bc

Nadine & Joseph

book_age18+
117
FOLLOW
1K
READ
goodgirl
serious
genius
abuse
first love
friendship
illness
crime
school
like
intro-logo
Blurb

Banyak yang bilang, masa SMA adalah masa yang paling menyenangkan. Namun nyatanya itu tidak berlaku untuk semua anak. Global Central School, sekolah menengah atas kalangan elite di Jakarta punya banyak cerita kelam di dalamnya.

Di sekolah ini, ada anak- anak yang tengah berjuang menyelamatkan masa muda mereka. Keluarga Nadine yang tiba-tiba miskin membuat gadis itu mendapat banyak cemoohan dari teman-temannya. Nadine yang awalnya begitu sombong karena merasa mempunyai segala kini menjadi sosok yang paling dibenci di sekolah itu. Semua anak seolah-seolah membalaskan dendamnya pada Nadine yang dulu sempat memperlakukan mereka seenaknya. Nadine menjadi bulan-bulanan di sekolah itu.

Joseph adalah anak baru di sekolah itu. Anak itu tampak berbeda dengan yang lainnya. Kulit Joseph begitu putih dan pucat, juga bola matanya yang sebiru safir dan rambut pirangnya tampak mencolok. Joseph yang sebelumnya menjalani homeschooling mencoba bersosialisasi meski kerap mendapat perlakuan rasis.

Tak hanya Nadine dan Joseph yang tengah berjuang melawan bullying. Ada juga Ilana yang mempunyai ibu yang ambisius, Emma yang terjebak dalam toxic relationship, juga Haikal yang hampir bunuh diri karena sudah tak kuat selalu dibully karena penampilannya yang aneh dengan kaca mata besar dan kawat gigi.

chap-preview
Free preview
CHAPTER SATU
Joseph menatap gedung di depannya. Matahari pagi masuk melalui jendela mobilnya yang setengah terbuka membuat rambut pirangnya terlihat mengkilat. Gedung di depannya tampak mewah dibanding sekolah-sekolah biasanya, dengan gerbang menjulang tinggi yang melindungi gedung empat lantai yang luasnya tak bisa ia diperkirakan. Setelah menghela napas, ia keluar dari mobilnya dan berjalan menyusuri koridor. Joseph mencoba menatap lurus ke depan, tak peduli bahwa ada belasan pasang mata yang menatapnya dengan tatapan penasaran. Belasan pasang mata yang fisiknya tampak berbeda dengannya. Sebagian dari mereka berkulit kuning langsat, juga putih, dengan rambut hitam, sedangkan dirinya berkulit putih pucat, dengan bola mata sebiru safir dan rambut pirang. “Hei… Pirang.” Suara itu terdengar. Joseph sontak langsung menoleh ke asal suara karena tahu dengan jelas bahwa panggilan itu ditujukkan untuknya. Ia melihat seorang laki-laki yang berada di dekat tangga menyeringai ke arahnya. Itu bukan panggilan yang pertama kali ia dengar dan ia membenci itu. Ia benci saat orang memanggilnya pirang meski rambutnya memang pirang. Ia punya nama dan ingin dipanggil dengan nama yang melekat padanya. Joseph akhirnya memutuskan untuk menghampiri laki-laki itu, hingga akhirnya benar-benar berdiri di depannya. Ia mengulurkan sebelah tangannya dan memperkenalkan diri. “Aku pikir ada salah satu anak yang mengecat rambutnya.” kata Keenan sambil terkekeh pelan. Ia melirik tangan yang diulurkan Joseph dan sama sekali tidak berniat menjabatnya. “Kamu sudah tahu namaku. Aku harap kamu tidak memanggilku pirang lagi.” kata Joseph sambil kembali menarik tangannya. “Kenapa? Bagaimana kalau aku lebih suka memanggilmu Pirang?” Joseph menatap laki-laki di depannya, yang senyumnya tampak mengejek. Ia sepertinya bisa langsung tahu orang seperti apa dia. Ini adalah hari pertamanya dan akhirnya ia tahu bahwa panggilan Pirang yang keluar dari mulut laki-laki itu memang untuk mengejeknya. “Aku tidak suka.” kata Joseph. Ia melirik sekeliling dan menyadari bahwa semua mata anak yang ada di sana menatap ke arah mereka, lengkap dengan raut penasaran. “Aku tidak peduli kamu suka atau tidak.” kata laki-laki itu, kini dengan nada lebih dingin disertai tatapan tajam. Seakan ingin memberitahu anak baru di depannya bahwa tidak ada yang bisa mengaturnya. Hari pertama yang buruk, pikir Joseph. Satu prinsip yang ia bawa saat mamutuskan untuk masuk sekolah ini adalah, ia tidak ingin mencari masalah pada siapapun. Dan tidak peduli jika ada yang mencari masalah padanya. Ia ingin satu tahunnya di sekolah ini tenang. Joseph akhirnya menghela napas lalu membalik badan dan menjauhi laki-laki itu. Ia bisa mendengar suara tawa laki-laki itu. “Pirang.” Suara itu kembali masuk ke gendang telinganya. Ia berusaha mengabaikannya dan terus berjalan menuju ruangan pengajar yang ada di koridor paling ujung lantai itu. Suara bel berbunyi saat ia baru saja duduk di depan sebuah meja. Seorang wanita paruh baya dengan kacamata tebal di depannya tengah memberikan beberapa pengarahan padanya. Seperti di mana kelas yang akan di tempatinya, jadwal kelas, mata pelajaran yang wajib laki-laki itu ambil juga kegiatan lain yang ada di sekolah. Hal yang sebagian besar sudah ia dengan saat ingin mendaftar di sana. Joseph berdiri saat wanita itu bilang bahwa akan mengantar ke kelasnya. Mereka menaiki tangga hingga lantai tiga dan menyusuri lorong yang sudah kosong. “Pirang…” suara itu terdengar lagi. Tak jauh di depannya, ia melihat seorang laki-laki baru saja keluar dari salah satu ruangan yang ia tak tahu ruangan apa. Laki-laki yang sama yang ia temui dibawah tadi dan masih dengan seringai mengejeknya. Joseph mendesis kesal. “Keenan.” Guru yang bersamanya terdengar menyentak laki-laki itu dan membuat laki-laki itu mengulum tawa. Laki-laki itu masuk ke ruangan lain tepat saat ia berhenti di depan sebuah jelas yang kedua daun pintunya tertutup rapat. Wanita itu mengetuk pintu dua kali sebelum akhirnya menekan handle pintu dan masuk mendekati seorang guru yang tengah berdiri di depan papan tulis. Joseph mengekor lalu tersenyum kecil pada guru yang sedang mengajar. Suasana kelas tiba-iba mendadak hening. Anak-anak di kelas itu langsung menghujam Joseph yang kini berdiri di samping guru yang sedang mengajar. Semua meneliti Joseph dari atas sampai bawah. Mulai dari rmabut pirangnya, matanya yang sebiru safir, kulit putihnya yang pucat, sampai pada sepatunya yang mahal. “Silahkan perkenalkan dirimu.” Guru yang sedang mengajar itu perempuan paruh baya dengan rambut ikal pendek, kulit kuning langsat dan bertubuh pendek. Joseph menatap ke depan lalu memperkenalkan diri secara singkat. Ia memindai isi kelas yang tampak berbeda dengan dirinya. Ia menyadari ada beberapa anak blasteran di sana, namun tak ada yang semencolok dirinya. “Duduklah di kursi yang kosong.” kata wanita itu. Lagi, mata Joseph menyapu seisi kelas, kini lebih pelan dan menyadari ada tiga kursi yang kosong. Ia akhirnya memilih kursi di samping seorang gadis yang tampak fokus dengan buku di depannya. Joseph mendekati kursi itu dan menjatuhkan bobotnya di sana. Ia melirik ke sebalh dna melihat gadis itu menangadahkan wajahnya saat guru di depan kembali melanjutkan materi. *** Keenan merampas sebuah tas dari salah seorang teman sekelasnya yang berkacamata. “Jangan.” Si pemilik tas memohon pada Keenan dan teman-temannya. Keenan tersenyum sinis. Ia membuka resleting tas itu dan membaliknya sehingga semua isi tas berjatuhan ke meja dan lantai kelas itu. Teman-teman yang lain hanya menatap Haikal dengan tatapan kasihan. Tak ada yang berani mendekat apalagi membantu laki-laki itu. Mereka semua tahu siapa Keenan. Siswa paling ditakuti di sekolah itu dan mereka sebaiknya tak mencampuri urusan laki-laki itu jika tak ingin menjadi bulan-bulanannya. Haikal menatap barang-barangnya yang sudah tersebar di meja dan lantai. Tasnya yang sudah kosong itu kemudian dilempar ke bawah lalu diinjak-injak oleh Keenan. Sepatu Keenan yang kotor langsung meninggalkan bekas di tas berwarna biru muda itu. “Guru… guru…” seseorang masuk ke dalam kelas dan memberitahu bahwa guru sedang berjalan menuju kelas mereka. Keenan menatap Haikal tak acuh lalu menginjak pulpen laki-laki itu hingga hancur dan berjalan pelan kembali ke mejanya. Haikal, si pemilik tas mulai memunguti barang-barangnya. Ia menghela napas panjang, mencoba menahan perasaannya. Perasaan antara marah dan sedih bercampur menjadi satu dan ia tak tahu mana yang lebih mendominasi. Ia tahu semarah apapun ia pada Keenan, ia tidak akan berani membalas laki-laki itu. Ia tidak pernah punya power untuk menahan laki-laki itu merisaknya. Ia selalu tahu bahwa jika ia melawan, ia akan mendapat perlakukan yang lebih menyakitkan keesokan harinya. Hal itu tak hanya terjadi sekali dua kali namun sudah berkali-kali sejak ia duduk di kelas sepuluh di sekolah itu. Penampilannya memang sedikit berbeda dari yang lainnya. Ia memakai kacamata tebal, memakai kawat gigi dengan rambut belah pinggir yang disisir rapi, yang tampak sepertu kutu buku dan mudah ditindas. Guru pria masuk ke kelas itu tepat saat Haikal selesai membereskan barang-barangnya. Haikal membenarkan letak kacamata tebalnya lalu mulai fokus pada pria berkemeja di depan kelas. *** Joseph memasukkan buku terakhir ke dalam ranselnya. Ia baru saja hendak bertanya di mana kantin dan ruang makan berada saat gadis di sebelahnya sudah berdiri dan keluar dari kelas. Sepanjang pelajaran, gadis itu benar-benar tak mengucapkana sepatah katapun padanya. Gadis itu hanya fokus pada guru dan materi, sekaan-akan tak menyadari bahwa ada orang di sebelahnya. Saat menyadari bahwa ruangan hampir kosong karena semua anak sudah menggambur keluar kelas, ia akhirnya berdiri dan turun ke lantai satu seorang diri. Ia menyusuri koridor lantai satu yang ramai, hingga akhirnya sampai di kantin dengan ruang makan di sebelahnya. Karena melihat ruang makan sedang ramai dan ia belum terlalu lapar, Joseph akhirnya memilih pergi ke kantin. “Boleh aku duduk di sini?” tanya Joseph setelah ia membeli satu botol minuman bersoda. Gadis yang menempati meja itu langsung mendongak. “Hai… Joseph… silahkan.” kata gadis itu dengan nada ramah. “kita satu kelas.” katanya lagi saat Joseph menatapnya kebingungan. Laki-laki itu membulatkan mulutnya sambil mengangguk. “Aku Emma.” Gadis berambut panjang dengan tubuh kurus dan kulit putih itu langsung mengulurkan sebelah tangannya. “Kamu pindahan dari mana?” tanyanya lagi saat jabatan tangan itu terlepas. “Aku sebelumnya homeschooling.” jawab Joseph. “Sudah lama tinggal di Indonesia? Sepertinya bahasa Indonesiamu lancar.” “Sudah.” Joseph hanya menjawab singkat. Ia menyesap air sodanya setelah membuka tutup botolnya. Mata Joseph menangkap seorang gadis yang baru saja masuk ke dalam kantin. Gadis itu mengambil air mineral dari kulkas dan roti dari keranjang lalu membayar dan duduk di meja kosong seorang diri. “Siapa namanya?” tanya Josep pada Emma. Gadis itu memutar kepalanya mengikuti arah pandang Joseph lalu melihat Nadine yang baru saja berhasil membuka bungkus roti dan menggigitnya. Emma terkekeh pelan mendengar pertanyaan Joseph. “Kamu duduk di sampingnya.” kata Emma. “Dia tidak mengucapkan sepatah katapun selama pelajaran, menoleh ke arahkupun tidak.’ kata Joseph. Hal yang membuatnya sungkan untuk berkenalan. “Nadine. Gadis paling tidak beruntung di sekolah ini.” Emma menjawab pertanyaan Joseph. Ia menyendok salad di piringnya lalu memasukkannya ke dalam mulut. “Lalu laki-laki itu?” Joseph bertanya lagi saat melihat seorang laki- laki masuk ke dalam kantin dan langsung duduk di depan Nadine. Laki-laki yang membuat hari pertamanya di sekolah ini terasa buruk. Emma kembali melempar pandangannya ke belakang lalu menatap laki-laki yang posisi duduknya membelakanginya. Tak perlu berpikir siapa itu karena hanya ada satu laki-laki yang selalu mencoba menarik perhatian Nadine. “Keenan.” jawabnya. “siswa paling ditakuti di sekolah ini. Kamu sebaiknya jangan pernah berurusan dengannya.” Emma memperingatkan. Sementara Emma sibuk dengan gawainya, Joseph menatap lurus ke meja Nadine. Ia melihat Nadine yang memakan rotinya sambil menunduk sementara laki-laki di depannya tampak terus menerus mengajak gadis itu berbicara. Nadine tampak tak peduli dengan orang yang ada di depannya. Hingga akhirnya sebelah tangan Keenan menyentuh tangan Nadine yang ada di atas meja. Namun Joseph melihat gadis itu langsung menepiskannya pelan. TBC LalunaKia

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

DENTA

read
17.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.5K
bc

Byantara-Aysha Kalau Cinta Bilang Saja!

read
284.8K
bc

Head Over Heels

read
15.9K
bc

(Bukan) Pemeran Utama

read
19.6K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.0K
bc

Single Man vs Single Mom

read
102.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook