3-TERPAKSA MENEMANI

1705 Words
Usai berbelanja, Rado dan Meyka segera ke apartemen. Sebenarnya Rado ingin jalan-jalan. Sudah lama meninggalkan ibu kota membuatnya penasaran dengan sudut pusat kotanya. Tetapi, Meyka ngotot ingin pulang dengan alasan daging yang dibeli harus segera masuk kulkas, jika tidak akan cepat busuk. Jadilah, Rado menurut. "Setelah ini jalan, ya!" bujuk Rado kesekian kalinya. Meyka tidak menjawab dan memilih masuk dapur. Dia membuka kulkas dan mengeluarkan daging yang sudah lama. Kemudian dia mengambil alih kantung dari tangan Rado dan memasukkan daging yang baru dibeli di tumpukan bawah. "Nggak bosen apa di rumah terus?" Rado berdiri bersadar sambil bersedekap. "Tamu lo pengen jalan-jalan." Lagi, Rado selalu menjadikan itu untuk membujuk Meyka. Meyka melirik Rado sekilas lalu melanjutkan kegiatannya. "Lo nggak lihat di luar lagi panas banget?" "Kan, pakai mobil." "Tetep aja silau." "Kan, gue yang nyetir." Sontak Meya bertolak pinggang. Perlahan dia menghadap Rado dan menunjukkan wajah lelahnya. "Gue pinjemin mobil, silakan keluar sendiri." "Nggak seru!" Meyka mengangkat bahu acuh tak acuh. Dia menarik laci kulkas dan mengisinya dengan sayuran. Kemudian dia menutup kulkas dan menata bumbu-bumbu yang dibeli. "Ya udah, kalau nanti malem kita keluar gimana?" Rado masih enggan menyerah mengajak Meyka pergi. "Lo perlu suasana baru buat patah hati lo." "Gue nggak patah hati, ya!" "Tapi, habis nangis." Meyka mendorong Rado lalu mengambil air mineral. Dia menegak minumannya dengan kasar, hingga ada tetesan yang keluar di sudut bibir. Kemudian dia menatap Rado bosan. "Ya emang gue habis nangis, terus kenapa?" "Gue hibur," jawab Rado. "Nanti sore pokoknya temenin." Dia mengusap air yang membasahi sudut bibir Meyka kemudian menjauh. "Kak Rado." Langkah Rado terhenti, merasa Meyka telah luluh. "Ya?" Dia berbalik dengan senyum penuh percaya diri. "Kapan Kak Rado keluar dari sini" "Wah! Barusan gue diusir?" Rado menatap Meyka tak percaya. "Wah, gila." Meyka mengusap bibir dengan punggung tangan dan maju selangkah. "Kak Rado nggak bisa tinggal di sini lama-lama. Nanti Kak Merlin balik." "Gue masih pengen ketemu Merlin." "Tetep aja, nggak bisa tinggal di tempat cewek." Rado tersenyum kecil. "Gue bisa pindah hotel deket sini." "Oh, ya udah bagus." "Tapi, selama Merlin nggak keberatan gue di sini." Meyka geleng-geleng. Rado tetaplah Rado. Dulu, saat lelaki itu ke rumah Merlin untuk belajar kelompok, selalu tidur di ruang tamu. Lelaki itu baru pergi saat diusir Kak Merlin. Entahlah, dia heran mengapa Rado tidak betah di rumahnya sendiri. "Nanti sore kita jalan," putus Rado kemudian menuju kamar. "Ihhh...." Meyka menghentakkan kaki. Lagi-lagi dia dibuat sebal oleh Rado. "Gue harus bujuk Kak Merlin." Meyka mengambil ponsel di tas lalu berjalan menuju kamar. Tut.... "Apa, Ka?" Suara Merlin terdengar. Meyka terdiam mendengar suara yang agak bising. "Lo lagi di jalan, kan?" "Iya. Kenapa?" "Balik?" "Enggak, habis cari makan," jawab Merlin. "Kenapa?" Meyka mengempaskan tubuh di ranjang. "Rado sampai kapan di sini? Gue udah nggak betah," keluhnya. "Gue barusan nemenin belanja, terus dia minta ditemenin jalan. Mana disuruh pergi nggak mau." "Hahaha...." Merlin terbahak. "Lo kayak nggak kenal Rado aja." "Ternyata dia masih nyebelin." "Kata lo dulu nyebelinnya itu gemesin." "Jangan ingetin itu!" teriak Meyka tanpa sadar. "Dulu gue bocil bucin. Sekarang gue sadar kalau dia nyebelin banget." "Tenang aja, dia udah nyari tempat tinggal kok." "Emang dia bakal lama di Jakarta?" "Mungkin," jawab Merlin. "Dia mau nyewa apartemen. Tolong bantuin dia, ya!" "Ogah!" Meyka segera menolak. "Kak, bujuk dia buat cepet keluar dan jangan ganggu gue. Please." "Sabar dulu. Ada waktunya dia keluar kok." "Nggak bisa diajak kerja sama." "Gue balik besok. Bye!" Merlin lalu memutuskan sambungan. Meyka meletakkan ponsel dan menatap langit-langit kamar dengan gamang. Sepertinya dia harus pulang ke rumah daripada tinggal berdua dengan Rado. Meski, ada rasa enggan untuk kembali ke rumah itu. *** Waktu baru menunjukkan pukul lima sore, tetapi Rado sudah siap-siap. Dia mengenakan kaus putih dan jaket denim lengkap dengan kacamata. Sore ini dia memilih ripped jeans dan dipadukan dengan sepatu running berwarna biru tua. Rado merasa, style-nya cukup cocok untuk dibuat jalan-jalan santai. "Kacamata gue simpen dulu, deh!" Rado melepas kacamatanya dan menyampirkan bagian depan kaus. Setelah itu dia keluar dan mengetuk pintu kamar sebelah. "Meyka, yuk jalan, yuk!" Ceklek.... Rado cukup kaget karena Meyka segera membuka pintu. Tetapi, dahinya segera menyernyit mendapati wanita itu menggeret koper. "Lo mau ke mana?" "Pulang," jawab Meya sambil menyelinap karena Rado menghalangi jalannya. "Ini tempat lo." "Rumah gue nggak di sini." "Rumah?" Rado mencoba mencari tahu maksudnya. Hingga dia menyadari sesuatu. "Lo nggak bisa balik ke sana, Ka!" Langkah Meyka seketika terhenti. Dia berbalik, melihat Rado yang mendadak panik. "Kenapa? Kan, itu rumah gue." "Tapi...." Rado menggaruk tengkuk, kesulitan berbicara. "Oke, kalau lo nggak nyaman mending gue yang pergi." "Enggak. Gue emang niat pergi kok," jawab Meyka sambil tersenyum. "Bener kata lo, gue emang patah hati dan gue perlu menyendiri." "Di rumah itu?" "Iya!" "Enggak!" Rado segera mendekat dan menarik koper Meyka. "Gue nggak bisa biarin lo ke rumah itu lagi." Meyka menghela napas berat. "Semua udah berlalu. Udah nggak ada efeknya lagi." Rado memperhatikan Meyka yang mengedip beberapa kali. Dia yakin, Meyka tengah berbohong. "Lo beneran butuh suasana baru." "Makanya itu gue pulang." "Paling bener emang ngajak lo pergi!" Rado menarik tangan Meyka dan mengajak keluar. "Eh. Ngapain?" Meyka berusaha melepaskan genggaman, tetapi Rado tidak membiarkannya begitu saja. "Gue nggak mau pergi." Rado tetap tidak menggubris. Dia menekan tombol lift lalu masuk lebih dulu. Meyka berdiri di sampingnya dan menatap tak suka. Rado pura-pura tidak tahu dan menatap pintu di depannya. "Kunci mobilnya ketinggalan." "Nggak apa-apa, niat gue mau jalan-jalan." "Gue nggak mau jalan." "Jalan itu baik bagi kesehatan," ujar Rado. Saat pintu lift telah terbuka, dia menarik Meyka dan setengah berlari. Meyka melotot karena tindakan itu. "Lo umur berapa, Kak? Kenapa bocah banget lari-larian." "Emang cuma bocah yang boleh lari?" "Jalan aja!" Meyka memukul lengan Rado lalu memutuskan berjalan. Perhatiannya tertuju ke tangan mereka yang saling bertaut. Meyka menatap Rado lalu tersenyum samar. Dia tahu lelaki itu peka, tapi dia tetap marah-marah. Rado berjalan di trotoar lalu melepas genggaman. Dia menatap langit tampak cerah kemudian menikmati sore yang begitu tenang. "Meski berisik, cukup bikin gue seneng." Meyka mengernyit, merasa jika Rado benar-benar menikmati suasana. Entah apa yang dialami Rado. Menurutnya, Rado bukan tipe lelaki yang suka jalan-jalan sore. Pasti saat mengajak keluar harus ada kegiatan lain, seperti nongkrong di kafe, nonton atau kegiatan lainnya. Sekarang benar-benar hanya berjalan. "Mau nonton?" ajak Rado sambil berbalik. Meyka berjalan pelan masih tanpa senyuman. "Cuaca lagi bagus banget dan lo masih bete?" "Kalau bete cuaca lagi sebagus apapun tetep aja bete." "Coba nikmati hidup, dong!" Rado mendekat dan merangkul Meyka. "Mau nonton? Atau mau jajan? Apapun gue turutin." Meyka mendorong pipi Rado. "Gue mau pulang." "Kecuali yang itu." Rado kemudian berjalan agak cepat. Beberapa menit kemudian, Meyka dan Rado berakhir di kafe. Meyka memesan cookies dan es cokelat sedangkan Rado hanya menatap kopi. Lelaki itu meminum kopinya sambil memperhatikan keadaan di luar. "Gue udah ada rencana buat pindah kok," ujar Rado. "Besok gue ketemu pemiliknya. Izinin malem ini tinggal di tempat lo." Meyka menatap Rado. "Jadi, bakal lama di Jakarta?" "Hmm. Sampai batas waktu yang tidak ditentukan." "Nggak kerja?" "Gue udah cukup banyak habisin waktu buat nyari duit. Sekarang coba nikmati." Rado meletakkan cangkir kopinya dan menatap Meyka. "Cowok seusia lo udah pada sibuk sama anak istrinya." "Ya itu mereka, gue nggak," jawab Rado tajam. "Lo sendiri? Di usia lo masih terus patah hati?" "Namanya patah hati nggak ada yang tahu. Lagian yang salah bukan gue." "Namanya pacaran kalau ada masalah, yang salah itu keduanya." "Tapi, dia yang selingkuh. Terus, lo bilang itu salah gue?" Rado terdiam mendengar kalimat Meyka. Jadi, wanita itu diselingkuhi? Pantas mood Meyka naik turun. "Kasih tahu tuh cowok di mana?" "Dia nggak di sini." "Gue bisa samperin," ujar Rado serius. "Bakal gue tonjok dia." Mata Meyka mulai berkaca-kaca. "Dia udah bahagia nunggu anaknya lahir." "What?" Rado tersentak kaget. "Berarti, tuh, cowok parah banget. Lo nggak lihat gelagat anehnya apa?" Meyka menutup wajah. Ucapan Rado seolah menyudutkannya, menganggap tidak peka. "Gue LDR, terus dia selingkuh." Rado menyeruput kopinya lalu membuang muka. "Itulah kenapa gue males LDR." "Jadi, lo sama kayak mantan gue," ujar Meyka sambil menurunkan tangannya. "Dia bilang males LDR, tapi nggak mau mutusin gue." "Kenapa juga nggak lo putusin?" "Jadi, cewek yang salah?" Rado mengacak rambut. "Gue emang nggak bisa LRD. Pilihan gue cuma dua, tinggalin atau ikutin dia." "Oh...." Entah kenapa Meyka lega karena Rado tidak seburuk itu. Dia mengusap sudut mata dan menatap ke arah luar. "Udahlah, jangan bahas itu." "Lo bisa hubungi gue, kalau tuh cowok muncul." "Ya. Lo harus bikin dia kapok." Rado mengangguk seperti sebuah janji. "Cowok kayak gitu nggak perlu ditangisin," pintanya. "Cari yang lain, banyak yang lebih baik." Meyka tidak menjawab. Dia memakan cookies di depannya sambil menatap langit yang perlahan berubah gelap. Setiap patah hati, saran orang-orang memang menyuruh mencari yang lain. Tetapi, hati tidak semudah itu berpaling. "Besok lo kerja?" tanya Rado mengalihkan pembicaraan. "Iya. Kalau enggak bisa dipecat gue." "Besok gue boleh nebeng?" Perhatian Meyka teralih. Dia menatap Rado yang duduk santai sambil menahan senyuman. "Kak Merlin bisa nganter lo." "Lo nggak mau nganter?" tanya Rado. "Enggak." "Nggak bisa banget nyenengin hati gue." "Hahaha...." Meyka terbahak melihat wajah sendu Rado. "Nggak janji." Rado mengambil cookies milik Meyka dan melahapnya bulat-bulat. Dia memperhatikan wanita cantik dengan rambut digerai indah itu. Kali ini Meyka mengenakan kaus agak ketat dengan potongan bagian bahu agak lebar. "Selama di Jakarta lo mau nemenin gue?" "Gue rasa temen lo banyak." "Semakin dewasa lo bakal tahu mana temen mana enggak," ujar Rado. "Sahabat gue sekarang Merlin. Mungkin juga lo." Meyka menyeruput es cokelatnya tanpa menjawab pertanyaan Rado. Dia memilih menatap ke jalanan yang mulai padat merayap. Suasana tidak bisa dikatakan tenang, tapi pikiran Meyka perlahan tenang. Dia sadar sudah terlalu sensitif terhadap Rado. Entah karena dia belum siap bertemu lelaki itu atau memang dia sensitif karena tindakan Dion. "Setelah ini kita cari makan, ya!" ajak Rado setelah menghabiskan cookies milik Meyka. Meyka mengalihkan pandang, melihat piring cookies-nya telah kosong dan es cokelatnya tersisa sedikit. Dia menatap Rado yang pura-pura membuang muka. "Kenapa lo habisin?" "Hahaha...." Rado terbahak. "Ayo, mending cari makan." Dia berdiri lalu menarik tangan Meyka begitu saja. "Aduh...." Meyka hampir kehilangan keseimbangan. Dia segera mengikuti Rado sambil setengah mendengus. Entah apa maksud semesta menghadirkan Rado di saat Meyka baru putus dengan Dion. Kayaknya gue terlalu berpikiran jauh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD