Part 52

1112 Words
"Sekarang kita harus bagaimana?" Min Ju menatap Se Hwa yang masih mematung. Mereka berdua masih belum meninggalkan paviliun di taman sakura. Seperti kata pangeran, pria itu meminta Min Ju datang menjemput Se Hwa. Ketika mereka tengah kebingungan dengan apa yang terjadi, tiba-tiba Seo Yeon memunculkan dirinya di sana. Min Ju terperanjat. Dia langsung mengeluarkan pedang dari sarungnya. "Siapa kau? Tunggu bukankah kau Seo Yeon? Apa kau sebenarnya? Jangan bilang kau siluman!" "Pertanyaanmu banyak sekali." Seo Yeon mendekati Min Ju, lalu menyentuh ujung perdang pria itu dan menggesernya ke samping. "Hati-hati benda ini berbahaya dan bisa melukai seseorang." Min Ju terdiam, tapi juga tak segera memasukkan pedang ke tempatnya. Dia masih menunggu dan melihat apa yang akan dilakukan Seo Yeon. Sementara itu, Seo Yeon mendekati Se Hwa dan mengajaknya berbicara dengan sangat serius. "Aku menemukan sesuatu. Sekarang aku tau di mana siluman ular itu bersembunyi." Min Ju yang mendengar kata-kata itu mengerutkan dahinya. Dia masih mengacungakan pedangnya. "Jangan gila, dan jangan bicara macam-macam sama sahabatku. Kau dan ular itu sama-sama siluman. Aku tak percaya apa pun yang kau katakan benar." "Ya! Jauhkan pedangmu!"Seo Yeon menghardik membuat Min Ju menutup telinganya. Se Hwa hanya bisa geleng-geleng melihatnya. "Min Ju, tenanglah. Dia temanku," kata Se Hwa kemudian. "Benarkah?" Min Ju tak percaya. Se Hwa mengangguk lemah. "Jeong Guk ... dia bahkan kekasihku, Min Ju." "Ka-kau ...." Min Ju tergagap. "Kemarilah, duduk di sini bersama kami," ucap Se Hwa. Dengan ragu-ragu Min Ju mendudukkan dirinya di sebelah Se Hwa. Dia memasukkan kembali pedangnya, tapi tanpa melepaskan pandangannya dari Seo Yeon. Siluman ikan itu memutar bola matanya jengah, lalu kembali fokus sama Se Hwa. "Tadi, tadi ... aku tanpa sengaja berpapasan dengan rombongan permaisuri dan aku, aku bisa merasakan kehadiran ular itu di antara rombongan itu." "Jadi maksudmu, ular itu bersembunyi di antara para dayang permaisuri?" "Iya, tapi tak bisa kupastikan dayang yang mana." "Jika ular itu ada di antara orang-orang permaisuri bukankah itu artinya permaisuri dan pangeran dalam bahaya?" Min Ju akhirnya ikut bergabung dalam percakapan itu. Mendengar perkataan Min Ju, dua wanita itu terdiam. Mereka saling pandang. "Jangan-jangan ...." Se Hwa dan Seo Yeon bicara bersamaan. "Tidak, kalian tak menduga hal yang macam-macam, kan?" Min Ju menggeleng. "Tapi, itu bisa saja terjadi. Siluman itu siluman yang sudah bertapa selama ratusan tahun. Sepertinya dia tau aku siluman, jadi mungkin tadi dia sengaja menunjukkan dirinya untuk memberiku peringatan." Seo Yeon kembali bicara dengan sedikit ketakutan. "Jika itu benar, kita tak bisa menyakiti permaisuri begitu saja." Min Ju tampak berpikir. "Apakah pangeran tau jika orang yang dia panggil guru itu adalah siluman yang telah memakan permaisuri?" Ketiganya terdiam. Tak ada yang bisa menjawab hal itu. Baik Se Hwa maupun Seo Yeon keduanya berpura-pura tidak tahu-menahu urusan pangeran yang berguru kepada Jung Jiang, tapi jika kedaannya sudah terlalu berbahaya bukankah mereka perlu bertindak? Ketiganya kebingungan. "Bagaimana cara menjelaskan ini kepada pangeran?" Se Hwa bergumam. "Jika aku yang sampaikan bagaimana?" tanya Seo Yeon. Se Hwa dan Min Ju seketika beruucap tidak. Min Ju yang paling keras menolak usul itu karena dia tak tahu kalau setiap malam Seo Yeon menggantikan Se Hwa untuk melayani birahi sang pangeran. "Aku akan bicara dengan pangeran," ucap Min Ju. "Kita akan selidiki semuanya pelan-pelan. Nanti malam aku akan menyelidiki kediaman permaisuri dengan diam-diam. Bagaimanapun aku harus memastikan dia sudah jadi siluman ular atau permaisuri disekap disuatu tempat oleh siluman itu. Bukankah