Bab 2
"Saya perlu bicara berdua dengan kamu."
Langkah kaki Tiana yang akan pergi spontan terhenti ketika mendengar suara berat pria muncul dari belakang tubuhnya.
Segera Tiana membalikkan tubuhnya dengan gerakan slow motion menatap pada sosok pria yang memiliki tubuh agak lebih tinggi darinya.
Kalau tidak salah pria ini bernama Hadi, suami dari sahabatnya.
"Mau ngomong apa? Mas pasti nggak setuju juga 'kan tentang rencana Silvi yang berniat untuk menjodohkan kita? Saya tahu kalau sahabat saya itu memang sakit, jadi maafin aja atas semua kelakuannya."
Tiana berkata dengan santai sambil mengibaskan tangannya di udara. Wanita itu hanya menganggap jika keinginan Silvi adalah angin lalu yang tentunya tidak akan pernah bisa dituruti olehnya.
Tiana masih cukup waras untuk menikah dengan laki-laki terutama jika pria itu berstatus sebagai suami sahabatnya.
Trauma dari laki-laki babi yang mengkhianatinya serta memiliki ayah yang tidak setia membuat Tiana tidak lagi percaya atau mengagung-agungkan cinta. Baginya yang penting ia memiliki banyak uang untuk membiayai kehidupannya sendiri itu sudah lebih dari cukup.
"Keinginan Silvi yang ingin menikahkan kita berdua itu sudah ada sejak 3 bulan yang lalu."
Spontan saja senyum Tiana langsung menghilang.
"Maksudnya apa? Jangan bilang kalau Mas juga setuju dengan ide gila Silvi? Jangan mentang-mentang karena sahabat saya lagi sakit dan badannya kurus jelek, Mas bisa seenaknya berkhianat sama dia."
"Saya juga sudah bilang ke dia tentang niatnya yang ingin menikahkan saya dengan kamu. Tapi, Silvi tetap keras kepala dan ingin kita berdua menikah."
Rahadi Kusumo atau dikenal sebagai Hadikusumo melangkah maju mendekati Tiana dan berdiri di hadapan wanita itu.
"Saya juga mencintai istri saya. Tidak mungkin saya akan berkhianat dari dia. Hanya saja ini keinginan terakhir dia, saya harap kamu bakalan menuruti keinginannya."
"Menuruti keinginannya untuk menjadi istrinya Mas? Lah, yang benar saja, rugi, dong. Yakali saya yang masih perawan ting-ting gini harus menikah dengan bapak-bapak yang udah punya istri. Dalam hal ini tentu saja saya menolak. Selain saya nggak mau jadi pelakor, saya juga nggak tertarik untuk menjadi istri siapapun."
Tiana mengibaskan rambutnya kemudian berbalik pergi meninggalkan Hadi yang berdiri termenung di lorong rumah sakit seraya menatap punggung wanita yang menghilang dari jarak pandangnya.
"Maaf, Sayang, mas nggak bisa membujuk sahabat kamu." Hadi berkata seraya menggenggam tangan Silvi.
Sementara wanita yang terbaring di atas tempat tidur itu tersenyum. "Aku yakin, Tiana pasti bakalan berubah pikiran, Mas."
Silvi memejamkan matanya. Wanita itu tersenyum lembut, menanti kematian yang mungkin sebentar lagi akan tiba.
Sementara Tiana yang sudah tiba di apartemennya, cepat-cepat membersihkan diri dan mandi.
Jarak penerbangan dari Amerika menuju Indonesia membutuhkan waktu berjam-jam di atas pesawat.
Selesai membersihkan diri, wanita itu kemudian merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur dan terlelap dengan nyaman.
Apartemen ini adalah apartemen yang dibeli sebelum ia pergi menuju Amerika untuk merantau dan mencari pekerjaan di sana.
Beruntungnya apartemen ini selalu dibersihkan, sehingga Tiana tidak perlu repot-repot harus membersihkan debu yang menempel pada perabotan rumah tangganya.
Wanita itu terlelap dengan nyaman hingga tidak sadar jika waktu sudah menunjukkan jika ini sudah tengah malam.
Wanita yang sedang terlelap itu terperanjat kaget ketika mendengar suara panggilan masuk.
"Argh!" Tiana berteriak dengan kesal pasalnya suara dering ponselnya begitu nyaring dengan benda segi empat itu yang terletak tepat di sebelah telinganya. "Siapa 'sih telepon malam-malam? Nggak tahu apa kalau gue ini lagi tidur?"
Tiana mengambil ponselnya dengan asal kemudian segera menjawab panggilan masuk dengan nada yang agak tinggi.
"Oy! Siapa 'sih malam-malam telepon? Nggak tahu apa kalau gue ini lagi tidur dan mimpi mandi uang? Ganggu banget jadi manusia!"
"Silvi meninggal dunia."
Tiga kata terucap dari suara berat milik seorang pria yang entah mengapa cukup dikenali oleh Tiana.
Suara yang pernah berbincang dengannya hanya beberapa patah kata tadi siang.
"Apa?"
Segera Tiana mendudukkan dirinya di atas tempat tidur, dan menatap sekeliling dengan pandangan was-was.
"Maksudnya apa, nih? Jangan bercanda yang nggak-nggak, Mas. Saya nggak suka kalau sahabat saya dijadiin bahan bercandaan. Nggak mungkin Silvi bakalan meninggal dunia secepat ini. Ini pasti akal-akalan kalian aja 'kan buat jebak saya?"
Tiana menggelengkan kepalanya menolak semua gagasan yang masuk ke dalam kepalanya. Silvi, sahabatnya itu hanya sakit biasa dan bukan penyakit serius yang mengharuskannya kehilangan nyawa.
"Kamu datang saja ke rumah sakit."
Ada suara tangisan terdengar di seberang telepon membuat Tiana segera turun tempat tidurnya setelah mematikan sambungan telepon.
Wanita cantik itu kemudian segera mengambil sendalnya beserta dompet dan ponsel yang selalu digenggamnya.
"Enggak, enggak mungkin. Nggak mungkin Silvi tiba-tiba meninggal gitu aja. Ini pasti mau prank gue. Gue di prank pasti."
Tiana menggumamkan kata-kata untuk meyakinkan dirinya sendiri jika apa yang diucapkan oleh suami dari sahabatnya Itu adalah sebuah kebohongan.
Wanita itu kemudian melangkah dan mencari siapapun yang bisa mengantarkannya ke rumah sakit.
Dirinya belum memiliki mobil sehingga harus merepotkan orang lain terlebih dahulu. Beruntung ada salah satu penjaga keamanan yang mau membantunya untuk mengantarkannya ke rumah sakit.
"Thanks, Pak."
Tiana segera mengeluarkan selembar uang merah dan diselipkan ke tangan satpam yang membawa kendaraan roda dua miliknya kemudian tanpa mengatakan apa-apa lagi Tiana langsung bergegas masuk ke dalam lobby rumah sakit.
Sementara satpam berusaha untuk memanggil namanya agar tidak perlu memberikannya uang, sayangnya Tiana tidak peduli dan langsung bergegas mencari ruang rawat tempat di mana sahabatnya itu berada.
Piyama berwarna hitam dengan panjang hanya setengah paha dan juga sandal rumahan menjadi kostum Tiana malam ini. Sementara rambutnya sendiri diikat dengan asal, tidak peduli jika saat ini ia sudah berpenampilan acak-acakan.
Tiba di lantai yang dituju, wanita cantik itu kemudian segera mencari ruang rawat tempat di mana sahabatnya berada.
Saat langkah kaki Tiana mendekat, suara raungan tangisan terdengar membuat tubuh wanita itu terasa sangat lemas ketika mendengar suara teriakan tangisan yang ia yakini jika itu adalah milik dari anggota keluarga Silvi.
Segera Tiana melangkah dan membuka pintu ruang rawat. Silvi dikelilingi orang-orang yang menangisi kepergiannya.
Dapat terlihat Hadikusumo yang berdiri di sebelah jenazah sang istri dengan kepala tertunduk. Ekspresi wajahnya yang mendung menandakan jika memang pria ini kehilangan sosok istri yang sangat dicintainya.
"Silvi," panggil Tiana.
Segera tangis wanita itu langsung pecah dan menerobos kerumunan untuk berdiri di sebelah ranjang tempat di mana Silvi kini terbaring dengan mata terpejam.
Terdapat senyuman kecil di wajah Silvi yang membuatnya terlihat seperti tidak meninggal sama sekali. Sementara ia tahu jika tubuh sahabatnya ini sudah mulai mendingin.
"Kenapa lo tinggalin gue gitu aja? Di dunia ini gue cuma punya elo satu-satunya orang yang bisa gue percaya dalam hidup ini. Terus lo pergi juga? Sil, prank lo itu nggak lucu. Lo harus bangun dan bilang sama gue kalau lo bercanda."
Tiana menggoyangkan tubuh Silvi berharap agar sahabatnya itu bisa membuka mata dan mengatakan padanya Jika ia hanya ditipu.
Sayang sekali harapan tinggal harapan karena pada kenyataannya Silvi hanya terdiam dengan mata terpejam.
Hadi yang menyadari kehadiran Tiana kemudian bergerak mendekat dan berdiri di sebelah wanita itu.
"Sebelum menghembuskan napas terakhirnya, Silvi ingin kita menikah di depannya. Tadi, kami sudah berusaha untuk menghubungi kamu namun kamu tidak mengangkatnya. Silvi meninggal dan menginginkan kita menikah di depannya."
Tiana yang menangis mengangkat kepalanya. "Tapi gue nggak mau nikah sama lo!"
"Ini sudah keinginan terakhir dari Silvi. Ada banyak saksi di sini. Saya hanya ingin mewujudkan keinginan terakhir Silvi. Bekerja sama dengan saya dan menikah dengan saya sekarang."