Raja sangat senang dengan keberhasilan Se Hwa memberantas siluman itu. Menurutnya sekarang kerajaan akan aman dari gangguan-gangguan apa pun yang bisa mengancam eksistensi pemerintahan. Anugrah berupa sebidang tanah, emas, dan hak-hak istimewa lainnya berhasil Se Hwa terima. Salah satunya hak untuk tetap berada di kemiliteran. Larangan pelarangan wanita ada di tubuh militer pun dicabut.
Putra mahkota sangat bahagia. Seperti mendapat angin segar, dia akan segera meminta kepada raja untuk mengirimkan Se Hwa menjadi selirnya. Dia sudah tak tahan lagi ingin hidup bersama wanita itu.
Di sisi lain, Se Hwa masih penasaran ke mana Pendeta Tao membawa lukisan di mana Jeong Guk disegel. Dia masih belum puas karena belum melihat siluman itu musnah selamanya.
"Sudahlah anakku, setidaknya siluman itu sudah tak ada lagi di dunia ini," kata Nyonya Hwang di suatu waktu. Wanita paruh baya itu sudah mengikhlaskan kepergian suaminya. Setelah berita penyegelan itu dia dengar, Nyonya Hwang segera berziarah ke makam suaminya. Dia menerangkan bagaimana raja memberi penghargaan kepada putri mereka.
"Aku mungkin memenangkan pertarungan itu, tapi aku benar- benar belum puas. Bagaimana kalau Pendeta Tao itu membebaskan Jeong Guk. Bagaimanapun siluman itu salah satu muridnya."
"Dia tak akan melakukannya. Percayalah kepada Ibu. Sekarang, yang harus kau pikirkan adalah masa depanmu. Aku sudah tau kalau pangeran menyukaimu. Dan, kau tau, aku mendengar kabar kalau raja akan memintamu untuk menjadi selir putra mahkota."
Se Hwa terdiam. Burung murai terbang, lalu hinggap di dahan sakura. Sayapnya mengepak, seakan-akan memancing lawan jenisnya untuk datang. Se Hwa menghela napas. "Aku tak berminat menjadi selir siapa pun," katanya. "Apa hebatnya menjadi seorang selir ketika kau hanya akan ada di lingkungan penuh prasangka dan kecemburuan. Lagipula, aku tak mencintai putra mahkota."
Sang ibu menatap putrinya yang bicara dengan tatapan nan jauh di sana. Seakan-akan jiwa dan pikiran putrinya itu tak ada di tubuhnya. Pikiran dan tubuh itu seperti terpisah. Ada sesuatu yang berbeda dengan putrinya. Nyonya Hwang jelas tahu itu.
"Jika kau menolak lamaran itu, lalu apa kau memutuskan untuk tidak menikah juga dengan orang lain?"
Se Hwa tersenyum, lalu menoleh. "Di duniaku, seorang wanita tak pernah berpikir untuk buru-buru menikah. Mereka akan mengejar karier dan menikmati masa muda mereka dengan baik. Bahkan, banyak di antara mereka yang memutuskan untuk tidak menikah." Sang ibu terdiam, dia tak mengerti apa yang dikatakan putrinya.
Se Hwa mengerti kebingungan ibunya, dia pun bangkit dari tempat duduk, lalu mendekati sang ibu dan memeluknya. "Ibu tidak usah khawatir, aku akan menikah jika sudah tiba saatnya nanti, tapi tidak dengan putra mahkota. Aku punya pilihan sendiri." Wanita itu mencium pipi kiri ibunya, lalu berpamitan meninggalkan wanita kesayangannya.
Belakangan Se Hwa memang lebih suka menikmati hari-harinya seorang diri. Sekali waktu, dia akan duduk di atas cabang pohon di sungai dekat istana. Dia akan menghitung helai demi helai bunga krisan yang dia bawa.
"Kembali, tidak, kembali, tidak." Begitulah Se Hwa selalu memperkirakan apakah dirinya bisa kembali menjadi Airin atau selamanya akan ada di tubuh Hwang Se Hwa.
Sampai hampir empat bulan berlalu, dia masih saja terjebak di tubuh itu dan tak tahu bagaimana caranya pulang. Dia merindukan ibu dan ayahnya.
Sesaat dia teringat pada sebuah situasi yang membuat kedua orang tuanya selalu bertengkar, juga tentang jimat yang diberikan oleh ibunya. Mendadak dia ingat tentang Jeong Guk, tentang siluman rubah yang juga selalu menemuinya karena itu dia diberikan himat agar tak ada siluman manapun yang mengganggu.
"Apa itu karena mutiara ini? Jadi Jeong Guk hidup di masa depan dan menerorku di sana karena ini?" Se Hwa meraba perutnya. Ada setitik cahaya biru terpancar di perutnya. Dia terkejut karena baru kali ini dia bisa melihat cahaya itu. Lalu, tiba-tiba Se Hwa merasa mual dan ingin muntah.
Se Hwa memutuskan turun dari atas pohon dan berdiri di pinggiran sungai. Dia terus memuntahkan isi perutnya. Setelah itu, dia duduk bersandar di bebatuan kali. "Ada apa denganku?" gumamnya sambil memejamkan mata.
Memori tentang kisah cintanya bersama Jeong Guk mengetuk-ketuk hatinya. Tentang bagaimana percintaan panas mereka kala itu. Se Hwa tersadar akan sesuatu. Dia memeriksa kondisi perutnya lagi, sambil menghitung siklus datang bulannya.
"Tidak ...." Wanita itu bergumam lesu. "Aku tak sedang hamil anak rubah, kan?"
Pikiran Se Hwa kembali kacau. Dia tidak tahu hukum Joseon terhadap wanita hamil tanpa suami. Jika saja dia hidup di Korea di jaman modern, hal itu tak akan jadi masalah. Namun, bagaimana dengan jaman ini? Tapi, bukankah masih ada kemungkinan kalau dia tidak hamil?
Memikirkan hal itu semua membuat Se Hwa makin tak b*******h. Dia mencoba bangun dari tempat duduknya, lalu berjalan meninggalkan sungai itu. Kakinya terayun lemah. Dia ingin pulang menjadi Airin, tapi sekarang dia malah hamil.
Di perjalananan entah menuju ke mana, seseorang menyapanya. Dia hanya tersenyum, lalu sedikit membungkukkan badan.
"Mengungkap kebenaran yang tersembunyi, itulah alasan kenapa kau datang ke dunia ini."
Se Hwa menghentikan langkah. Dia menoleh dan melihat nenek yang menyapanya tadi masih terus melangkah berlawanan arah dengannya.
"Nenek." Se Hwa mengejar wanita tua itu. "Apa yang nenek katakan barusan. Nenek tau siapa aku?"
Wanita tua bungkuk itu melempar senyum. Bajunya yang lusuh, tongkat kayu dari ranting pohon yang patah mencerminkan kalau nenek itu hanya rakyat jelata, tapi mungkin dia adalah pengembara atau orang yang berilmu tinggi.
"Nenek ...."
"Ada banyak hal yang tersembunyi dalam sebuah peristiwa. Kau tak akan bisa mengubah sejarah, tapi kau masih bisa mengungkap kebenarannya. Banjir darah dan kobaran api di Sungai Tuman, akan tetap tercatat dalam sejarah sebagai pembantaian masal di jaman Joseon, tapi kebenaran di balik peristiwa itu tak akan pernah tercatat jika kau mengabaikan tugasmu dan hanya terjebak dalam cinta."
Se Hwa terdiam. Dia ingat tentang kasus virus itu yang juga belum dia temukan apa dan siapa yang menyebarkan racun berbahaya itu. Lalu, pikirannya merotasi pada saat dia terkena penyakit yang sama setelah memakan kue beras pemberian salah satu prajurit istana. Saat itu dia pernah berpikir bahwa ini adalah konspirasi orang yang ada di istana. Namun kemudian, dia melupakan peristiwa itu, sampai pada titik dia teringat ketika membakar desa yang selalu dilindungi oleh Jeong Guk.
Saat itu Jeong Guk terus berkata bahwa dirinya hanya membela diri. Lalu, peristiwa malam ketika ayahnya terbunuh pun menjejali pikirannya. Kaki wanita itu terasa lumpuh. Dia sedikit terhuyung ke belakang. Air matanya menetes kemudian menatap nenek itu. "Nek, katakan kepadaku, apa aku salah .... apa membakar desa itu dan membunuh Jeong Guk adalah kesalahan?"
Wanita tua itu hanya tersenyum. Lalu, dia menepuk pundak Hwang Se Hwa. "Selamat atas kehamilanmu. Jaga dia dan mutiara rubah yang dititipkan kepadamu. Dia sangat mencintaimu."
Mendengar kata-kata itu, Se Hwa menumpahkan air matanya lebih banyak lagi. Seakan-akan dia baru saja menyadari semua kesalahan yang dilakukannya. Dunianya terasa hancur. Kepalanya seperti dihantam sesuatu yang sangat besar sampai-sampai dia merasa kepalanya akan pecah.
"Aku hamil ... dan aku membunuh ayah dari anakku sendiri." Dia bergumam sambil menangis. Se Hwa mengangkat wajah ingin bertanya lagi kepada nenek itu, tapi nenek itu sudah menghilang.
Hati wanita itu kian hancur. Kenapa si nenek pergi begitu saja? Bukankah harusnya dia memberi tahu kenapa Jeong Guk membunuh ayahnya? Atau mungkinkah bukan Jeong Guk yang membunuh dan membantai habis keluarganya?