apa pun bisa saja terjadi? Kita tak bisa menduga-duga dan mengambil kesimpulan untuk sesuatu yang belum jelas." "Aku ikut denganmu," kata Se Hwa. "Tidak, kau pengantin baru, dan aku yakin malam nanti pun pangeran akan menghabisakan waktunya denganmu." "Tidak, aku meragukannya. Apa yang terjadi tadi akan membuat pangeran merasa canggung untuk menemuiku sementara waktu." Min Ju tampak memikirkan ucapan Se Hwa. Setelah itu dia mengangguk, "Sepertinya kau benar, tapi tak ada salahnya berjaga-jaga. Aku akan pergi dengan siluman itu. Lagipula siluman itu lebih peka dengan bangsa sejenisnya." Seo Yeon cemberut. Bagaimanapun dia tak mau berurusan dengan siluman ular. Itu terlalu berbahaya untuknya. Seo Yeon memandang Se Hwa. Daripada mengendap-endap di kediaman permaisuri jelas jauh lebih menyenangkan jika dia menghabiskan malam yang panas dan b*******h dengan pangeran. Se Hwa tersenyum dan menepuk pundaknya. "Kurasa usul Min Ju benar. Aku akan menunggu kalian di kamarku dan membawa laporan yang penting. Aku sudah sangat lelah dengan kasus ini," kata wanita itu membuat Seo Yeon makin cemberut. Min Ju pun tersenyum, dia merasa lucu melihat Seo Yeon yang memoyongkan bibir seperti anak kecil yang tengah merajuk. "Tenang saja, tak akan kubiarkan siluman ular itu melukaimu." "Daripada mengkhawatirkanku, lebih baik kau khawatirkan dirimu sendiri." Seo Yeon mendengkus, lalu bangkit. "Kalian kalau masih ingin di sini, terserah. Tapi, aku akan kembali sekarang." Wanita itu pun menghilang dari sana. "Di mana kau pungut siluman aneh itu?" tanya Min Ju. Se Hwa terkekeh. Dia pun bangkit dari tempat duduknya. "Dia penghuni gunung rubah. Dia mengikutiku ke sini karena ingin membalas dendam atas apa yang aku lakukan kepada Jeong Guk." "Kau gila! Sudah tau dia ingin balas dendam, tapi kau malah mengijinkan dia terus bersamamu?" Kembali Se Hwa tertawa. "Aku rasa dia hanya kesepian setelah Jeong Guk menghilang dan orang-orang di desa itu musnah. Aku bertanggung jawab terhadap semua hal itu. Jadi kalau dia mau nyawaku akan kuberikan. Tapi, aku tau dia tak akan melakukannya sebab dia sendiri juga butuh teman." "Se Hwa ...." "Aku semakin merasa bersalah saat aku yakin kalau Jeong Guk benar-benar tak bersalah dalam pembantaian keluarga dan orang-orangku. Kita harus menangkap siluman ular itu untuk tau seluruh kebenaran dari kejadian itu." Min Ju mengangguk. "Seandainya saja pangeran mau berterus terang." Dia bergumam. "Kau tau ...." Se Hwa menggantung ucapannya. "Mungkinkah pangeran terlibat dengan kasus wabah itu?" "Apa maksudmu?" "Seperti yang aku katakan, pangeran mengatakan kalau aku sendirilah yang mengantarkan Park Yuk Min ke tempat barunya, sayangnya aku tak ingat sama sekali soal itu. Lalu, di mana tempatku mengalami kecelakaan? Apa kau menyelidikinya? Bagaimana kalau itu disengaja untuk mencelakaiku karena aku mengetahui sesuatu hal yang sangat penting tentang raja dan pangeran?" Min Ju mencoba mencerna kalimat demi kalimat yang diucapkan Se Hwa. Semua kemungkinan itu benar adanya. Seingatnya tak ada yang mengadakan penyelidikan terhadap kejadian yang hampir merenggut nyawa itu. Mereka melupakannya begitu saja dan menganggap bahwa itu hanya kecelakaan biasa. "Aku ingat," kata Se Hwa. "Pada malam saat aku terjatuh dan setengah sadar, ada seorang pria mendekatiku. Bukannya menolongku, pria itu malah menyeringai dan yang paling aku ingat adalah matanya yang menyala merah seperti iblis." Sejatinya dia tak tahu apakah Se Hwa benar-benar mengalami kejadian itu atau tidak, tapi Airin mengalaminya dan dia mengungkapkan apa yang dialami Airin untuk memancing reaksi Min Ju, sebab mungkin saja setelah itu, Min Ju akan menyelidiki prihal kecelakaan yang dialami Hwang Se Hwa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD