Part 22

1143 Words
Se Hwa akhirnya pasrah ketika harimau itu melompat ke arahnya. Inilah akhir nasibnya. Setelah kematiannya, dia hanya punya dua kemungkinan, kembali ke masa depan atau mati selamanya sebagai Hwang Se Hwa. Harimau lapar itu mengaum begitu keras, tapi tiba-tiba tubuhnya terpental dan membentur batang pohon besar, lalu terkapar tak berdaya. Se Hwa melihat sesosok orang berpakaian putih bersih. Wangi buah peach yang manis menguar dari tubuhnya. Ingin rasanya dia melihat dan menyentuh orang itu, serta bertanya tentangnya, tapi luka-luka di sekujur tubuhnya membuat Se Hwa kehilangan banyak darah. Perlahan dia kehilangan ingatannya dan terkulai lemas. "Se Hwa ...." Pria itu meraup tubuh gadis itu. "Sial! Aku terlambat," gumamnya, lalu menghilang dari sana bersama sang gadis. Se Hwa masih tak sadarkan diri meski pria itu mencoba menyalurkan energinya. Aroma darah menusuk indra penciuman sang pria. Dia terpaksa menanggalkan seluruh pakaian gadis itu untuk membersihkan tubuhnya yang kotor dan juga membersihkan setiap luka yang ada di sana. Dia menyadari kalau Se Hwa telah terkena racun karena sekujur tubuh Se Hwa dipenuhi ruam dan bintik-bintik merah. "Se Hwa, bangunlah. Se Hwa." Tak ada reaksi dari Se Hwa. Malah wajahnya terlihat semakin pucat. Setelah menimbang-nimbang cukup lama, pria itu menundukkan wajahnya. Dia mendekatkan bibirnya dengan bibir Se Hwa. Sebuah mutiara putih keluar dari mulutnya. Itu adalah mutiara rubah. Banyak orang menginginkan mutiara itu karena mutiara rubah memiliki kekuatan istimewa. Mutiara rubah bisa membuat orang berumur panjang. Bagi rubah itu sendiri, mutiara rubah adalah bagian terpenting dalam hidupnya. Tanpa mutiara itu, kekuatan rubah akan sedikit melemah. Itulah kenapa setiap siluman rubah selalu menjaga mutiaranya dengan baik. Mereka juga harus selalu berdekatan dengan mutiara itu karena jika tidak, mereka bisa musnah. Mutiara itu seperti jiwa yang harus selalu mereka jaga. Mutiara rubah masuk ke tubuh Se Hwa, lalu Jeong Guk menyalurkan sedikit energinya agar mutiara itu bereaksi. Perlahan, luka-luka di tubuh Se Hwa mengering dan menutup sempurna. Racun dari tubuhnya pun terserap sehingga kulit gadis itu kembali mulus seperti sediakala. Jeong Guk tertegun menatap bagaimana gadis cantik itu tergolek tanpa daya. Kain tipis yang digunakan untuk menutupi auratnya nyatanya masih mampu menunjukkan lekuk-lekuk tubuhnya yang indah. Pria rubah itu bangkit, lalu memalingkan wajah. Dia berusaha meredam gejolak rasa yang memburu di dadanya. Dia menoleh sekali lagi kepada Se Hwa, lalu meninggalkan kamarnya. Dua puluh menit kemudian, Se Hwa terbangun. Sedikit terkejut dia meraba selimut yang menutupi badannya. Rupanya dia sudah tak berbusana. Se Hwa mengedarkan pandangan berkeliling mencoba mencari tahu di mana sekiranya dia berada. Sampai kemudian matanya menatap pakaian yang tergantung di gantungan kayu. Se Hwa memakainya, lalu memutuskan untuk keluar dari ruangan itu guna mencari tahu siapa orang yang telah menolongnya. Suara seruling yang mengalun merdu terdengar tak jauh dari tempat Se Hwa berdiri. Kunang-kunang menghampirinya, lalu seakan menuntun gadis itu untuk mendekati sebuah pohon peach. Sosok pria berbaju putih memainkan serulingnya sambil duduk di cabang pohon. Se Hwa mendengarkannya sampai pria itu berhenti. "Apa kau yang telah menolongku?" Se Hwa bertanya. Pria itu menoleh, lalu melompat ke bawah. "Kenapa keluar? Apa kau merasa lebih baik?" Se Hwa mengangguk. "Aku bahkan terkejut karena seluruh lukaku telah sembuh dan aku merasa bugar." "Baguslah." Jeong Guk melangkah meninggalkan Se Hwa. Namun, gadis itu menyusulnya. "Terima kasih. Kau sudah menolongku. Aku tak tau harus membalasnya dengan cara apa." Setelah mutiara rubah ada di tubuhnya, Se Hwa bisa mengingat kembali tentang Jeong Guk, siluman rubah yang menolongnya beberapa hari lalu. "Cukup jaga mutiaraku," kata Jeong Guk tanpa menoleh. "Maksudmu?" Jeong Guk membalik badan. Dia menatap gadis di depannya dengan tatapan yang sedikit dingin. Se Hwa bingung. Dia memundurkan langkah, tapi Jeong Guk malah meraih pinggangnya. "Mutiara rubahku ada di tubuhmu. Itulah kenapa kau bisa sembuh dengan cepat. Tapi, untuk itu ada hal yang harus selalu kau lakukan." Jeong Guk mendekatkan wajahnya. "Tetaplah di sisiku. Sedekat ini." Pria itu bergerak semakin dekat. Napas keduanya bahkan beradu saling menerpa wajah masing-masing. Se Hwa sangat gugup. "Tetap seperti ini karena aku butuh energi mutiara itu untuk tetap hidup." Lanjut Jeong Guk. Setelah itu, barulah dia melepaskan tubuh gadis itu. Se Hwa bergerak menjauh. Dia mundur beberapa langkah. Semantara itu, Jeong Guk melanjutkan langkahnya meninggalkan gadis itu. Sampai di dalam rumah, Se Hwa tampak gugup. Karena rumah itu hanya memiliki satu kamar tidur, jadi dia berpikir tak mungkin baginya berbagi kamar dengan Jeong Guk. "Masuk saja." Jeong Guk meletakkan seruling di dinding kamar. "Bukankah sudah kubilang kita harus selalu berdekatan, jadi mulai saat ini, kita akan tidur di ranjang yang sama." "Kau gila!" Se Hwa tak terima. "Ambil saja mutiaramu. Aku tak membutuhkannya." "Kenapa begitu marah?" Jeong Guk memakan apel yang dia ambil dari tempatnya di atas meja. "Mutiara itu akan ada di tubuhmu hanya untuk sebulan ke depan. Sampai energimu pulih kembali. Setelah itu, kau akan kuusir dari tempat ini dan kau akan melupakan semuanya." Se Hwa terdiam. Dia masih berpikir bagaimana caranya lari. Jeong Guk telah selesai memakan apelnya, lalu merebahkan dirinya di ranjang. "Tenang saja. Aku tak berminat denganmu. Lagipula, aku dilarang jatuh cinta kepada manusia atau pun dewa. Manusia hanya makhluk rendah yang lemah. Mereka juga sangat tidak berguna." "Apa? Kau bilang apa? Kau bilang manusia lemah dan tak berguna? Kau pikir kau sehebat apa, Rubah sialan?!" Se Hwa mendekat sambil menunjuk Jeong Guk. Gadis itu tak terima ketika kaumnya dihina. Tepat pada saat itulah Jeong Guk menarik tangannya, lalu membantingnya ke tempat tidur. Se Hwa terkesiap menyadari kini dirinya ada tepat di bawah tubuh Jeong Guk. Mata gadis itu bergerak bingung. "Ap-apa yang akan kau lakukan? Men-menja---" Suara Se Hwa terputus saat bibir Jeong Guk mendarat di bibirnya. Dia kehilangan energi untuk melawan. Wangi peach yang manis yang menguar dari tubuh Jeong Guk memabukkannya. Sialnya, Se Hwa bahkan memejamkan matanya ketika bibir kenyal Jeong Guk menikmati setiap jengkal bibirnya. Perlahan, Se Hwa memberikan balasan. Keduanya pun terjebak dalam ciuman yang dalam dan penug gairah. Napas terengah-engah. Tangan Jeong Guk bergerak liar melepas tali hanbok yang dikenakan gadis itu. Masih terbayang-bayang di pikirannya betapa putih dan mulusnya tubuh gadis itu. Satu lapis hanbok Se Hwa terlepas. Jeong Guk melepas ciumannya. Mata mereka saling menatap. Keduanya terjebak dalam rasa dan keinginan yang sama. Jeong Guk kembali membuka tali hanbok Se Hwa yang lainnya, tapi sepertinya gadis itu lebih cepat menyadari keadaan karena itulah dia menahan tangan Jeong Guk. "Jangan." "Kenapa?" Jeong Guk menatap gadis itu. "Aku ... izinkan aku mengenalmu lebih dulu," kata Se Hwa pada akhirnya. Jeong Guk terdiam sesaat, lalu dia kembali mengikat tali hanbok gadis itu. Dia tersenyum. "Tidurlah," ucapnya menyusul tubuhnya yang terhempas di sisi Se Hwa. "Terima kasih." Se Hwa membenahi pakaiannya, lalu membalik badan memunggungi pria itu. Jeong Guk tersenyum. Setelah diam beberapa saat, Jeong Guk mengulurkan tangannya, lalu memeluk Se Hwa dari belakang. "Mulai sekarang kau tanggung jawabku. Aku akan selalu melindungimu." Pria itu berbisik membuat Se Hwa tersenyum dan tertidur dalam keadaan yang bahagia. Entah kenapa keberadaan Jeong Guk mampu mengusir pangeran dari hatinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD