50 - Pembesar Tertentu

1215 Words
"Wah, aku tak menyuruh ya, itu Boss kalian sendiri yang bilang!" gumam Wardiman, menanggapi tepat setelah Cokro, selesai dengan kalimat bentakannya. "Memberi ide yang sepertinya memang bagus!" lanjut Wardiman. Mendengar kata-kata Wardiman sendiri, enam sosok berandal anggota Bandit Parang Jalanan, lekas semakin bertambah pucat wajahnya. Reflek menyentuh daun telinga masing-masing. Bagaimanapun juga, salah satu kalimat sempat disampaikan Cokro, yang mana dianggap oleh Wardiman merupakan ide yang bagus, tak lain adalah potong telinga. Melihat reaksi para berandal, senyum mengembang diwajah Wardiman. "Ohhh, tenang saja! Kalian bisa melewatkan perihal potong telinga! Anggap bentuk belas kasih dariku!" ucap Wardiman. Bersambut ekpsresi lega diwajah enam berandal anggota Bandit Parang Jalanan. Terselamatkan daun telinga masing-masing. "Namun untuk jilat tanah dan makan rumput, bisa mulai kalian lakukan sekarang juga!" lanjut Wardiman. Nyatanya tak benar-benar memberi belas kasih. "Jangan berhenti sampai aku memberi intruksi!" "Kau, dan dua yang disana! Jilat tanah!" "Sementara tiga sisa lain, kalian tahu harus apa!" Mengarahkan telunjuk, Wardiman membagi siapa-siapa saja berandal harus menjilati tanah, serta siapa harus makan rumput. "Kenapa masih diam! Boss Wardiman sudah mengucap kalimat! Segera laksanakan!" bentak Cokro. Saat melihat enam anggotanya, sempat masih termenung untuk beberapa saat. Bersama bentakan Cokro, tubuh enam berandal seperti baru mendapat sentakan keras. Lekas sadar dari ketermenungan masing-masing, untuk kemudian mulai melakukan intruksi tadi diberi oleh Wardiman. Tiga menjilati tanah, sementara tiga lain, bergerak acak memacari lokasi terdekat untuk makan rumput. "Boss… Maafkan untuk ini… Aku benar-benar tak tahu kalau kumpulan g****k itu…" Cokro mendekati Wardiman, mulai mengucap kalimat permintaan maaf. Berbicara sembari memasang sikap takut, terlihat dari bagaimana gugup wajahnya. Ia bahkan terus menunduk, tak berani memandang langsung sosok Wardiman. "Lain kali didik dengan benar!" dengus Wardiman. "Sampai hal macam ini terulang lagi, bukan anak buahmu, itu kau yang akan kuberi pelajaran langsung!" lanjut Wardiman. "I-iya Boss…" balas Cokro. Dengan intonasi nada lirih. "Satu lagi! Angkat wajahmu barang sejenak!" Wardiman, kembali mendengus dengan intonasi nada tegas. Menyampaikan intruksi yang lekas dituruti tanpa berani mengucap kalimat balasan apapun oleh Cokro. Pemimpin Bandit Parang Jalanan, mengangkat wajah. "Lihat sebelah sana!" ucap Wardiman, kini menunjuk kearah Willem. "Willem van der Beele! Putra dari Tuan Jan van der Beele! Penyelamatku!" "Ingat baik-baik wajahnya! Karena itu adalah wajah, serta nama yang tak boleh sama sekali diganggu!" Wardiman, melanjutkan kalimat dengan kini menggunakan penekanan-penekanan mendalam pada tiap kata ia ucap. Memasang wajah bengis nan mengerikan. "Kabarkan apa yang kukatakan tadi kepada seluruh anggotamu! Juga kalangan b******n sekitar!" "Sampai ada berani macam-macam! Siapapun itu, aku tak peduli! Ia akan berhadapan langsung denganku!" "Kau tentu tahu apa akan terjadi sampai aku benar-benar harus turun lagi kebawah sana! Kejalanan!" tutup Wardiman. Menanggapi intruksi serta ancaman mantan Boss-nya, Cokro yang masih dibekap rasa takut, sekedar bisa menganggukkan kepala singkat. Tanda bahwa ia mengerti. "Jawab dengan benar! Kau bisu atau apa cuma mengangguk!" bentak Wardiman. Nyatanya cukup tak puas dengan sikap balasan Cokro. "Seperti gadis perawan saja sikapmu itu! Jangan membuatku malu dan menyesal telah memilih kau sebagai pemimpin!" lanjut Wardiman. "Ya Boss…! Saya paham! Cokro yang sembrono ini, akan menjalankan intruksi!" Tak ingin terus membuat Wardiman kesal, takut sosok mantan Boss-nya itu berkembang menjadi semakin marah, Cokro lekas mengucap kalimat dengan nada tegas. "Nahh, begitu! Kalau tidak, kububarkan saja Bandit Padang Jalanan!" "Ingat kalau kalian itu, sampai kapanpun mendapat segala rasa segan dan hormat kalangan rampok, karena namaku! Jangan sampai bersikap memalukan! Karena Bandit Parang Jalanan, adalah Wardiman!" dengus Wardiman. "Wardiman…" Masih mendidik Cokro, kalimat Wardiman terjeda saat suara Aldert, memanggil dari arah belakang. Berjalan mendekat. "Ya?" balas Wardiman. Melirik sosok Aldert kini berada disampingnya. "Tuan Willem bilang ini sudah terlalu petang! Sudah gelap!" ucap Aldert. "Ohhh… Benar juga!" tanggap Wardiman. "Gara-gara kalian! Sampai Tuan Willem telat pulang kerumah!" bentak Wardiman. Menatap kesal para berandal yang masih bertahan memakan rumput dan menjilat tanah. "Kau! Lanjutkan mengawasi anak buahmu!" ucap Wardiman, kembali mengarahkan tatapan, kepada Cokro. "Mereka cuma boleh berhenti dari hukuman, saat telah subuh! Mengerti?" "Mengerti Boss!" balas Cokro. "Ingat! Subuh!" "Sampai aku mengirim seseorang kesini, melihat tak berjalan seperti apa kusampaikan, maka aku akan mencarimu!" lanjut Wardiman. Menatap tajam sosok Cokro. "Kau yang nanti menggantikan jilat tanah dan makan rumput dihalaman perusahaan pertanian der Beele!" tutup Wardiman. "Boss… Aku tentu tak akan berani!" balas Cokro cepat. Meski tanpa Wardiman mengancam sekalipun, tanpa perlu Wardiman mengirim orang untuk memastikan, Cokro jelas akan menjalankan intruksi dari mantan Boss-nya tersebut dengan sangat sungguh-sungguh. Tak berani, bahkan tak sempat terbesit pikiran untuk main-main. "Ayo lanjutkan pulang!" ucap Wardiman. "Benar-benar tak enak hati dengan Tuan Willem harus menjadi selarut ini!" lanjut Wardiman. Ditemani oleh Aldert, berjalan kembali kelokasi kereta kuda dimana Willem telah menunggu bersama sosok gadis pribumi bernama Sundari. Cokro sendiri, bertahan diam. Terus menunduk tak berani mengangkat wajah. Sekedar menajamkan telinga. Baru ketika suara derap kereta kuda yang dikusiri Wardiman terdengar bergerak menjauh meninggalkan tempat, Cokro kembali mengangkat wajah. Dengan kepergian rombongan Willem, menyisakan dilokasi, kini Cokro berdiri menatapi kereta kuda mantan Boss-nya telah jauh. Sementara enam anak buahnya, anggota Bandit Parang Jalanan, masih melanjutkan aktivitas memalukan. Makan rumput dan menjilat tanah. "Kalian dengar kata-kata Boss Wardiman! Jangan berhenti sebelum subuh!" dengus Cokro. Tak peduli bahkan saat enam anggotanya, saat ini masih memiliki luka-luka dari duel sembrono menantang Wardiman. "Benar-benar g****k! Hanya membuatku tak memiliki muka saja bertemu dengan Boss Wardiman! Bagaimana sampai kalian tak mengenalinya? g****k…! g****k…!" tutup Cokro. Memaki kesal. **** (Halaman depan kediaman Jan van der Beele, rumah Willem) "Karena sudah cukup larut, kau bisa mengambil istirahat dulu! Tempati ruang sebelah sana! Itu kosong!" ucap Willem. Memberi intruksi kepada Sundari. "Baik, Tuan… Sekali lagi, saya benar-benar berterima kasih! Jika tak ada anda dan Tuan Wardiman, entah bagaimana jadinya!" balas Sundari. "Cukup untuk sekarang! Simpan saja semua kalimat besok pagi! Bagaimanapun juga, kau masih memiliki hutang penjelasan!" balas Willem. "Baik…." Sundari, menjawab patuh. Sebelum lekas berjalan meninggalkan tempat untuk menuju lokasi tadi sempat ditunjuk oleh Willem. "Wardiman, mantan kelompok rampokmu tadi, kira-kira apa mereka inginkan dari gadis ini?" Tepat setelah Sundari telah pergi, Willem membuka percakapan dengan Wardiman. "Hmmm… Entah Tuan, kulihat juga, tak ada kebutuhan bagi kelompok macam Bandit Parang Jalanan, perlu merampok gadis ini! Bagaimanapun juga, sudah kuperiksa ia sama sekali tak membawa barang berharga apapun!" balas Wardiman. "Jadi, bukan tentang perampokan!" balas Willem. "Sepertinya begitu! Kudengar juga, beberapa waktu belakangan, orientasi Bandit Parang Jalanan yang dipimpin oleh Cokro, memang telah sedikit berubah!" ucap Wardiman. "Hmmm? Jelaskan lebih lanjut!" balas Willem. "Itu, mereka sudah jarang melakukan aksi merampok! Lebih sering menjalankan tugas dari sosok tertentu! Bisa dikatakan, menjadi semacam kelompok suruhan satu pembesar!" "Ohhh… Siapa?" tanya Willem. "Ningrat Pribumi! Raden Mas Kaesang!" "Raden Mas Kaesang? Jarang terdengar! Namun tampak cukup memiliki pengaruh hingga mampu membuat mantan kelompok rampokmu bekerja untuknya!" gumam Willem. "Nahh, Raden Mas Kaesang ini, merupakan salah satu sosok Ningrat Pribumi kepercayaan Tuan Gerard Both! Asisten Residen Kota Gresik!" balas Wardiman. Tampak cukup memiliki banyak informasi. Bagaimanapun juga, Wardiman yang memang sudah tak lagi berkarir didunia rampok, masih memiliki banyak kenalan atau koneksi bagus di jalanan. "Begitu? Orang kepercayaan dari Gerard Both! Ayah dari orang dungu nan konyol itu? Lagi-lagi Laurens Both!" gumam Willem. "Ya Tuan, jadi urusan gadis ini, mungkin ada pada Raden Mas Kaesang tadi! Memiliki permasalahan tertentu dengannya!" ucap Wardiman. "Sepertinya memang begitu! Semua sudah agak terang sekarang!" Menutup, Willem turun dari kereta kuda. Memiliki beberapa informasi awal sebelum esok pagi, menerima penjelasan dari Sundari. Tak terlalu buta dengan permasalahan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD