi mas mau nunggu di sini atau di meja makan?" aku mengangkat kepala dan menatapnya.
"Dimeja makan boleh, jadi sekalian temani kamu sarapan" ia menggangguk, dan tersenyum.
"Kalau begitu, ayo kita ke meja makan, mas" ajakku, dan ia hanya mengangguk. Dan sepertinya, kali ini aku tidak bisa makan dengan tenang, "Mas udah sarapan?" tanyaku, yang berjalan di sebelahnya, sambil menoleh ke arahnya.
"Sudah, sarapan itu penting, jadi saya berusaha untuk enggak melewatkan sarapan" ia mengangguk dan tersenyum, sambil menoleh ke arahku.
Aku hanya menggangguk, dan memalingkan pandangan ke depan, sambil terus berjalan menuju meja makan bersama dengannya.
"Silahkan duduk, mas" ujarku, saat kami tiba di meja makan.
"Iya, terima kasih" ia menggangguk, dan mendudukkan tubuhnya pada sebuah kursi, "Lho, kamu sarapan pakai mie instan dan nasi?" tanyanya, saat melihat semangkuk mie dan piring berisi nasi, yang masih tersisa di atas meja makan.
"Iya mas, aku sarapan pakai mie dengan nasi" aku terkekeh dengan canggung, dan mendudukkan tubuh pada sebuah kursi, yang berada di dekatnya.
"Sebenarnya, enggak boleh makan mie dengan nasi, karena kedua makanan tersebut sama-sama mengandung karbohidrat" ujarnya, sambil menatapku.
"Iya mas, aku tahu, tapi kalau cuma makan mie aja, rasa kenyangnya enggak bakal bertahan lama, hanya satu atau dua jam" aku kembali terkekeh dengan canggung, dan menundukkan kepala.
"Tapi kamu enggak sering makan mie instan, kan?" ia kembali bertanya, dan menatapku.
"Enggak kok mas, aku enggak sering makan mie, karena aku tahu, kalau sering makan mie enggak baik untuk kesehatan" aku menggeleng pelan, dan tersenyum canggung. Benar dugaanku, kalau ia akan berkata seperti itu.
***
Sama seperti hari-hari sebelumnya, hari ini aku kembali diantar pulang oleh pak Arya, dan seperti biasa; saat aku ingin menolak, ia selalu mengatakan, kalau ia tidak terima penolakan, hingga akhirnya aku terpaksa menerima tawarannya, walaupun aku merasa tidak enak.
"Della?" ucapnya.
"Iya mas?" aku menoleh ke arahnya, yang duduk di sebelahku.
"Kalau kita mampir ke restoran dulu untuk makan, gimana? Kamu keberatan enggak? Soalnya tadi siang saya enggak sempat makan" ujarnya, sambil berfokus menyetir, dan menatap jalan yang dilewati. Aku berani bersumpah, ia terlihat semakin tampan dan juga mempesona, jika sedang menyetir seperti sekarang ini.
"Iya mas, enggak apa-apa kok, saya enggak merasa keberatan, lagipula mas harus segera makan, jangan ditunda lagi, nanti mas bisa sakit" aku menggangguk, dan memandanginya dari samping.
Namun ia hanya tersenyum dan menoleh ke arahku tanpa berkata apa-apa lagi.