Part 1

1653 Words
Gelegar petir menyapa indra semua penghuni negeri Gingseng, Korea Selatan. Mengencangkan selimut, juga mengunci pintu dan jendela rapat-rapat itulah yang bisa mereka lakukan untuk menyembunyikan diri dari amukan badai. Seakan hendak meluluhlantahkan semuanya, badai petir itu terus meneror dengan suara gemuruh dan hempasan angin yang mengamuk dahsyat. Tak sedikit orang tertahan di gedung-gedung bertingkat tempat mereka bekerja. Takut pulang karena cuaca yang mengamuk itu. “Seperti ada iblis yang terlahir ke bumi, kenapa badai seperti ini bisa tak terprediksi oleh petugas?” gumam salah satu penghuni rumah yang menunggu salah satu keluarganya dengan kecemasan. “Sepertinya ini jadi badai terburuk yang menimpa negeri kita. Entah berapa banyak korban yang akan ditimbulkan karena semua ini.” Sanak family yang lain menimpali ucapannya. Ia tak kalah cemas sama seperti yang lainnya. Sementara petugas negeri itu tengah was-was dengan dering telepon yang terus terdengar bersahutan dari berbagai penjuru. Jeritan minta tolong hampir sebagian besar warga Korea membuat semua petugas begitu sibuk mengevakuasi korban bencana alam itu. Ketika hampir semua orang terjebak dalam kecemasan akibat badai, di salah satu sudut rumah sakit, seseorang melangkah mondar-mandir dalam kecemasan yang berbeda, mengabaikan jeritan badai yang mengguncang Korea. Pria itu jauh lebih mencemaskan keadaan istri dan bayinya ketimbang suara pekikan alam yang menerorkan ketakutan. “Bagaimana ini,” gumam Han So Rie, menggosok-gosok kedua tangan yang seakan membeku. Dingin. Kilatan petir telihat menyambar di balik jendela. Hujan pun tampak semakin deras, mengiringi rasa khawatir yang mendera calon ayah itu. Sudah lebih dari tiga jam Han Ceonsa masuk ke dalam ruang operasi itu. Wanita yang mengungkap janji suci pernikahan bersamanya itu tengah berusaha melahirkan buah hati mereka. Dokter mengatakan pinggul wanita itu terlalu kecil, hingga tak memungkinkan baginya untuk melahirkan secara normal. Itulah kenapa jalan operasi harus ditempuh sebagai alternative untuk melindungi keselamatan sang ibu dan buah hati. Cetar! Petir menyambar diiringi gemuruh guntur menggelegar mambuat jedela bangunan rumah sakit 35 lantai itu bergetar dengan suara gemeretak. Han So Rie menoleh. Namun, atensinya teralihkan saat mendengar suara tangis bayi dari dalam sana. “Oh, Tuhan, akhirnya lahir juga.” Han So Rie berlari menuju ruang doa, mengatakan pada ibunya kalau cucu wanita itu telah lahir. Wanita tua itu mengucap syukur teramat dalam. Kini langkahnya berderap ringan menuju ruang operasi, ketika tanpa sengaja dirinya menabrak seorang pendeta Tao. “Maafkan ibuku, Pendeta, kami tak sengaja menabrakmu.” Han So Rie membungkukkan badan penuh rasa hormat. Pendeta itu menyunggikan senyum sembari merapikan jubahnya. “Tidak apa-apa anak muda. Kau sangat sopan persis seperti apa yang aku bayangkan.” Han So Rie mengerutkan dahi. “Persis seperti yang kau bayangkan?” Han So Rie saling pandang dengan ibunya. Tak mengerti dengan apa yang dikatakan pria itu. Sang pendeta memasukkan tangan ke balik jubbah. “Berikan ini pada putrimu. Ia harus memakainya kalau ingin selamat di dunia ini?” “Bagaimana Pendeta tahu kalau aku punya seorang putri?” raut tanya dan curiga kini memenuhi wajah Han So Rie. Berbeda dengan ibunya yang justru terlihat antusias. “Sepertinya Anda pendeta yang hebat, tolong ramalkan masa depan cucu kami, tolonglah.” Pendeta itu tersenyum, kemudian melangkah menjauh sambil berucap, “Semua orang yang terlahir sudah datang dengan takdirnya sendiri. Mengalami hukum karma dan reinkarnasi yang tak bisa dihindari. Jangan khawatirkan apa pun dan biarkan alam melaksanakan tugasnya.” “Apa maksudnya?” Wanita tua bermarga Han itu mengerutkan dahi. Rasa penasaran membuatnya mengikuti langkah sang pendeta, sedang Han So Rie memilih untuk menemui istri dan anaknya. “Dasar aneh,” gumam Han So Rie menggelengkan kepala sambil melangkah menuju ruang operasi. Ia sampai di depan ruang operasi berbarengan dengan dibukanya pintu ruangan khusus itu. Dokter keluar memanggil keluarga Han Ceonsa. “Istrimu dan anakmu akan segera dipindahkan ke ruang rawat, sementara kami membersihkan putrimu, silahkan tunggui istrimu di sebelah sana.” Dokter itu menunjuk satu ruang terpisah dengan ruang operasi. Istrinya tergeletak di atas ranjang. Ketika Han So Rie masuk ruangan itu, Han Ceonsa pun tersenyum manis. “Ia lahir dengan selamat. Dokter bilang seorang putri seperti harapanmu.” “Terima kasih, Sayang.” Han So Rie memeluk istrinya penuh kasih sayang. “Bagaimana keadaanmu? Apa kau baik-baik saja?” Wanita cantik itu mengangguk. “Aku baik, Suamiku. Jangan khawatir.” Satu kecupan di kening sang istri pun menjadi simbul ungkapan sayang dan terima kasih yang tulus dari suaminya. Han Ceonsa tersenyum bahagia. Lima belas menit berikutnya suster masuk membawa seorang bayi diikuti dua suster lainnya. “Putri Anda sangat cantik,” ucap sang perawat wanita. Han So Rie tersenyum lega. Tangannya terulur menyentuh kepala mungil yang kini terlelap di balik selimut hangatnya. Sesaat Han So Rie tersentak. Netranya melihat setitik cahaya bersinar dari d**a putrinya. Namun, tampaknya tak ada yang menyadarinya. Atau mungkin hanya dirinya yang melihatnya. Tak ada yang tahu. Ia memandang orang-orang di sekitar dengan ragu, tetapi tampaknya memang tak ada yang menyadari semua itu. Han So Rie melirik benda di tangannya yang juga bercahaya. Raut tanya terus tergurat di wajahnya. “Sayang,” panggil Han Ceonsa, menyentuh tangan suaminya yang membeku memandang buah hatinya. “Ada apa? Apa ada masalah?” Wanita itu sangat penasaran. “Ti-tidak ada apa-apa,” sahut Pria itu tergagap. Ia mengambil alih putrinya dari gendongan suster. Ia pun memperlihatkan putrinya kepada sang istri. “Lihatlah dia cantik sekali, persis sepertimu.” “Kau benar, Han Airin sangat cantik.” “Jadi kau setuju kalau namanya Han Airin?” “Tentu saja. Namanya secantik wajahnya, jadi tak ada alasanku untuk menolak.” Han So Rie sangat bahagia. Dirinya memang sudah menyiapkan nama itu sejak dulu. Ia sangat ingin putrinya memiliki nama seperti idol wanita yang digandrungi sejak dulu. Namanya Jung Airin, seorang pemain drama yang sangat terkenal pada jamannya. Dua perawat yang sejak tadi terdiam di sana pun meminta izin untuk membawa pasien mereka ke ruang perawatan. Dengan senyum manis Han So Rie mengizinkan perawat melaksanakan tugas mereka. Menjejakkan kaki di ruang perawatan, Han So Rie segera menidurkan bayinya di sebelah sang istri. Wanitanya pun menyusui buah hatinya yang tampak begitu kehausan. “Sayang, aku tinggal keluar sebentar, ya,” izinnya pada istrinya. Belum lagi langkahnya meninggalkan wanitanya, sang ibu datang dengan tergesa. “Di mana cucuku?” tanyanya dengan raut yang susah di mengerti. “Ada apa, Bu?” Han So Rie juga menatap ibunya dengan bingung. “Berikan, berikan kalung yang diberikan oleh pendeta suci itu,” pintanya menengadahkan tangan. “Kalung apa? Aku sudah membuangnya.” Han So Rie berdalih. Padahal kalung dari benang hitam itu sudah ia masukkan ke dalam saku celana. Dirinya memang berniat untuk membuang benda aneh itu sesaat sebelum ibunya datang. “Ah, kenapa kau membuangnya. Tak tahukah kau kalau benda itu adalah jimat pelindung untuk cucuku Han Airin.” Wanita tua itu mendesah kecewa. “Di mana kau membuangnya? Aku harus menemukannya. Aku tak mau terjadi Sesuatu pada cucuku.” “Ibu kenapa, sih, tak akan terjadi apa pun pada putriku. Dia akan baik-baik saja.” Perdebatan di antara ibu dan anak itu menimbulkan raut tanya pada Han Ceonsa yang kini tengah menyusui buah hatinya yang baru saja terlahir beberapa jam yang lalu. “Kalian kenapa?” tanyanya tak mengerti dengan situasi yang tengah berlangsung di hadapannya saat ini. “Begini.” Wanita tua yang menjadi mertuanya itu mendekati bangkar di mana cucu dan menantunya terbaring. Ia mulai menjelaskan apa yang dikatakan oleh Pendeta Tao yang diketahui namanya bernama Pendeta Tao Chuan Yue. Ibu itu bercerita dengan penuh semangat dan menggebu-gebu, membuat Han So Rie dan Han Ceonsa menghela napas. “Ibu terlalu percaya takhyul. Yang diceritakan pendeta itu hanya khayalan semu semata. Sudahlah aku tak ingin membahas hal gila ini.” Han So Rie pun melanjutkan niatnya tadi. Ia meninggalkan istri dan ibunya untuk membuang kalung benang hitam pemberian pendeta tadi. “Han So Rie, dengarkan ibumu, jangan keras kepala!” teriak ibunya mencegah Han So Rie pergi meninggalkan kamar sang istri. Pria itu menulikan pendengaran dan terus berjalan hingga sampai di tempat tujuannya. Sengaja ia mencari tempat pembuangan sampah paling luar dari rumah sakit itu agar tak terjadi masalah dikemudian hari. Tentu saja ia tak ingin ibunya menggasak tong sampah di rumah sakit hanya untuk mencari kalung tak jelas seperti itu. “Putriku akan menghilang di malam bulan tertelan iblis dan hujan badai petir menyapa dunia. Cih, ada-ada saja. Di mana pendeta gadungan itu mendapatkan pikiran t***l seperti itu,” gumamnya sambil berlalu meninggalkan tempat pembuangan sampah. Merasa semuanya sudah aman, Han So Rie pun kembali ke kamar rawat istrinya. Namun, sebelum itu ia menyempatkan diri mampir ke supermarket terdekat guna membeli beberapa makanan ringan juga majalah untuk dibacanya saat nanti harus menjaga istrinya semalaman. Selain makanan ringan, ia juga memilih beberapa jenis buah segar untuk istrinya yang baru saja melahirkan. Yang harus dilakukannya sekarang adalah menjaga dan merawat istrinya yang berada pada fase nifas. Fase yang rentan untuk wanita yang baru saja berjuang antara hidup dan mati untuk memperthankan nyawanya dan juga nyawa anak yang ada dalam kandungannya. Tak ada sesuatu yang aneh terjadi hari itu. Selain hujan badai disertai petir yang menakutkan yang mendadak berhenti setelah putri kecilnya lahir. Langkah kaki Han So Rie terdengar mantap menyusuri lorong rumah sakit yang akan mengantarnya pada ruangan istrinya. Sampai di depan kamar VVIP tempat sang istri terbaring, ia pun membuka pintu. Namun. Seketika tubuhnya membeku saat melihat cahaya di ranjang wanitanya. Seekor binatang berbulu berekor sembilan tengah menekan putrinya yang terlelap dalam dekapan sang ibu. Entah apa yang dilakukan binatang itu. Han So Rie reflexs bergegas menghalaunya. Binatang itu menoleh dengan netranya yang berkilat merah kemudian menghilang seperti bayangan. Han Airin putrinya menangis seiring lenyapnya makhluk mitos itu. Han So Rie terhenyak terjerembab di lantai dengan barang yang terlepas dari genggaman. Berserakan. Ibunya yang semula tertidur pulas di atas sofa pun terjaga, menyusul istrinya yang tersedak seakan baru saja sadar dari sesuatu yang menindihnya membuatnya tak bisa bernapa. “Ada apa?” tanya ibunya mendekati Han So Rie yang terduduk lemas. “Gu-gu-mi-ho,” ucap pria itu terbata.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD