CHAPTER 1

1373 Words
Lucas ingin sekali menghajar satu persatu wajah para jajaran dewan direksi perusahaannya saat ini. Sorotan mata keranjang mereka kearah Alice yang sedang mempresentasikan salah satu proyek besar dari Garves Enterprise seolah menelanjangi wanita itu dan membuatnya geram. Bayangkan saja, Alice menggunakan dress navy blue yang sangat jelas mencetak bentuk tubuhnya. Ditambah dengan resleting belakang berwarna gold dari atas hingga bawah dressnya membuat Lucas ingin sekali menarik benda kecil itu agar bisa melihat keindahan yang ada dibalik kain. Tak sampai disitu, Lucas juga akan melepaskan ikatan rambut Alice agar jatuh terurai menutupi sebagian p******a. Kemudian mencumbunya diatas meja di ruangan ini. "Sir, apa ada yang mau ditambahkan?", Sontak Lucas mengedipkan matanya beberapa kali. Ia memperbaiki posisi duduknya dan berdehem pelan karena seluruh orang yang ada di ruangan itu kini menatapnya. "Tidak ada. Kalian boleh pergi sekarang", kata Lucas. Tampak desahan kecewa dari beberapa pria di sampingnya membuat Lucas mendengus kecil. Pasti mereka tak fokus dengan apa yang dipresentasikan oleh Alice. Meski Lucas sendiri juga tak fokus, tapi, ia masih mengerti apa yang dibahas oleh wanita itu karena dirinya sendiri yang memulai proyek pembangunan real estate di kawasan Midtown, 45 Avenue. Setelah semua orang keluar dari dalam ruangan. Lucas masih diam ditempatnya tak bergeming. Ia malah kembali memperhatikan Alice yang cekatan membereskan file-file di atas meja. Wanita itu, Alicia Lengowaski. Sangat menganggumkan dan berkelas!  Mungkin karena ia tumbuh di lingkungan keluarga high class dan kehidupan yang glamour. Tidak munafik, Lucas tidak bisa menepis kenyataan yang ada bahwa ia tertarik dengan Alice. "Sir, ini jadwal terakhir kita. Boleh saya pulang?", Suara lembut itu kembali terdengar di telinga Lucas. Ia menyandarkan punggungnya di kursi. "Jangan memanggilku sir mulai sekarang", Terlihat raut wajah bingung Alice. "Maaf sir, tapi kau adalah atasanku", jawabnya dengan nada tegas. Alice yang sebelumnya berbeda dari sekarang bagi Lucas. Pertemuan awal mereka, Alice seperti takut padanya. Jika ditanya selalu menunduk. Tapi sekarang, wanita itu tak hanya berani menatap matanya langsung jika berbicara. Ia tak segan-segan membalas. Dan dari sekian sifat Alice yang mulai diketahui Lucas, salah satunya sangat dibenci oleh Lucas, yaitu merendah. Sudah hampir empat bulan mereka bekerjasama. Alice juga masih saja menganggapnya adalah seorang pria kejam yang akan menghancurkan hidupnya. Memang pertama kali mendengar kabar meninggalnya Sam dan Milla Lengowaski, Lucas sangat senang mengingat mereka adalah pesaingnya. Ia segera membeli perusahaan yang ternyata sudah mengalami kebangkrutan. Bahkan masih menyisahkan hutang. Lucas bukanlah orang bodoh, ia membeli perusahaan itu karena ia tahu potensi besar yang ada di perusahaan Lengowaski.  Ia juga memaksa Alice untuk bekerja padanya. Wanita itu dulu menolak, tapi, ia memberi kesepakatan bila Alice tidak perlu membayar hutang keluarganya bila wanita itu mau bekerja sebagai asisten pribadinya. Tapi, ia salah rupanya mempekerjakan Alice dibidang ini. Wanita itu lebih layak menjadi seorang model. "Jika kau masih memanggilku sir. Kau akan menyesal", ancam Lucas Graves. Alice mendengus pelan. Sungguh ia ingin melemparkan Lucas dari lantai dua puluh dua ini. Lucas sangat ditaktor dan tak mau kalah dalam segala hal. "Baiklah. Aku harus memanggilmu apa?", "Luke, dan jangan berkata formal", kata Lucas cepat. Alice mendesah pelan. "Oke, Luke. Jadwal kita hanya sampai disini. Bolehkah aku pulang?", Lucas mengangguk, ia mempersilahkan Alice untuk keluar dari dalam ruangan. ••• Guyuran hujan malam itu lumayan deras. Alice menggerutu pelan kenapa hujan datang disaat dirinya belum sampai di rumah. Padahal saat meeting tadi, langit malam tampak indah dan tak ada tanda-tanda hujan akan datang. Alice melihat kearah jam tangannya, tidak mungkin naik taxi di jam malam seperti sekarang. Jika berjalan kakipun, itu tak mungkin. Baru saja saat Alice hendak melangkah masuk ke dalam lobby.  Sebuah suara klakson membuatnya menoleh. Ia mengerutkan keningnya, "Masuklah, aku akan mengantarmu", kata Lucas saat kaca jendela mobil terbuka. Lucas menawarkannya untuk diantar pulang?  Alice menggelengkan kepalanya, satu hal yang perlu ia tekankan lagi. Lucas bukanlah hanya pria bereputasi kejam dalam berbisnis, tapi, pria itu juga sangat terkenal dengan masalah yang menyangkut dengan wanita. "Kau selalu lama jika berpikir. Didalam sudah tak ada orang selain security", Lucas mendesak. Kenapa dirinya selalu berada di posisi tak ada pilihan? Pikir Alice jengkel. Bahkan sekarang, banyak pikiran negatif yang berputar dikepalanya. "Apa aku harus menggeretmu?", Alice menghela napasnya.  Ia melangkah menuruni tangga dan membuka pintu mobil Lucas. Sangat jelas sekali, senyuman diwajah Lucas tercetak saat dirinya masuk kedalam. Dan Alice yakin. Senyuman itu bukanlah senyuman yang tulus. ••• "s**t!", seruan Lucas membuat Alice menoleh cepat. Lucas menepikan mobilnya. "Kenapa?", spontan dirinya bertanya. Lucas mendengus pelan, "Banku bocor", gerutunya sambil melepaskan sabuk pengaman. Alice seolah tak percaya mendengar perkataan Lucas. Kini ia terjebak di dalam mobil dengan keadaan hujan deras bersama Lucas.  Tapi, ternyata Tuhan sangatlah baik. Matanya tak sengaja menangkap sebuah gedung yang sangat ia kenali dan secara bersamaan Lucas berkata, "Aku akan menghubungi seseorang untuk menjemput kita", Alice mengigit bibir bawahnya sambil melirik Lucas yang terlihat sibuk mengetik sesuatu di ponselnya.Gedung apartementnya berada satu blok dari jalan ini. Jika ia keluar dari mobil dan memilih berlari menerobos hujan. Bagaimana dengan Lucas? "Ehmm, Luke?", Lucas berdehem pelan, "Hmm..", tapi matanya masih fokus pada ponsel ditangannya. "Bagaimana kita menerobos hujan saja? Apartement ku hanya berjarak satu blok. Jika menunggu orang suruhanmu pasti lama", Lucas mengalihkan perhatiannya. Ia menatap Alice. "Baiklah, tapi tunggu disini", jawabnya. Lalu pria itu turun dari dalam mobil dan memutarinya. Alice baru mengerti saat Lucas membukakannya pintu dan membantunya turun. Kemudian Lucas menyampirkan jas nya dikepala Alice sebagai pelindung. "Terima kasih", kata Alice. Mereka berlari menerobos hujan. Dengan Lucas menggandeng Alice sampai tujuan. Setiba mereka di apartement Alice dengan keadaan setengah basah. Alice segera menyuruh Lucas untuk duduk terlebih dahulu. "Aku akan mengambilkanmu handuk", ujar Alice sambil melepaskan stiletto hitamnya. Lucas hanya mengangguk dan mejatuhkan bokongnya di sofa maroon sambil mengusap-usap kepalanya. Dan tak lama, Alice kembali membawakan sebuah handuk berwarna putih. "Ini handuknya. Aku akan buatkan teh hangat untukmu", Alice melangkah ke dapur dan mengambil dua gelas cangkir dari kitchen sets. Lalu ia mulai menuangkan air panas dari termos kecil, memberi gula dan juga tehnya. Ia tersenyum simpul saat mengingat ternyata Lucas lumayan peduli padanya. Tak hanya hari ini, dua minggu terakhirpun juga. Kadang Lucas marah pada sekretaris keduanya jika memberinya banyak pekerjaan. Atau saat tiga hari yang lalu kakinya sakit karena terlalu lama memakai stiletto, Lucas mau repot-repot memesankan flat shoes untuknya. Padahal saat itu mereka berada di lokasi pembangunan proyek Graves Enterprise. Sebenarnya ia sendiri masih tak menyangka menawarkan ide kepada Lucas untuk menerobos hujan. Alice kira, Lucas akan menolak. Tapi, nyatanya tidak. Setelah selesai membuat teh hangat. Alice membawa dua cangkir itu ke ruang tamu dimana ia menyuruh Lucas duduk. Tapi, Lucas tak ada di sofa. Pria itu berdiri di balik rak buku pembatas antara ruang tamu dan ruang bersantai bagi Alice. Alice meletakan cangkir itu diatas meja. Lalu ia mendekat kearah Lucas yang tampak sedang membaca sebuah buku. Tapi anehnya, raut wajah Lucas seolah bingung, ditambah alisnya yang berkerut membuat Alice mencoba melihat buku apa yang dibacanya. "Luke!", Alice memanggil Lucas. Lucas bukannya menjawab. Ia mengangkat buku yang dipegangnya agar Alice melihat. Jantung Alice seperti ingim berhenti berdetak saat itu juga. Ditambah Lucas kini menatapnya aneh membuat ia ingin mengubur diri hidup-hidup. Alice mendekat kearah Lucas dan mencoba menarik buku itu. "Berikan kepadaku!", Tapi, Lucas dengan cepat mengangkat buku itu lebih tinggi membuat Alice menabrak d**a bidang Lucas. Dari jarak sedekat ini, Lucas bisa melihat jelas pipi merah merona Alice dan juga bibir wanita itu sedikit terbuka karena terkejut dengan gerakan refleksnya. Dan Lucas bisa mencium aroma warm vanilla dari tubuh Alice. "Luke. Ma-maaf,", ujarnya tergagap sambil menjauhkan diri dari Lucas. Ia menundukan kepalanya sebentar dan kembali menatap Lucas, "Bisa kau berikan buku itu?", "Ternyata kamu membaca erotic novel?", Pertanyaan Lucas seakan bom waktu bagi Alice. Ia semakin gugup sekarang. "Setidaknya aku sudah cukup umur", Alice bergumam pelan. Lucas tersenyum miring membuat Alice semakin gemetar hebat. Mungkin, sedikit menggodai wanita itu akan menyenangkan. "Apa yang kau lakukan?", tanya Alice panik saat tiba-tiba Lucas membuka kancing kemeja teratasnya. Lucas maju selangkah kearah Alice. Kemudian ia tersenyum miring. "Tak apa, hanya merasa gerah", jawabnya membuat Alice menghembuskan napasnya lega. Dalam hati Lucas tertawa. Ia berhasil mengerjai Alice hanya dengan gerakan kecil yang dibuatnya. Meski dirinya sendiri harus menahan gejolak nafsu dalam dirinya sedari tadi melihat dress Alice yang basah mencetak lebih jelas tubuhnya. Tapi ia mengetahui satu hal, bahwa mengerjai seseorang ternyata sangat menyenangkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD