11 - Senyum Alami

1236 Words
"Ohh… Apa itu Ayahanda?" tanya Kirana. Jelas tak mengerti. "Undangan Pesta!" balas Raden Mas Adiwangsa. Memasang senyum hangat. "Pesta?" "Ya… Hong Kui, Saudagar Tionghoa yang sedang naik daun itu, mengadakan selamatan untuk Rumah Hiburan dan Toko Barang Antik baru ia buka!" "Sebagai bentuk Selamatan, diadakan pesta ini!" "Nahh… Yang membuat sangat menarik, ia tampak hendak mengadakan jenis pesta seperti yang ada di Eropa sana!" Raden Mas Adiwangsa, menjelaskan dengan antusias. Begitu bersemangat membahas satu dua hal terkait Eropa. Sementara Kirana yang sebenarnya kurang begitu paham, memutuskan diam mendengarkan. Sekedar beberapa kali mengangguk untuk mengikuti kalimat-kalimat Ayahnya. Gesture yang sengaja dibuat cuma untuk menyenangkan hati Raden Mas Adiwangsa. Setidaknya Sang Ayah tahu ia memperhatikan. "Kau tahu, Hong Kui bahkan mengadakan acara Lelang segala! Sungguh meriah! Belum pernah sekalipun aku melihat langsung acara macam ini!" lanjut Raden Mas Adiwangsa. Bertahan dengan raut wajah antusiasnya. "Apa itu acara Lelang Ayahanda?" Berkembang menjadi penasaran, Kirana tak lagi sekedar diam. Mulai kembali melempar pertanyaan. "Ohh… Kau tak tahu? Ini biasa menjadi bagian dari kisah-kisah novel Eropa!" ucap Raden Mas Adiwangsa. "Hmmmm… Ayahanda, kau hanya mengajariku baca tulis, tak pernah sekalipun berkesempatan membaca apa itu novel dan yang lainnya!" balas Kirana. Memasang wajah memelas. Tak seperti kebanyakan pribumi lain, Kirana yang merupakan Ningrat wanita, golongan masih tersisih karena akses mendapat pendidikan biasa hanya akan diberi pada anak laki-laki, ternyata juga mendapatkan pengajaran baca tulis meski tak pernah mengenyam pendidikan HBS. Raden Mas Adiwangsa, secara diam-diam menggaji salah satu siswa HBS Surabaya, untuk datang berkunjung tiap hari Jumat memberi pengajaran baca tulis kepada Kirana. Aksi yang jelas menunjukkan bagaimana Raden Mas Adiwangsa sangat menyayangi Kirana. Karena anak-anak gadisnya yang lain, tak mendapat keistimewaan sama. "Begitu ya? Kau ingin membaca buku atau novel?" tanya Raden Mas Adiwangsa. Pertanyaan yang lekas bersambut raut wajah bersemangat Kirana. Menjadi sangat antusias. "Tentu...!" "Wahh… Wahh… Kalau begitu, sebagai hadiah, nanti sebelum kembali kekamarmu, kau bisa memilih salah satu simpanan ayah yang ada dirak buku sebelah sana!" ucap Raden Mas Adiwangsa. Menunjuk rak penuh susunan berbagai jenis buku koleksinya. Koleksi buku yang tiap orang dikediamannya tahu, sudah dianggap layaknya harta paling berharga oleh sosok Bupati Sidoarjo ini. "Boleh? Benar boleh Ayahanda?" Kirana yang tentu juga tahu bahwa koleksi buku Sang Ayah sudah menjadi semacam benda keramat, haram hukumnya disentuh oleh orang lain, lekas bertanya antusias. Memastikan sekali lagi. "Tentu boleh! Kau bisa membaca satu! Setelah selesai, kembalikan! Kemudian ambil satu lagi yang baru untuk menemani waktu sebelum tidur!" balas Raden Mas Adiwangsa. "Ayahanda… Ini hadiah terbaik dalam hidupku…! Terimakasih…" balas Kirana. Lekas menjadi bunga hatinya. Memeluk manja Sang Ayah sembari beberapa kali melihat antusias rak buku tersusun rapi pada salah satu sudut tertentu ruang kerja Raden Mas Adiwangsa. "Hahhaha…! Apapun untuk anak gadisku yang paling cantik ini! Juga paling pintar!" ucap Raden Mas Adiwangsa. Menyambut pelukan manja Kirana, dengan senyum hangat. Mengusap lembut kepalanya. "Ehhh… Ayahanda! Bukankah tadi ingin menjelaskan tentang Lelang?" tanya Kirana. Setelah sempat bertahan untuk beberapa saat memeluk manja Ayahnya. "Benar juga!" balas Raden Mas Adiwangsa. Lekas kembali antusias ronah wajahnya. "Acara Lelang adalah situasi dimana beberapa barang bagus, akan dipajang diatas panggung!" Kirana melepas pelukan untuk kembali menatap wajah Sang Ayah. Memperhatikan dengan baik. "Nahh… Tiap barang bagus ini, akan menjadi semacam rebutan bersama!" "Rebutan? Tampak cukup aneh?" gumam Kirana. "Hahhaha… Bukan rebutan seperti itu yang kumaksud!" sahut Raden Mas Adiwangsa. Mengerti apa sedang berada di dalam pikiran putrinya. "Rebutan disini, adalah perang harga! Jadi, pembawa acara akan membuka harga tertentu pada barang Lelang sedang ada diatas panggung. Nah, harga pembuka ini, menjadi semacam awalan untuk para peserta Lelang, menawar dengan harga lebih tinggi!" "Semua akan ditentukan dari siapa yang menawar paling tinggi! Jika tak ada yang berkenan meneruskan persaingan perang harga, penawar tertinggi, dapat membawa pulang barang Lelang! Dianggap sebagai pemenang!" "Itulah Acara Lelang!" Raden Mas Adiwangsa, menutup penjelasan panjang disampaikan terlalu antusias hingga hanya sempat menarik beberapa nafas. "Wahh… Sepertinya seru Ayahanda…" tanggap Kirana. Menyampaikan apa adanya yang terlintas dibenak pasca mendengar kalimat panjang Raden Mas Adiwangsa. "Tentu saja seru!" balas Raden Mas Adiwangsa. "Tapi yang menang tentu pembesar paling kaya!" ucap Kirana. "Ohh… Apakah kau pikir Ayahmu ini kurang kaya?" tanya Raden Mas Adiwangsa. Tersenyum sembari menaikkan salah satu sudut alis. "Kaya sih, tapi bagaimana jika dibandingkan dengan Tuan Agung Asisten Resident Kota Surabaya yang tempo hari sempat kita kunjungi kediamannya?" tanya Kirana. Membalas senyum serta ekspresi Sang Ayah dengan jenis sama. Ikut menaikkan salah satu sudut alis. Jelas berniat menggoda. "Hei… Itu curang memakai Tuan Agung Asisten Resident Kota Surabaya! Hahhaha…" Raden Mas Adiwangsa, justru merasa bunga melihat bagaimana cara Kirana membalas dengan kalimat serta gesture godaannya. Terlebih saat menyaksikan bagaimana sorot kecerdasan alami, tampil pada dua mata anak gadis kesayangannya ini. "Lagipula, sosok seperti Tuan Agung Asisten Resident Kota Surabaya, Tuan Jan van der Beele, jelas tak akan sudi hadir diacara seperti ini!" "Jadi, saingan masih akan sehat nantinya antar para Pembesar Ningrat! Mungkin Bupati Tuban yang bakal merepotkan!" ucap Raden Mas Adiwangsa. Bertahan dengan senyum hangat tak pernah lepas dari wajahnya. Nampak sangat menikmati waktu bercakap sederhana bersama Kirana. "Ohhh… Jadi Ayahanda akan benar-benar hadir diacara ini?" tanya Kirana. "Tentu! Dan bukan aku saja! Kau juga harus ikut!" balas Raden Mas Adiwangsa. "Aku juga ikut?" tanya Kirana. Memasang raut wajah polos yang tampak sangat alami. Begitu menggemaskan dimata Raden Mas Adiwangsa. "Ya… Kau ikut! Bagaimana aku meninggalkanmu dirumah saat memiliki kesempatan untuk membuat tiap orang yang hadir, para pembesar, juga para pelajar HBS, nantinya akan dibuat terkagum-kagum melihat paras Putriku yang bagai Dewi Shinta ini!" tanggap Raden Mas Adiwangsa. Tersenyum amat lebar. Sekedar membayangkan reaksi serta segala pujian nantinya akan ia terima, ronah wajah Bupati Sidoarjo, berkembang menjadi penuh kebanggaan. "Ahhh… Ayahanda… Dewi Shinta apanya?" Menjadi malu, Kirana lekas kembali memeluk manja Sang Ayah. Membenamkan wajah. Terlalu malu menunjukkan wajah yang kini benar-benar sedang merah merona. "Hahhaha… Kau memang seperti penggambaran Dewi Shinta! Bukan sekedar satu dua orang yang bilang! Itu sudah puluhan! Mungkin juga ratusan!" ucap Raden Mas Adiwangsa. Meneruskan membuat Kirana semakin malu. Mengelus lembut kepala Putrinya yang masih membenamkan wajah manja. "Ayahanda… Cukup…" "Hahhaha…" Pasangan Ayah dan Anak, melanjutkan berbincang hangat untuk beberapa saat. Sebelum Sang waktu menjadi semacam penjeda. Karena sudah menjelang Magrib, Raden Mas Adiwangsa menyuruh Kirana kembali kamar pribadinya. Bagaimanapun juga, tak baik anak gadis berada diluar kamar saat sudah memasuki Magrib. Kirana tentu menurut, namun juga tak melupakan hal tadi dijanjikan Sang Ayah. Menagih untuk meminjam satu buku koleksi Raden Mas Adiwangsa berjajar rapi disebuah rak terbuat dari kayu jati berdesain indah. Dengan senang hati, Raden Mas Adiwangsa mempersilahkan Putrinya tersebut memilih. Sempat tampak bingung menentukan pilihan untuk beberapa saat karena memang jumlah koleksi buku cukup banyak, Kirana akhirnya memutuskan mengambil satu. Sebuah novel yang mengisahkan kisah romantis. Memiliki desain sampul menarik tampak indah, buku pilihan Kirana berjudul Romeo-Juliet. "Lekas kembali kekamarmu untuk istirahat!" "Besok pagi, siapkan baju terbaik yang paling indah! Malamnya kita hadir kepesta Hong Kui!" ucap Raden Mas Adiwangsa. Seperti biasa, dengan intonasi nada terdengar sangat antusias. "Baik Ayahanda…." Kirana sendiri, memang sudah ingin segera kembali kekamarnya. Tak sabar membaca buku baru dipinjamkan oleh Sang Ayah. Berjalan keluar meninggalkan ruang kerja Raden Mas Adiwangsa, Kirana tak henti memasang raut wajah cerah. Tersenyum bahagia tiap saat mendekap erat buku berjudul Romeo-Juliet seolah itu adalah harta paling berharga di dunia. Senyum bahagia ditampilkan oleh Kirana, membuat wajahnya tampak menjadi semakin brilian. Kecantikan alami yang membuat tiap orang kebetulan berpapasan dengannya, baik itu Lelaki atau Wanita, menyempatkan berhenti sejenak untuk menatap kagum.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD