Part 24

1027 Words
"Jeong Guk, sudah lama kau tidak kemari. Bagaimana kabarmu?" Seorang penebang kayu yang menyadari kehadiran Se Hwa dan Jeong Guk di sana pun mendekati mereka. "Aku baik, Ajuhsi," kata Jeong Guk. "Siapa dia? Kekasihmu?" "Iya. Kenalkan namanya Se Hwa." "Nama yang cantik. Selamat datang di desa kami." Pria itu tersenyum ramah. Selapas bicara dengan pria penebang kayu, sejoli itu pun memasuki desa. "Sejak kapan kita pacaran?" Se Hwa mencubit pinggang Jeong Guk. Pria itu tertawa. "Jika bukan pacaran, lalu apa. Kit berciuman, pelukan, tidur bersama." "I-itu ...." "Sudah, jangan banyak protes. Karena kau memang sudah kuanggap pacar sejak aku memberikan mutiara rubah kepadamu. Aku tak akan memberikan mutiara rubah ke sembarang orang." Jeong Guk menggandeng tangan Se Hwa menyusuri jalan-jalan desa. Rupanya Jeong Guk cukup terkenal di desa itu. Terbukti hampir setiap orang yang bertemu dengannya, menyapa pria itu. "Apa hari ini ada sesuatu?" Se Hwa memperhatikan suasana desa yang ramai dan dipenuhi lampion warna-warni. "Kau mungkin tak mengenal acara ini. Atau mungkin seluruh rakyat Joseon tak mengenalnya. Hari ini bertepatan dengan hari kematian siluman rubah yang aku ceritakan waktu itu. Jadi, penduduk merayakannya dengan mengirim doa-doa ke langit untuk kebahagiaan rubah dan sang dewa kekasihnya. Dengan demikian, penduduk juga berharap akan diberkati cinta yang abadi seperti mereka." "Tapi, waktu itu kau bilang cinta mereka tak direstui dan siluman itu mengorbankan dirinya agar kekasihnya tidak dijatuhi hukuman berat." "Iya. Tapi, ceritanya tak berakhir sampai disitu." Jeong Guk mengajak Se Hwa masuk ke sebuah gedung yang berdampingan dengan kuil. Terdapat banyak gambar-gambar indah di sana. Selain gambar pegunungan, tempat itu didominasi oleh lukisan sepasang kekasih yang begitu rupawan. "Apa ini mereka?" Jeong Guk mengangguk. "Di akhir cerita, roh siluman itu dikurung di neraka lapis delapan belas karena telah dengan lancang mencintai seorang dewa bahkan hingga melahirkan seorang putra. Siluman itu dianggap telah menodai kahyangan. Meski kesetiaan cintanya diakui dan mendapatkan berkat berupa danau air mata rubah, tapi dia tetap saja harus dihukum." "Sungguh kasihan. Lalu, bagaimana dengan putranya?" "Putra mereka hanya seekor rubah kecil yang kemudian dibesarkan oleh seorang biksu." Jeong Guk menghentikan ceritanya sejenak. Dia berdiri tepat di sebuah depan sebuah lukisan di mana warga berkumpul dengan membawa lampion. "Ini adalah tepian sungai Tuman. Setiap tahun, warga desa akan mengumandangkan doa dan mengirimkan lampion ke langit dan di sungai untuk siluman itu. Mereka berharap dewa langit mengampuni kesalahan siluman itu dan merestui hubungan terlarang itu. Akhirnya, tepat di perayaan ke empat puluh dua hari, doa-doa penduduk mampu menembus segala lapisan dinding neraka, lalu arwah siluman rubah berubah jadi sosok dewi yang sangat cantik. Cinta mereka pun direstui oleh dewa langit." "Sungguh kisah yang sangat romantis dan mengharukan." Se Hwa memandang lukisan itu dengan takjub. "Jadi, perayaan ini akan berlangsung empat puluh dua hari, ya? Dan setiap hari mereka akan menerbangkan dan menghanyutkan lampion?" Jeong Guk mengangguk. "Apa kau mau menerbangkannya juga? Tapi, kau harus hati-hati. Saat perayaan seperti ini, tak hanya manusia yang merayakannya. Tapi, ada banyak siluman juga yang berkeliaran berharap mendapatkan restu yang sama. Jika mereka tau mutiara rubahku ada padamu, mereka bisa mencelakaimu." "Tak akan terjadi apa-apa kepadaku. Bukankah aku hanya perlu menempel denganmu seperti ini?" Se Hwa merangkul lengan Jeong Guk. Pria itu pun terawa. "Kalau begitu, ayo kita membuat lampion. Kita punya cukup banyak waktu untuk membuatnya sebelum lampion itu diterbangkan." Sejoli itu pun meninggalkan bangunan yang sarat akan kisah indah pasangan rubah dan dewa itu. Mereka menuju penjual lampion di dekat dengan sungai. Tak berapa lama mereka berdua sibuk merakit lampion yang akan diterbangkan bersama-sama. Satu lampion untuk berdua. "Chagiya, aku lapar," kata Se Hw tiba-tiba. Matanya seperti tatapan seekor anak anjing yang kelaparan. "Jangan goda aku dengan wajah seperti itu. Biar aku belikan kau kue ikan. Jaga lampionnya dengan baik, ya." Se Hwa mengangguk girang. Tak berapa lama setelah kepergian Jeong Guk, dua orang gadis remaja mendekatinya. "Heh, siapa kau berani dekat-dekat dengan Jeong Guk? Apa kau pikir kau pantas untuknya?" Se Hwa tertegun. Dia menatap dua gadis itu. Mereka berdua sangat cantik, tapi kendati demikian, terdapat dua perbedaan di antara mereka. Yang satu pastilah dari keluarga terpandang, sedang yang satunya mungkin hanya teman atau pelayannya. Semua bisa dibedakan dari cara berpakaian dan aksesoris yang mereka kenakan. Se Hwa merasa enggan menanggapi ocehan dua gadis itu. Karena itu, dia kembali melanjutkan kegiatannya memasangkan lampu di dalam lampion yang sudah jadi. Namun, tiba-tiba remaja yang tidak dia kenal itu menendang lampion bikinannya. Tangan Se Hwa yang terlatih refleks menangkap kaki itu, lalu memelintirnya sehingga gadis jahat itu terjerembab dan jatuh ke tanah. Dia mengerang kesakitan. Kakinya mungkin terkilir atau patah. Se Hwa hendak melanjutkan memasang lampu pada lampionnya ketika Jeong Guk datang dan menolong gadis tadi. "Song Nam, apa yang terjadi? Kau kenapa?" Gadis yang dipanggil Song Nam itu menangis. Teman setianya pun menceritakan kejadian yang jelas-jelas berbeda dengan apa yang terjadi. Dia berkata, "Gadis itu tiba-tiba saja menyerang Song Nam saat Song Nam mengaku pernah jadi kekasihmu. Padahal Song Nam hanya bercanda. Song Nam juga sudah meminta maaf." "Se Hwa, apa yang kau lakukan? Kenapa kau begitu emosi padahal Nona Song sudah bilang itu hanya candaan." Jeong Guk menatap Se Hwa dengan sedikit kesal setelah mendengar penuturan teman Song Nam. Dia masih berusaha menyalurkan sedikit energi agar kaki Song Nam segera pulih. Se Hwa tak segera menjawab ucapan Jeong Guk. Dia terdiam memperhatikan apa yang dilakukan pria itu. "Se Hwa, minta maaflah kepadanya. Semua warga desa ini adalah sahabatku, aku berhutang budi kepada mereka. Jadi, wajar saja jika nanti akan ada semakin banyak orang yang menanyakan hubunganmu kita atau bercanda denganmu seperti yang dilakukan Song Nam. Dan, Song Nam lebih dari sekedar sahabat untukku, Se Hwa. Aku menemaninya tumbuh bersama, kami seperti saudara yang selalu ada dan saling memiliki." "Jadi begitu?" Se Hwa bangkit dari posisinya yang sedikit berjongkok untuk menyelesaikan lampionnya. Dia membiarkan lampionnya masih ada di tanah. "Kau mau tau apa yang ingin dia lakukan, kan?" Dengan kesal Se Hwa menendang lampion itu hingga terbang dan jatuh terhempas ke tanah, lalu terbakar. Jeong Guk terkejut. Dia berdiri dari posisi duduknya saat mengobati Song Nam. Dilihatnya Se Hwa telah pergi meninggalkan tempat itu. "Se Hwa! Se Hwa!" panggilnya, tapi Se Hwa enggan untuk menoleh. Gadis itu malah berlari menjauh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD