Part 66

1169 Words
Se Hwa sudah terjaga sejak tadi, dirinya pun sibuk memetik buah yang banyak tumbuh di sana. Gunung rubah yang ajaib selalu memberinya kemudahan untuk mendapatkan makanan. Puas menyantap beberapa buah-buahan, dia berendam di sungai tempatnya dan Jeong Guk menghabiskan waktu bersama sambil bermain air. Seusai rencana, dia akan segera meninggalakan gunung rubah setelah ini. Buku yang dia tulis sudah di sembunyikannya di tempat yang aman. Dia menaruhnya di kotak kayu yang tertutup rapat, lalu menanamnya di bawah pohon buah peach, dekat bebatuan tempat Jeong Guk selalu memainkan serulingnya. Di atas gundukan tanahnya, Se Hwa menanam bunga Lily. Suatu saat, jika Jeong Guk kembali, dia akan mengerti bahwa bunga lily itu sebuah pesan bahwa ada sesuatu di bawahnya. Setidaknya itulah harapan Se Hwa. Habis mandi, tubuhnya pun terasa begitu segar. Se Hwa kembali ke pondoknya untuk mengambil pakaian dan buah-buahan yang sudah dia kemas. Setelahnya, dia meninggalkan tempat itu dengan derai air mata. "Selamat tinggal, aku mungkin tak akan pernah kembali kemari, tapi Dewi, selagi tempat ini tak berpenghuni, tolong jagalah tempat ini dengan baik," ucapnya kepada Dewi Rubah yang sudah tinggal di dunia para dewi di dunia langit. Se Hwa pun menuruni perbukitan. Dia mengambil sisi jalan yang berbeda dari yang biasa dilewatinya. Kali ini dia ingin ke dermaga agar bisa ikut berlayar bersama kapal pedagang. Se Hwa menatap lautan yang membentang. Dia mendekati tebing, menatap indahnya air yang biru dan terlihat begitu tenang dengan riak-riaknya yang tak begitu besar. Pada masa Joseon, kapal yang lewat tak sebanyak jaman Airin. Jadi, Se Hwa harus bersabar untuk menunggu kapan kapal dagang tiba. Itulah kenapa dia tak ingin tergesa-gesa. Puas menatap keindahan laut biru, Se Hwa kembali melangkah. Sesekali dia berhenti guna meneguk minumannya atau memakan sebuah apel. Dia tak pernah berpikir bahwa dirinya akan ditemukan dalam waktu sekejap. Se Hwa masuk ke dalam hutan guna mencari jalan setapak untuk bisa turun gunung. Tiba-tiba telinganya mendengar desis ular. Se Hwa pun menatap awas ke segala penjuru. Dia mengeluarkan mengambil busur yang digendongnya. Dengan cekatan dan tanpa menunggu waktu, Se Hwa mengambil anak panah dan bersiap untuk melepaskannya. "Keluar kau! Aku tak akan takut hanya karena melihatmu! Cepat keluar agar aku bisa membunuhmu!" Se Hwa berteriak kesal. Ular itu kembali mendesis. Lalu, seekor ular berukuran sedang seakan-akan terbang ke arah Se Hwa. Wanita itu dengan cekatan memanahnya. Ular itu pun menggelpar dan mati. Se Hwa kembali mengambil anak panahnya. Kali ini tak hanya satu, ada lebih dari tiga ekor ular menyerangnya. Se Hwa mencabut pedang dengan cepat, lalu mengayunkannya. Ular-ular itu terpotong jadi dua bagian. Se Hwa berusaha mencari celah untuk melarikan diri. Merasa ular itu belum menggencarkan serangannya, dia pun melarikan diri melewati jalan setapak, dia terus berlari dan berlari. Kakinya tersandung akar pohon, dia terjerembab. Namun, tak ingin berlama-lama, Se Hwa kembali bangkit. Dia kembali berlari secepat yang dia bisa. Napas Se Hwa tersengal-sengal. Dipikirnya dia sudah menjauh dari ular itu, tapi ternyata dia salah besar. Desis ular itu masih terdengar. Se Hwa merasa dipermainkan. "Keluar!" jeritnya frustasi. Tak berapa lama, ular besar itu memunculkan dirinya. Badan ularnya menjadi setengah manusia. Sementara Sekertaris Kim turun dari punggungnya. Sepertinya pria itu datang dengan menunggangi si ular. "Serahkan mutiara itu, sebelum kami bertindak kasar." "Cuih!" Se Hwa membuang ludah, lalu mengambil ancang-ancang untuk melawan. "Ambil saja jika kau bisa!" Ular itu dan juga sekertaris Kim tertawa terbahak-bahak. Mereka menganggap ucapan Se Hwa hanya sebuah lelucon. Tapi Se Hwa tak peduli. "Baiklah, jika itu maumu. Lawanlah ular-ular ini!" Baru saja Se Hwa akan melawan ular-ular itu, tiba-tiba saja rubah-rubah datang begitu banyak dari balik semak-semak. Semuanya berusaha melumpuhkan ular-ular itu. Se Hwa terperanjat memperhatikan pertarungan rubah dan ular itu. Belum lagi hilang rasa terkejurnya, sesosok wanita tiba-tiba ada di sebelahnya, memegang pundaknya, lalu membawa Se Hwa menghilang dari sana. Mereka muncul di tempat lain. Se Hwa menoleh kepada wanita itu, lalu memeluknya. "Seo Yeon, terima kasih sudah menolongku." Seo Yeon mendorong tubuh Se Hwa. "Larilah, lari! Selamatkan dirimu!" "Tapi ...." "Aku tak bisa membawamu pergi terlalu jauh, Se Hwa. Tenagaku telah habis hanya untuk mengejar ular sialan itu. Aku terus berteleportasi. b******n itu telah membunuh San, jadi aku harus balas dendam." "S-an? Pangeran, dia membunuh pangeran? Bagaimana Min Ju ... katakan kepadaku." "Berhenti memikirkan orang lain! Yang harus kau pikirkan adalah dirimu! Bayimu! Dan mutiara rubah! Min Ji baik-baik saja." Seo Yeon menatap berkeliling, belum ada tanda-tanda ular itu datang. "Seo Yeon ...." "Pergi! Kumohon pergilah!" Seo Yeon sampai memohon dan mencakupkan tangan, meminta Se Hwa untuk pergi. Dengan berat hati, Se Hwa pun memeluk Seo Yeon sekali lagi. Wanita itu menuruni perbukitan terjal. Sekitar satu meter di bawah sana ada jalan setapak. Di sisi jalan setapak itu, ada jurang yang langsung ke laut. Se Hwa harus berhati-hati. Se Hwa mendengar bunyi pertarungan dari atas sana. Itu pertanda bahwa ular itu berhasil mengetahui posisi mereka saat ini. Se Hwa mendongak ketika mendengar teriakan Seo Yeon. "Kumohon tetaplah hidup, Seo Yeon," ucap wanita itu, lalu melanjutkan laju langkahnya. Namun, baru beberapa langkah, tubuhnya tiba-tiba lemah ketika seseorang menyentuh bahunya. "Sekertaris Kim ...." Suara Se Hwa terdengar lirih. Seluruh tenaganya seakan menghilang begitu saja. "Iya, ini aku, Yang Mulia." Sekertaris Kim meledeknya. "Kau tau kenapa tenagamu tiba-tiba menghilang dan kau merasa sakit, hah?" "Kau ... kau ... shio macan itu adalah kau ...." Sekertaris Kim tertawa. "Iya, itu aku. Aku harus menunggu moment yang tepat untuk bisa memegangmu seperti ini. Jadi, sekarang sebaiknya kau tak usah lari lagi. Kau diamlah di sini dan tunggu Jung Jiang mencabut nyawamu, juga menghisap mutiara rubah itu." Se Hwa merasa benar-benar terjebak, dia tak mau ada yang mengambil mutiara itu darinya. Wanita itu melirik jurang terjal di belakangnya. "Aku tak lagi punya pilihan," ucap Se Hwa dalam hati. Dengan sisa tenaga dia melepaskan diri dari sekertaris Kim. Se Hwa memelintir tangan pria itu, lalu mendorongnya. Sebelum pria itu bangun dan mendapatkannya kembali, Se Hwa melompat ke dasar jurang. Tubuhnya pun tercebur dan tertelan gelombang pasang. Wanita itu lenyap di dalam amukan air laut yang melabrak batu karang. Sekertaris Kim tampak sangat kecewa. Sementara Jung Jiang tengah menyerang Seo Yeon untuk yang terakhir kalinya. Sebab, setelah terkena pukulan tepat di dadanya, Seo Yeon pun memuntahkan darah segar, lalu ambruk. Dia sempat menatap Jung Jiang dengan kondisi sudah tak berdaya. Seo Yeon pun berubah jadi ikan dan mati. "Dasar ikan sialan!" Jung Jiang menendang ikan itu ke arah tebing. Ikan tak bernyawa itu pun jatuh di laut dan terombang-ambing di bawah sana. "Jadi wanita sialan itu lolos lagi?" "Aku rasa dia sudah mati di bawah sana," kata sekertaris Kim. Jung Jiang mendesis. "Dasar tidak becus!" Segera dia melompat ke lautan. Setelah Se Hwa mati pun, mutiara rubah itu tetap bisa diambil. Sementara itu, tubuh Se Hwa kian tenggelam ke dasar laut. Kepalanya membentur batu karang hingga dia tak sadarkan diri, lalu tak bisa muncul kepermukaan. Tubuhnya masuk ke dalam air lebih jauh lagi, lalu kain baju yang dikenakannya tersangkut di coral atau karang-karang laut. Se Hwa merelakan nyawanya melayang asal mutiar itu tak jatuh ke tangan siluman jahat seperti Jung Jiang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD