Dalam waktu beberapa hari di negara asing, kehidupan Ayu langsung berubah total. Sejak tadi Ayu berpikir keras, kenapa ibunya sampai menyembunyikan perihal silsilah keluarga? Kenapa Larasati, ibunya itu tidak mau menceritakan siapa ayah kandungnya? Kenapa ibunya itu pun tidak menceritakan jika sebetulnya ia masih keturunan seorang putri dari nenek kakek, cicitnya, keponakannya pangeran ke delapan di Negara ini? Semoga saja ibu punya jawabannya, kata Ayu di dalam hati.
Ibarat di Indonesia, Ayu adalah putri keraton. Berpredikat Raden Ajeng. Seorang bangsawan.
Memikirkan jika ternyata ia adalah seorang bangsawan, beberapa kali itu pula senyuman tersungging di bibir Ayu.
Walau sedikit kecewa karena merasa dibohongi dan juga terlambat mengetahui semuanya. Ayu mencoba berpikir positif. Ia tidak mau mempermasalahkan semuanya dan terlalu mendramatisir. Mensyukuri kenyataan lebih baik. Kini ia adalah putri bangsawan dan pasti sebentar lagi akan ada pangeran berkuda putih yang menjemputnya.
Setidaknya status tuna asmara yang disandangnya sekian lama akan hilang. Ya, Ayu Diska memang cantik. Tapi entah mengapa sepertinya dewi cinta tidak pernah berpihak padanya. Hingga ia terus menjomblo seumur-umur.
Ayu menghela nafas panjang sambil mengunyah kue cokelat manis yang sangat lezat di atas piring kecil. Marry, pelayan cantik itu telah menyiapkan kue coklat dan teh hangat di dalam poci porselen dengan cangkir yang bergambar sama dengan pocinya.
“Hai ... hai kamu!” panggil Ayu pada Adelio. Belum juga habis waktu empat puluh delapan jam setelah mengetahui kenyataan jika dirinya adalah seorang bangsawan dan kaya raya. Sikap sombong Ayu mulai terlihat. Maklum, Ayu adalah OBB, Orang Bangsawan baru. Jadi ya begitulah ... untuk beberapa waktu sikap sok bangsawannya akan menyertainya.
Adelio yang tidak sengaja lewat di taman belakang menunjuk dirinya sendiri. “Memanggil saya, Nona?” tanyanya.
“Iya kamu. Sini ...!” pinta Ayu agar Adelio mendekatinya.
“Kamu tahu kan siapa aku?” Tatapan mata Ayu tajam dan mengamati Adelio.
“Tentu saja saya tahu. Anda adalah Nona muda Danisha.”
Ayu menganggukkan kepalanya mantap. “Bagus, bagus ... Jika aku Nona muda berati aku bisa nyuruh-nyuruh kamu ya ...,” gumannya lirih dan sambil terkekeh.
Ayu berniat balas dendam akan sikap kasar Adelio ketika membawanya ke istana ayah Albert. Ia berniat mengerjai Adelio dan membuatnya susah. Senyuman menyerigai jahat di sudut bibirnya.
***
Hari ke dua puluh Ayu Diska berada di kediamanan Ayah Albert, semua tampak baik-baik saja dan penuh kebahagiaan. Statusnya yang sebagai Nona muda dan bergelar bangsawan membuat hidup Ayu lebih nyaman dari pada kehidupan sebelumnya bersama ibunya.
Dan seperti niat Ayu sebelumnya untuk membalas sikap kasar Adelio padanya, ia selalu membuat Adelio susah dan kerepotan. Apa-apa Ayu selalu mencari Adelio dan memintanya melakukan ini dan itu. Hingga saat ingin makan anggur saja Ayu ingin Adelio menyuapinya.
“Adelio aku ingin makan anggur,” ucapnya Ayu sambil menunjuk ke arah nampan berisikan buah.
Adelio menghela nafas panjang. “Lalu?” tanyanya ketus.
“Suapinin dong aku ...,” rengek Ayu dengan senyum tipisnya.
Adelio berdecak kesal. Memalingkan muka sekilas dan kemudian menuruti kemauan Nona mudanya yang selalu di ada-ada.
“Hm ... menurutmu perjanjian apa yang sudah dibuat ayah dan ibuku, hingga ayah tidak bisa mengunjungi dan menemuiku hingga aku berumur dua puluh tahun?” tanya Ayu sambil mengunyah anggur merah yang sangat terasa manis dan segar.
Adelio yang masih berdiri di samping Ayu mengendikkan bahu. Ia menatap lagit biru dan gumpalan awan dari balkon atas kediaman Albert yang sangat megah. Pilar-pilar besar menyokong berdirinya beranda mewah ini sangat kuat.
“Kenapa kamu diam saja, Adelio? Nona mudamu ini bertanya padamu,” kata Ayu dengan nada bicara angkuh.
Namun Adelio tidak ciut saat Nona mudanya itu marah. “Aku tidak tahu Nona. Lebih baik anda tanyakan hal itu pada Ayah anda sendiri.”
Ayu mengatupkan bibirnya kesal. Merasa Adelio menjawab pertanyaannya acuh tak acuh. Tapi saat mulut Ayu sudah ingin bergerak dan mengomel pada Adelio, tiba-tiba suara Albert, sang Ayah terdengar dari arah belakang.
“Danisha, sayangku ...,” panggil Albert.
Ayu langsung menoleh dan melupakan niatan marah-marah pada Adelio. “Ya, ayah ....”
“Apa kamu senang di sini? Apa Adelio menemani dan menjagamu dengan baik?” tanya Albert sembari berjalan mendekat. “Semua orang yang ada di sini ayah wajibkan untuk bisa berbahasa Indonesia. Itu semua agar kamu tidak bisa merasa bosan. Agar kamu tetap merasa betah di sini seperti di rumah dan di negara asal.”
Ayu melihat sekilas ke arah Adelio. Tadinya ia ingin mengarang cerita jahat, agar Adelio dimarahi Albert. Tapi hati Ayu tidak sekeji itu. Ia tidak tega dan mengurungkan niatnya. “Adelio? Hm ... Dia baik kok. Dan aku betah di sini.”
Albert tersenyum simpul dan puas. “Baguslah jika kamu sudah mulai beradaptasi dengan baik. Sekarang harus tiba saatnya kamu mengetahaui sesuatu.”
Alis Ayu mengerenyit. “Mengetahui apa?” tanyanya penasaran.
“Oia, apa kamu sudah memberitahukan ibumu jika sudah bertemu dengan ayah?” tanya Albert yang seakan mengabaikan pertanyaan Ayu barusan.
Ayu menganggukkan kepalanya. “Aku sudah menelpon ibu. Tapi− ....” Wajah Ayu terlihat sayu. “Tapi aku belum menceritakan jika aku sudah bertemu ayah dan mengetahui semuanya,” lanjutnya dengan suara lirih.
Albert yang sudah duduk di kursi santai di samping Ayu sedikit mencondongkan tubuhnya. Ia menatap wajah Ayu sangat lekat. “Kamu harus memberitahu semuanya pada ibumu. Karena umurmu sudah dua puluh tahun, harusnya kamu akan tinggal bersama ayah.”
Ayu tersenyum kecut. “Ibu pasti lupa dengan perjanjian itu. Lagi pula ibu tidak akan peduli jika aku tinggal dengannya atau dengan ayah,” ujarnya meremehkan.
“Ada yang harus kamu tahu Danisha,” kata Albert. Raut mukanya sangat serius. Sepertinya ia akan membicarakan masalah yang sangat penting.
“Ada apa ayah?” tanya Ayu ikut merasakan ketegangan.
“Sorry, ayah baru mengatakan ini padamu. Dan ini pasti mendadak,” ujar Albert dengan dahi mengerenyit.
Ayu semakin penasaran dengan hal yang akan mereka bicarakan. “Ada apa ayah ...?” tanyanya lagi.
“Ayah sudah membuat janji menikahkanmu dengan anak dari rekan bisnis ayah di Indonesia,” ujar Albert lantang. Membuat Ayu nyaris terjengkang dari duduknya.
“Apa?!”
Albert langsung menarik tangan Ayu dan menggenggamnya erat. “Maaf Danisha Ayu Diska anakku ... Ayah sudah membuat perjanjian ini dengan teman ayah itu sejak kamu masih bayi. Kami telah menjodohkan kalian.”
Tatapan Albert menatap risau. Ia takut Ayu akan marah dan menolak semua ini. Tapi tidak seperti yang dibayangkan Albert sebelumnya. Ayu terlihat tenang dan jutru tertarik.
“Apa dia seorang pangeran berkuda putih?” tanya Ayu dengan tatapan mengkilat.
“Ti−tidak begitu,” jawab Albert terbata. “Bukan seorang pangeran maksud ayah. Tapi dia cukup tampan untuk bersanding denganmu. Kebetulan dia ada di rumah kita saat ini.”
Derap langkah terdengar menghampiri ketika Albert baru saja menyelesaikan kalimatnya. Seorang pria tinggi, bertubuh tinggi, tegap dengan mengenakan atasan kemeja lengan panjang dan celana jeans biru navy menghampiri.
Ayu, Albert dan Adelio menatap ke arah tamu yang baru datang itu.
“Hai, selamat siang semua ...,” sapa pria itu dengan senyuman tipis terhias di wajahnya.
“Dia adalah tunanganmu, Nona ...,” kata Adelio memberitahu.
Mulut Ayu ternganga. Hembusan angin segar menerpa wajahnya. “Pangeran berkuda putihku ...,” gumannya lirih dan air liur yang hampir saja menetes dari mulutnya.
“Perkenalkan calon suamimu, Rashad Osvaldo,” kata Albert sambil tersenyum lebar.
Ayu tak bisa melepaskan pandangannya dari Rashad pria tampan blesteran Indonesia – Inggris ini sangat menawan. Seyumnya yang tidak terlalu diobral menambah nilai tersindiri di hati Ayu.
“Ehem ....” Adelio berdeham. Menyadarkan lamunan Ayu yang tidak menyangka akan mendapatkan calon suami setampan dan segagah ini. Nyaris sempurna. Kaya dan tampan. Impiannya terwujud menjadi seorang putri dan menikah dengan pangeran.
Ternyata salama ini ia sudah berburuk sangka pada Tuhan. Selama ini ia selalu mengeluh dan menganggap Tuhan memberikan takdir yang tidak adil untuknya. Tapi ternyata takdirnya sangat baik.
“Nona ... Air liurmu hampir menetes,” bisik Adelio di telinga Ayu.
Ayu langsung gelagapan. Ia menyeka dengan cepat dagunya yang ternyata tidak ada air liur di sana.
Ayu langsung melirik tajam Adelio yang ternyata mengerjainya.
Adelio menahan senyumnya karena bisa mengerjai Ayu.
“Hai Ayu, aku sudah lama mendengar cerita tentangmu dari orang tuaku,” kata Rashad sambil mengulurkan tangannya pada Ayu saat mereka sudah berhadapan.
Ayu menyambut tangan Rashad. Mereka berjabatan. “Hai ... Aku−aku ... aku sama sekali belum mengenalmu sama sekali,” jawabnya terbata-bata.