Suami Siaga?
[Sayang, pulang kerja, aku mampir ke rumah Ibu, ya.]
[Iya, Mas.]
Terhitung ini merupakan kali keempat suamiku meminta izin demikian.
Sedikit aneh. Hanya berjeda sehari suamiku sudah meminta lagi izin untuk menyambangi rumah orang tuanya.
Tak ada yang salah. Karena surga anak laki-laki ada pada ibunya bukan? Namun, yang aneh, kenapa jadi sesering ini? Karena yang kuingat dulu, Mas Hamid paling sering mengunjungi ibunya dua minggu sekali.
Ada apa?
Apakah Ibu sakit parah?
Jika iya, bukankah seharusnya Lina—adik iparku mengabari biar aku dan dirinya merawat Ibu bersama-sama?
Aku yang diliputi perasaan tak enak sejak dua tiga hari lalu, bergegas mencari angkot. Mendatangi rumah mertua secara diam-diam adalah tujuanku saat ini.
Aku harus ke sana. Mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Sampai di halaman rumah mertuaku, langkahku tertahan saat bisa melihat dari kejauhan Mas Hamid tengah mengangkat jemuran.
Bukan jemuran biasa. Itu … pakaian bayi.
Siapa yang melahirkan?
Apakah Lina?
Rasanya tidak. Gadis 17 tahun itu bahkan masih suka memakai pakaian seksi dan sedikit terbuka sebulan belakangan.
Tidak. Pasti bukan Lina.
Lalu siapa?
"Nah, gitu, dong, Mid. Jadi suami harus siaga." Ibu mertua yang muncul dari arah ruang tamu, menegur suamiku yang di tangannya membawa sekeranjang baju bayi yang baru ia angkat dari jemuran.
Apa Ibu bilang tadi?
Suami siaga?