13 - Para Pembesar

1235 Words
"Selamat datang Tuan…" Hong Kui, menyambut Bupati Tuban yang baru turun dari kereta Kuda, dengan wajah bersemangat. Tersenyum lebar. Bagaimanapun juga, Bupati Tuban, Raden Adipati Soeryo. Merupakan sosok pembesar Ningrat pertama yang datang menghadiri pestanya. "Terimakasih sudah berkenan hadir! Aiih… Hong Kui ini begitu tersanjung!" "Wah… Tak perlu berlebihan! Pesta seperti yang ada di Eropa? Siapa dapat menolak untuk datang!" balas Raden Adipati Soeryo. Memasang senyum tipis sederhana nan khas para pembesar Ningrat Jawa. "Ngomong-ngomong Hong Kui, kudengar kau juga mengundang para pelajar HBS, apakah Putraku sudah hadir?" tanya Raden Adipati Soeryo. "Ohhh… Rombongan HBS Surabaya tepat berada didepan sebelum anda tadi sampai Tuan! Sudah masuk ruangan pesta!" balas Hong Kui. "Untuk Putra anda…" Menjeda kalimat, Hong Kui lekas melihat daftar hadir. Menemukan satu nama yang ia cari. "Nahh… Putra anda tampak tadi juga hadir bersama rombongan! Maaf tak terlalu memperhatikan seksama karena memang jumlah Pelajar HBS cukup banyak!" ucap Hong Kui. Meminta maaf atas sikapnya yang perlu melihat daftar nama terlebih dahulu. "Baguslah kalau begitu! Sekalian bisa lepas kangen karena lama tak berkunjung!" tanggap Raden Adipati Soeryo. "Oh ya… Adiwangsa bagaimana? Sudah datang juga?" Raden Adipati Soeryo, melanjutkan dengan kembali bertanya tentang kehadiran. Nama Adiwangsa baru ia sebut dalam pertanyaan, tentu saja Raden Mas Adiwangsa. Bupati Sidoarjo. Bupati Tuban ini, tampak mengenal cukup akrab sosok Ayah Kirana tersebut. Dapat dilihat dari raut wajah santai saat melempar pertanyaan. "Ohhh… Tuan Bupati Sidoarjo, belum hadir. Sejujurnya aku juga sangat menantikan kehadirannya!" balas Hong Kui. "Hmmmm… Kau hanya ingin menyegarkan mata dengan memandangi Putrinya, Kirana. Benar?" tanya Raden Adipati Soeryo. "Aiiihhh… Kenapa bisa terfikir seperti itu? Hong Kui ini sekedar senang saat para pembesar Ningrat terhormat macam anda, berkenan hadir!" tanggap Hong Kui. Bertahan dengan senyum antusiasnya nan khas. "Halah… Kau bisa saja mengelak! Semua lelaki jelas akan senang melihat wajah anak gadis Adiwangsa ini! Kecantikan bak Dewi Shinta!" sahut Raden Adipati Soeryo. "Bahkan aku sendiri mengakui senang tiap kali melihatnya! Andai masih berada diusia muda sama!" lanjut Raden Adipati Soeryo. "Hehhehe… Tuan, apa perlu memikirkan usia? Asal cocok, tentu tak masalah! Tak ada aturan mengatur usia dalam pernikahan, benar?" balas Hong Kui. Sengaja menampilkan senyum tipis penuh maksud. "Bicara apa? Sekali Adiwangsa mendengar itu, kau bisa dimakan bulat-bulat!" ucap Raden Adipati Soeryo. "Aihhh… Maka sama saja dengan Tuan tadi mengandai masih muda… Hehehe…" sahut Hong Kui. "Apalagi aku! Adiwangsa bukan cuma akan memakan bulat-bulat! Ia akan menyempatkan mengupas dan mengunyah sampai puas terlebih dahulu! Hahahha…" Hong Kui, seperti biasa sangat mahir membawa jalannya percakapan. Dapat menghangatkan suasana menjadi renyah dengan pemilihan satu dua topik menarik. "Baiklah… Aku akan masuk saja kalau begitu! Menunggu Adiwangsa didalam sembari menemui Putraku!" "Tuan… Mohon maaf jika tak sopan…" Raden Adipati Soeryo, sudah mengambil satu langkah hendak menuju pintu masuk saat suara Hong Kui yang terdengar dibuat sesopan mungkin, menghentikan. "Ya? Ada apa?" tanya Raden Adipati Soeryo. Mengerutkan kening. Selain heran, tampak tak senang ada berani menghentikan langkahnya. "Itu… Anda belum mengisi daftar hadir ini!" ucap Hong Kui. Tersenyum ramah menyodorkan buku hadir undangan pesta. "Ohhh… Ya! Tentu aku akan mengisinya!" balas Raden Adipati Soeryo, wajah kurang sedap tadi sempat ia tampilkan, mendadak lenyap mendengar harus mengisi daftar hadir. "Bagaimana sampai hendak terlewat saat tadi sudah melihat!" lanjut Raden Adipati Soeryo. Bersemangat menulis nama seindah mungkin. Layaknya Raden Mas Adiwangsa, Raden Adipati Soeryo yang juga lulusan HBS Surabaya, tampak memiliki minat berlebih terhadap hal-hal terkait budaya Eropa. Seperti saat ini, cukup senang harus menulis nama pada daftar hadir. Kebiasaan yang biasa dilakukan orang-orang Eropa ketika mengadakan suatu acara. "Nahh… Sudah selesai…!" Jika para pelajar HBS Ningrat tadi menulis nama bagai itu sebuah prasasti, Raden Adipati Soeryo, lebih lagi. Tampak sangat teliti seolah sedang menulis kitab. "Silahkan nikmati jamuan yang ada didalam Tuan…" Hong Kui, menanggapi kalimat Raden Adipati Soeryo, dengan mempersilakan Bupati Tuban tersebut memasuki ruang. "Tentu…" Menjawab singkat, Raden Adipati Soeryo berlalu. Hong Kui sendiri, tentu tetap bertahan di pintu masuk. Berniat menyambut tiap tamu hadir. "Ohhh… Siapa lagi kini yang datang?" Sorot mata Saudagar kondang ini kembali memancarkan rona cerah saat melihat kereta kuda berdesain indah lain, datang memasuki pelataran depan Toko Purnama. "Tampaknya itu Bupati Gresik!" gumam Hong Kui. Cukup teliti mengenali wajah para Pembesar Ningrat pernah ia jumpai. Sosok-sosok yang ia undang mengikuti pesta selamatan usaha baru ia rintis. "Selamat datang…! Selamat datang…!" Setelah Bupati Gresik, sosok undangan lain terus berdatangan. Menyebabkan Hong Kui semakin sibuk seiring mendekati jadwal pembukaan pesta. Bagaimanapun juga, tamu yang datang berkembang semakin banyak. Tak terhitung para Pembesar Ningrat, tokoh masyarakat sekitar, tokoh keagamaan, juga kerabat serta pedagang ternama lain entah itu dari Etnisnya sendiri, Tionghoa, atau Etnis Arab, memenuhi undangan hadir mengikuti pesta selamatan bisnis Hong Kui. Saudagar cemerlang ini, jelas cukup baik dalam hal menjalin relasi. Dapat dibuktikan dari hampir seluruh sosok besar ia undang, belum terlihat ada yang absen. Sekedar menyisakan dua orang belum hadir. Dua orang yang justru adalah paling dinanti oleh Hong Kui kedatangannya. "Nahh… Nahh… Aihhh… Salah satu bintang utama akhirnya hadir!" Sempat menampilkan raut wajah cemas karena waktu pembukaan acara tinggal tersisa 30 menit lagi, Hong Kui mendadak antusias melihat sebuah kereta kuda indah, memasuki pelataran. Berada dalam tatapan cerah Hong Kui, pertama melangkah keluar turun dari kereta, adalah sosok Pembesar Ningrat Jawa memiliki tampilan agung. Raden Mas Adiwangsa, mengenakan setelan kebesaran khas Ningrat Jawa. Lengkap dengan sebuah Keris memiliki gagang serta sarung bercorak ukiran indah terselip dipinggang belakang, turun untuk menyempatkan memberi tatapan pada Hong Kui sedang menunggu didepan pintu masuk. Tampil begitu gagah, Bupati Sidoarjo, berbalik untuk membantu satu sosok lain, turun dari kereta. Sosok yang kehadirannya, jelas sudah ditunggu oleh kebanyakan peserta undangan pesta. Terutama itu para pelajar muda HBS. Entah golongan Ningrat Priyayi, ataupun anak-anak Indo. Dengan dibantu Sang Ayah, Kirana menampilkan sikap anggun saat mulai melangkah keluar dari kereta kuda. Sikap anggun yang begitu mempesona. Seolah menjadi pelengkap alami parasnya yang cantik. Terlalu cantik untuk bahkan banyak disamakan dengan Dewi Shinta dalam kisah pewayangan Ramayana. Istri Sang Rama titisan Dewa Wisnu, pujaan Rahwana Sang Raja kaum Reksasa. Mengenakan setelan kebaya Jawa, dimana menampilkan lekuk tubuh khas remaja baru tumbuh kembang tampak begitu memanjakan mata, Kirana berjalan dengan dipimpin oleh Sang Ayah. Mengikuti tepat dibelakang punggung. Terus menundukkan kepala tampak malu-malu. Sikap yang justru membuat siapapun kebetulan melihat, menjadi bunga hatinya. "Selamat datang Tuan!" "Hong Kui, aku tak terlambat bukan?" tanya Raden Mas Adiwangsa. Tepat setelah sampai dihadapan Hong Kui. Menanggapi sambutan dengan bertanya. "Tentu tidak! Itu masih ada jeda waktu setengah jam sebelum acara resmi dimulai!" balas Hong Kui. Dengan intonasi nada dibuat seramah mungkin. Juga tak tertinggal senyum hangat menghiasi wajah. "Bagus kalau begitu! Apa Soeryo sudah datang?" tanya Raden Mas Adiwangsa. "Aiihhh… Kalian ini tampak memiliki kedekatan khusus! Pertanyaan sama tadi sempat ditanyakan oleh Tuan Bupati Tuban! Apakah anda sudah hadir!" balas Hong Kui. "Wah… Itu artinya ia sudah datang duluan? Benar?" tanggap Raden Mas Adiwangsa. "Iya Tuan… Sedang menunggu didalam sembari bertemu Putranya!" ucap Hong Kui. Tanpa menunda, setelah sempat menulis nama dalam list daftar hadir, Raden Mas Adiwangsa, memasuki ruang bersama Kirana. Sosok ayu Kirana sendiri, lekas menjadi pusat perhatian kalangan ramai yang telah lebih dulu memenuhi ruang. Menempati meja-meja telah disiapkan. Kemanapun kaki Kirana melangkah mengikuti punggung Ayahnya, bisik-bisik akan terdengar. Situasi yang membuat gadis ini berkembang semakin malu. Menunduk lebih dalam tiap saat seolah sedang berusaha menyembunyikan wajah. Raden Rara Kirana, terus berjalan anggun dengan tatapan mata, hanya berani memandangi kaki-kaki Raden Mas Adiwangsa. Sementara tiap sorot pasang tatap mata disekitar, lekat memandang kearahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD