"Sorry, udah bikin lo marah-marah."
Meyka kembali merasa bersalah. Dalam sehari, dia membuat Rado tersinggung. Dia memperhatikan Rado yang berjalan dengan kepala tertunduk.
"Ck!" Meyka segera melepas sabuk pengaman dan keluar dari mobil. "Ya udah, ayo!"
Langkah Rado seketika terhenti. Dia berbalik, melihat Meyka yang berdiri di samping mobil dengan bahu naik turun. "Nggak usah!"
"Ayo, gue temenin."
"Thanks...." Rado kembali berjalan, kali ini agak cepat.
Melihat Rado yang sepertinya ngambek, Meyka kembali dibuat bimbang. Dia hendak masuk, tetapi perasaan bersalah itu terus muncul. Akhirnya dia berlari dan menarik tangan Rado. "Beneran, ayo."
Rado melirik sepasang tangan yang terasa dingin yang sekarang melingkar di sikunya itu. Seketika dia tersenyum samar dan menatap Meyka. "Keberatan nggak?"
"Agak."
"Nggak jadi," jawab Rado sambil menyentak tangan Meyka.
Meyka buru-buru memegang tangan Rado. "Gue ngerasa bersalah."
"Nggak perlu kayak gitu."
"Mobil siapa ini, woy!" Tiba-tiba ada yang menginterupsi.
Meyka menoleh, mendapati seorang penjaga keamanan yang berdiri di samping mobilnya. Firasat buruk mulai menguasai. "Ayo! Sebelum mobil gue diapa-apain," ujarnya seraya menarik Rado.
Rado mengikuti Meyka dengan ogah-ogahan. Tetapi, wanita itu terus menyeret hingga sampai samping mobil.
"Maaf, Pak," ujar Meyka ke satpam yang siap mengamuk. "Sekali lagi saya minta maaf." Kemudian dia melepas pegangannya dan menuju pintu kemudi.
Tin....
Rado berjingkat mendengar suara itu. Dia menatap Meyka yang menggerakkan tangan dengan mata melotot. "Oke," jawabnya sambil tersenyum. Dia masuk mobil dan segera memakai sabuk pengaman.
Brum....
Meyka segera melajukan kendaraannya lalu melirik Rado yang tampak menahan tawa. "Puas udah bikin gue dimarahin?"
"Gue nggak nyangka lo bakal ngejar," jawab Rado santai.
"Lo tiba-tiba ngambek."
"Gue nggak ngambek."
"Terus, barusan apa?" Meyka ingat ekspresi sebal Rado saat turun dari mobil. "Bener kata Kak Merlin, sih. Lo gampang ngambek."
Rado menatap Meyka tak terima. "Kakak sepupu lo yang gampang ngambek."
"Kalian sebenernya sama."
"Lo juga gampang ngambek kali, Ka." Rado kembali menatap depan, mendapati jalanan yang padat merayap.
Meyka menghela napas panjang. Entah dia semalam mimpi apa sampai hampir dimarahi satpam. Selama ini, dia tidak pernah berbuat seperti itu. Sungguh, hidupnya agak lempeng. Dia tidak suka hidupnya diusik, itulah yang membuatnya enggan mengusik orang lebih dulu. Dia tidak suka melanggar peraturan karena nanti kena marah. Karena dia paling benci dimarahi. Sedangkan kejadian barusan, dia tidak banyak pikir panjang.
"Lo tahu tempat nongkrong Merlin?" tanya Rado mendapati Meyka yang mengemudi tanpa bertanya tujuannya.
"Hafal."
"Lo sering pergi sama mereka?"
Meyka mengangguk. "Jadi, obat nyamuk."
"Makanya gue ajak lo biar nggak jadi obat nyamuk," ujar Rado.
Meyka melirik Rado sekilas. "Yang lo bilang tadi beneran, Kak?"
"Yang mana?"
"Kalau lo patah hati."
Rado membuang muka, memilih menatap deretan toko yang dilewati. "Enggaklah. Ya kali gue patah hati."
"Jadi, bohong?" Meyka mencengkeram kemudi dengan erat.
"Biar lo temenin gue. Hahaha...." Rado tertawa sumbang. Dia lalu menatap Meyka yang siap mengamuk. "Jangan marah-marah gitu," ujarnya sambil mengusap pipi Meyka.
Meyka segera menyentak tangan Rado. "Jangan deket-deket."
"Lihat, siapa yang gampang ngambek?"
"Lo bikin gue marah, Kak," geram Meyka.
Rado tersenyum. Melihat Meyka yang ngambek dengan wajah memerah ada kesenangan tersendiri. Wanita itu tampak menggemaskan, mirip dengan tokoh kartun dengan bagian pipi yang memerah.
Meyka menoleh karena tidak mendapati respons Rado. Begitu tahu lelaki itu memperhatikannya, dia buru-buru membuang muka. Meyka duduk agak maju dan fokus mengemudi. "Huh...."
"Dari dulu lo selalu gemesin."
"Emang gue badut?"
"Iya," aku Rado. "Lo selalu bisa bikin gue ketawa."
"Nggak mungkin!" Meyka menggeleng tegas. Dia ingat ketika masih remaja malu-malu kucing ke Rado. Bagaimana bisa dia membuat lelaki itu tertawa?
Rado bersedekap lalu memejamkan mata. Tanpa diminta, kejadian beberapa tahun lalu menyeruak. "Tingkah lo bikin gue ketawa."
"Gue nggak pernah ngelakuin apapun."
"Tapi, selalu dandan tiap gue dateng."
"Uhuk...." Meyka tersedak, syok mendengar kalimat itu. Dia melirik ke Rado yang duduk santai sambil memejamkan mata. "Enggak, tuh," elaknya meski percuma.
"Lo juga pernah sengaja nunggu gue di depan rumah. Pas gue dateng lo langsung masuk. Ya, kan?"
Meyka bergidik. "Enggak."
"Ngaku aja, Sayang."
"Ih, apaan, sih!" Meyka kembali bergidik. Bulu kuduknya meremang mendengar panggilan sayang dari Rado.
Rado membuka mata, melihat wajah Meyka kian memerah. "Gue masih inget jelas apa yang terjadi sama lo dulu."
"Lupain. Nggak penting."
"Kalau menurut gue penting?"
"Menuh-menuhin pikiran lo, Kak."
"Nggak masalah." Rado tersenyum samar. Bertepatan dengan itu, mobil Meyka mulai berbelok ke salah satu kafe. "Udah sampai?"
Meyka mengangguk. "Gue tunggu sini aja. Have fun."
"Jangan mulai."
"Gue butuh menenangkan diri."
"Kalau gitu gue temenin di sini," putus Rado.
Sungguh, Meyka tidak tahu lagi harus menghindar dari Rado. "Ya udah." Dia melepas sabuk pengaman lalu segera turun.
Rado tersenyum kecil, ternyata gampang membujuk Meyka.
***
Suasana Arten kafe sangat ramai, dipenuhi dengan para muda-mudi. Setiap harinya selalu live performance dari penyanyi kafe. Penampilannya selalu atrakif, membuat pengunjung tidak hanya mendengarkan, tetapi juga mengikuti.
Di salah satu meja tengah, empat orang duduk sambil memakan steak. Rado sudah lama tidak tinggal di ibu kota, tampak tertarik dengan penyanyi kafe yang mengajak pengunjung untuk berduet. Belum lagi ada beberapa pengunjung yang ikut menari di sampingnya.
"Udah lama nggak lihat ginian?" tanya Prima.
Pandangan Rado teralih. "Di sana juga banyak," jawabnya. "Cuma kenapa pada ada yang nari heboh gitu?"
Merlin menatap ke dua orang wanita dan tiga pria yang menari heboh. "Nunjukin pesonanya," ujarnya. "Kalau cocok ganti ke bar, terus lo tahu ganti ke mana lagi."
"Wah, gila!"
Meyka satu-satunya orang yang tidak tertarik. Dia memilih menyantap kentang rebus setelah steak-nya tandas. Dia juga tidak berusaha masuk ke pembicaraan.
"Jadi, kita cuma makan doang?" Rado menatap dua temannya bergantian. Dia pikir, temannya akan mengajak hal-hal yang lebih seru.
Dap.... Lampu tiba-tiba padam.
Rado mengedarkan pandang. Dia mengernyit melihat tiga orang di meja yang hanya diam. "Kenapa, nih?"
"Menurut lo bakal makan doang?" tanya Pria sambil menahan tawa.
"Udah siap dengan permainan malam ini?" Tiba-tiba terdengar suara kencang.
Sungguh Rado masih bingung. Dia mengedarkan pandang, melihat pengunjung lain yang berdiri dengan antusias. Kemudian dia menatap depan, mendapati sebuah layar yang menunjukkan beberapa angka dengan cepat.
"Dua puluh lima!" Si Pembawa Acara berteriak melihat angka yang tertera.
Hampir seluruh pengunjung seketika berdiri dan memeriksa ke bawah kursi. Di sana, terdapat sebuah kertas bertuliskan angka. Rado yang penasaran ikut berdiri dan mengambil kertas di bawah kursi.
"Gue dua puluh empat," ujar Rado sambil menunjukkan nomor yang tertera.
Merlin dan Prima saling pandang. Mereka segera memeriksa kursi, tapi nomor mereka lebih dulu daripada Rado. Lantas, tiga orang itu menatap wanita yang tersisa.
"Ka, kayaknya nomor lo, deh!" ujar Merlin. Dia bergerak ke samping dan mengambil kertas di bawah kursi Meyka. Setelah dibuka, benar bertuliskan angka 25. "Tuh, kan, nomor lo. Maju sana."
Meyka menatap Merlin yang heboh. "Gue nggak mau maju."
"Nomor dua puluh lima mana, sih?"
"Sini... Sini...." Beberapa pengunjung menunjuk ke meja Meyka.
"Maju sana," bujuk Rado sambil menepuk pundak Meyka.
Meyka perlahan berdiri. "Sanksinya apa?"
"Wah, yakin nggak mau maju?" tanya pembawa acara.
Merlin mendekat dan berbisik. "Terakhir ada yang suruh traktir kentang goreng. Tetep aja mahal, Ka."
"Yakin, kan, nggak mau coba permainan dulu?"
Rado melihat Meyka yang masih bimbang. "Dia mau main!"
"Ck!" Meyka menghentakkan kaki.
"Main... Main... Main...." Pengunjung lain mulai berseru.
Rado menarik pundak Meyka dan mendorongnya. "Cuma buat seru-seruan," ujarnya kemudian segera mundur.
Meyka mulai sebal. Dia mendekati bowl dan mengambil kertas di dalamnya. Lantas menyerahkan ke pembawa acara.
"Kira-kira apa, ya?" Si pembaca acara mulai membuka kertas itu. "Dance dengan nomor sembilan!" Dia membaca tulisan di kertas.
"Nomor sembilan!" Beberapa pengunjung bersuara.
Seorang lelaki berdiri dari kursinya. Dia mengangkat tangan dan membuat pengunjung menoleh. Lantas, dia berjalan ke depan.
"Terus, mereka harus ngapain?" tanya Rado.
"Dance. Lo nggak denger?" Merlin menjawab tanpa menatap Rado.
"Mereka dapet hadiah nggak?"
"Dapet ice cream. Tapi, kan ini buat seru-seruan."
Dreeng.... Suara musik kemudian terdengar.
Meyka menatap lelaki dengan potongan rambut buzzcut yang tersenyum sopan. Dia mendekat lalu mulai menari sebisanya. Lelaki itu ternyata pandai menari. Dia membantu Meyka untuk menikmati suasana.
"Huuu...." Para pengunjung mulai ikut menari.
"Ayo!" Merlin mengajak Prima dan Rado untuk seru-seruan.
Rado bersedekap melihat partner Meyka yang tampak asyik menunjukkan bakatnya. Meyka yang awalnya tidak mood, mulai menikmati suasana. Rado bisa melihat jelas bagaimana wanita itu tersenyum lalu mendekati partner-nya.
"Lagi!" Saat musik berhenti, para pengunjung berteriak heboh.
Meyka menatap lelaki di sampingnya yang tersenyum. Percaya atau tidak, mood yang tadi buruk perlahan mulai hilang. Dia sudah lama tidak seru-seruan dan melepas penat.
"Lagi?" tawar lelaki itu.
"Kenapa enggak!" Meyka mengangkat tangan dan mulai menari.
Merlin menatap Meyka sambil menahan tawa. Dia tahu adik sepupunya itu ceria, hanya saja sering badmood. "Gawat, nih, kalau dia mendadak semangat."
Rado menoleh mendengar ucapan Merlin. "Gawat gimana?"
"Bakal berisik," jawab Prima.
Beberapa menit kemudian, Meyka selesai menari. Dia membungkuk ke partner-nya. Kemudian lelaki itu mendekat dan memeluk Meyka.
"Silakan, Kak. Hadiah dari kami."
Meyka berbalik dan menerima sebuah kotak berisi cokelat. "Makasih," ujarnya kemudian kembali ke meja.
Rado masih berdiri, padahal pengunjung lain sudah kembali duduk dan lampu telah menyala. Dia melirik ke Meyka yang melewatinya, kemudian menghadap wanita itu yang masih tersenyum.
"Hadiahnya makin mahal," ujar Merlin. "Sebulan lalu kayaknya masih ice cream."
"Iya. Syukur, deh, gue dapet yang mahal." Meyka membuka kotak kado itu dan memakannya. "Hmm...." Dia menyerahkan kotak cokelat itu ke Merlin.
"Hai...." Tiba-tiba ada seseorang yang mendekat.
Rado melihat lelaki tadi membungkuk ke Meyka. Entah apa yang mereka bicarakan sampai harus bisik-bisik seperti itu. Dia lantas duduk dan mencuri dengar.
"Boleh minta nomor lo?" Lelaki itu mengeluarkan ponsel dan menyerahkan ke Meyka.
Meyka melirik Merlin dan Prima yang menahan tawa. Hal itu sudah biasa. Sebelum-sebelumnya juga ada yang saling kenalan setelah permainan. Bahkan, ada yang sampai jadian.
"Oke!" putus Meyka. Dia sedang single, sepertinya tidak akan ada masalah.
"Thanks. Nanti gue hubungi."
"Ya!" Meyka tersenyum. Dia mengambil minumannya dan tak sengaja melirik Rado yang memperhatikan. Dia mengangkat bahu dan meminum dengan haus.
"Hati-hati, jangan sampai ditipu," ingat Rado lalu menghela napas panjang.