Utusan Langit

2411 Words
“Aku tahu hal ini akan terjadi.” Lelaki itu tersenyum. Sebenarnya itu terlihat lebih seperti seringaian. Ia memakai jubah putih, rambut tertata rapi yang juga berwarna putih, memegang secangkir minuman putih berasap dan memabukkan yang biasa disebut Lavorta. Minuman kesukaannya yang sudah meracuni isi kepala. Kulit lelaki itu terlihat pucat, tapi tidak berkeriput. Meskipun seluruh rambutnya berwarna putih, bukan berati ia tua renta. Badannya bugar, tegap, dan berotot. Wajahnya tampan dengan hidung yang menjulang dan mata yang tajam. Lelaki itu, Whichessenova. Seorang pemimpin dari wilayah dingin yang biasa mereka sebut Whiterdante. Ia masih terlihat sama. Wajahnya tidak pernah menua, apalagi sejak ia berhasil berendam di hulu sungai Riveria selama tiga puluh tahun. Ia meneguk Lavorta di gelasnya sekali lagi. Memandangi ke arah cermin yang cukup luas sehingga seluruh badannya terpantul di sana. Dari ujung kaki, hingga ujung kepala. Memulai percakapan seperti yang selalu ia lakukan, hampir setiap hari. "Aku sudah merasakannya. Utusan langit itu akan datang. Kau tahu? Ini adalah kesempatan bagus untuk menjadikannya sebagai The Victor. Ia akan menjadi pengganti Shin dan menguasai tempat ini, di bawah kekuasaanku,” ujarnya dengan penuh percaya diri. 'Jangan terlalu yakin, Whissy.'  Tiba-tiba bayangannya di cermin menimpali. Bayangan seorang lelaki yang sama-sama memegang segelas Lavorta yang menggoda. Mereka seolah dua raga yang berbeda. Sang bayangan tidak melulu mengikuti gerak gerik Whicessenova. "Tidak, aku tidak pernah salah."  Lelaki itu bangkit. Berjalan ke arah tumpukan buku-buku yang juga berwarna putih di setiap sampulnya, mengambil satu yang paling besar dari sana. Lalu kembali duduk di sofa berbalut bulu beruang putih, yang memberikan kehangatan. Sofa kesukaannya. Lelaki berambut putih itu memejamkan mata. Menghela nafas yang panjang.  “Akhirnya akan terulang kembali. The Victor, orang itu harus ada di pihak kita.” Seakan meraba-raba saat matanya tertutup, ia membayangkan bagaimana Shatranj akan jatuh ke tangannya dengan bantuan Utusan Langit yang menjadi kandidat kuat The Victor. 'Kegelapan akan menemuinya lebih dulu, Whissy.’ Namun, bayangannya kembali menimpali setiap perkataannya yang keluar dari mulut Whicessenova. Lelaki itu kembali melirik cermin. Ia tersenyum sinis, melempar tatapan pada pantulan dirinya. Whissy, hanya bayangan dirinya di cermin lah yang bisa menyebut namanya dengan sebutan seperti itu. Panggilan yang cukup ia sukai. Namun, tidak ada seorang pun yang boleh memanggilnya demikian, selain bayangannya sendiri. "Aku akan mendapatkannya. Tak peduli bagaimana pun itu. Setelah apa yang kulalui, kau masih meragukanku, hah?" Lelaki berambut putih itu melirik tajam ke cermin. Ia membantah tiap kalimat yang diucapkan bayangannya yang meragukan akan kemenangan di tangan Whicessenova. ‘Bahkan setelah kematian Wise?’ Namun, bayangan di cermin itu tidak pernah kehabisan kata-kata. Ia bahkan mengungkit luka yang sampai detik ini belum sempurna terobati. Lelaki itu kembali menghela napas. Setelah terdiam beberapa jenak, ia kembali tersenyum licik. “Bukankah itu bagus?” ‘Karena kebencianmu semakin besar padanya? Pada si tua berjenggot lebat itu?’ “Aku akan tetap menang. Apa pun caranya.” Lelaki berambut putih itu tetap yakin akan firasatnya. Tidak peduli berapa kali bayangannya itu menyangkal dan mematahkan semangat. Tak peduli kalau ia terus diragukan tekadnya. Ia hanya perlu membuktikan kalau ucapannya itu benar. 'Lihat saja nanti.' "Kau yang seharusnya lihat. Whichessenova akan bangkit untuk kedua kalinya,” ujarnya yang diakhiri tawa bersama bayangannya di cermin. Lelaki berambut pirang itu kembali bangkit, sesaat setelah terdengar suara yang ia kenali dari balik pintu putih yang besar dan mewah, dibarengi ketukan yang terdengar dari sana. “Masuklah, Carl.” Seseorang di balik pintu itu adalah Carl sang Warlords Putih. Seorang lelaki dengan separuh wajah tertutup topeng besi yang telah hilang hatinya. Keduanya memiliki kesamaan. Menjadi dingin karena sakit atas kehilangan. Memiliki luka yang susah untuk disembuhkan dan dendam pada orang yang sama. “Bukankah tadi Raja ingin menyampaikan sesuatu? Askar baru saja menyampaikan titah Raja padaku,” tanyanya setelah membungkukkan badan pada lelaki berambut putih itu sebagai tanda penghormatan. Suaranya yang rendah membuatnya terlihat begitu menakutkan. Sama seperti cerita Winessa pada anak-anak nya tentang Warlords. Lelaki berambut putih itu mengangguk, ia memang meminta Askar untuk memanggil Carl. Lelaki itu kembali membalikkan badannya ke arah cermin. Membelakangi Carl yang dapat ia lihat dari pantulan cermin di depannya. “Kau tahu utusan langit akan turun? The Victor. Seseorang yang nantinya menjadi penguasa Shatranj. Aku yakin bahwa ia akan menjadi penerus Shin, untukku.” Lelaki bertopeng yang diajaknya bicara itu mengangguk, “Bulan purnama ditelan kegelapan, Raja. Aku sudah melihatnya sejak matahari tergelincir ke peraduan.” Whichessenova kembali meneguk minuman dalam genggamannya. Setelahnya, ia kembali menjatuhkan instruksi pada lelaki yang wajahnya terutup topeng separuh itu. “Aku ingin kau siapkan Askar.” Dengan sigap, sang lelaki yang menjadi lawan bicaranya itu menganggukan kepala. Ini bukan hal yang sulit baginya. Ia tahu, kalau pengejarannya pada urusan langit akan berbuah hasil. Sejak dulu, ia tak pernah mengecewakan Whicessenova. Itulah mengapa, ia menjadi seseorang yang sangat lelaki itu percaya. “Jangan sampai si Tua Bangka itu menemukannya lebih dulu.” Carl dapat melihat mata yang berapi-api dari bayangan di cermin yang juga memantulkan wajah Whicessenova. Ia tahu, lelaki itu benar-benar bertekad kuat untuk mendapatkan urusan langit lebih dulu. “Baik, Raja. Akan kupastikan Askar kita membawa utusan langit.” Lagi-lagi lelaki berambut putih itu tersenyum licik. Lelaki yang ada di belakangnya kini memang tak pernah mengecewakan baginya. “Aku tahu, kau tak pernah mengecewakan, Carl. Sekarang kau boleh pergi. Bawakan utusan langit itu untukku!” Pintu yang besar itu kembali tertutup. Whicessenova membanting tubuhnya di sofa berbulu putih yang hangat. Ia mendongak, melihat pantulan wajahnya pada lampu berlian yang menggantung di atas sana. Menara Putih memang jauh berbeda dengan Menara Hitam. Tidak banyak bebatuan, tidak gelap, dan tidak banyak menggunakan kayu pada pintu-pintunya seperti milik Blachessier yang terlihat seperti kastil tua. Lantainya marmer berwarna putih, lampu besar yang menggantung terbuat dari berlian. Anak tangganya berbentuk piringan bulat tanpa pegangan yang ketika dipijak akan mengeluarkan cahaya terang. Terdapat pilar-pilar besar yang juga berwarna putih di dalam menara tersebut. Lelaki yang wajahnya tertutup topeng itu menuruni anak tangga. Di bawah, Elte si manusia gajah yang setia sudah menantinya. Sebagaimana sudah diceritakan oleh Winessa-Ibu dari Hores dan Halum, bahwa Elte adalah kaki tangan Carl, seperti Leto yang merupakan kaki tangan Drake. Meskipun Elte dan Leto memiliki perbedaan pada tubuh, juga keahlian yang mereka miliki. Jika Leto sang manusia serigala memiliki indra penciuman yang kuat bahkan dengan jarak yang cukup jauh, Elte juga memiliki keahlian yang tak kalah fantastis. Dengan cuping telinganya yang melebar, salah satu alasan lelaki itu dijuluki sebagai manusia gajah, di mana ia bisa mendengar suara dalam radius di atas lima ratus meter. Namun, Elte tak pernah menggunakan keahliannya pada Carl dan Whicessenova ketika mereka sedang berbincang. Elte tahu, itu menyalahi aturan. Lelaki manusia gajah itu menundukkan kepala tepat setelah Carl berdiri di hadapannya. Carl baru saja turun dari ruangan Whicessenova dan menyampaikan titah. “Aku butuh Askar. Bisa kau siapkan?” Lagi-lagi Elte menunduk pelan, mengiyakan perintah lelaki bertopeng itu. “Bagaimana pun, kita harus menemukannya lebih dahulu. Jangan sampai kegelapan tiba lebih awal.” Sama seperti Whicessenova, lelaki bertopeng itu tidak ingin kegelapan yang selama ini menjadi musuhnya, tiba di sana lebih awal. Bahkan membawa pulang sang utusan langit lebih dahulu. Ia juga ingin melihat bagaimana kehancuran terjadi di Blason. Wilayah yang selalu bersebrangan dengan Whiterdante. “Siap, akan kupastikan utusan langit itu menjadi milik Raja Whicessenova.” Dengan sigap, lelaki manusia gajah itu menjawab instruksi dari sang Warlords Putih. “Bawalah beberapa Askar dan sisakan untuk berjaga di gerbang.” “Baik.” Ia mengangguk dengan cepat. Paham dengan perintah yang keluar dari mulut lelaki yang masih berdiri di hadapannya tersebut. “Kita harus tetap waspada. Kita belum tahu, bahaya apa yang akan kita hadapi.” Terakhir kali, Elte membungkukan badannya, lalu beringsut mundur. Memanggilnya beberapa Askar untuk menyisir daerah perbatasan, juga Sadest yang diyakini sebagai tempat jatuhnya sang utusan langit. *** Tiga orang Askar yang dikirim Elte sudah memasuki Sadest dan hampir mendekati Woolis karena mereka percaya utusan langit akan jatuh di sana. Sementara Elte, dengan beberapa Askar yang lain, masih menyisir Sadest di bagian lain. Demi mendapatkan sang utusan langit lebih cepat, mereka memilih berpencar. Dengan lentera putih yang mereka bawa, tiga orang Askar itu mulai mengedar pandang ke sekeliling. Belum ada tanda-tanda bahwa utusan langit telah tiba. Tidak ada yang tahu, kapan ia akan jatuh. Tidak Blachessier juga tidak Whicessenova. Keduanya juga tidak tahu persisnya kapan dan di mana utusan langit akan tiba. Mereka hanya tahu, bahwa langit mengaba-aba akan ada pertolongan dari atas sana. Pertolongan yang akhirnya membuat luka semakin dalam satu sama lain. Detik-detik mendekati hari penobatan The Victor. Mereka harus berperang, satu sama lain. Setelah berjalan cukup jauh ke dalam Sadest yang semakin dingin, mereka hampir tiba di perbatasan antara Sadest dengan Forestan yang terlihat sangat jauh berbeda. Kegelapan yang mencekam terlihat di sebrang Sadest layaknya air dan minyak yang tak bisa bersatu. Dari kejauhan juga, terlihat benang bercahaya yang mereka ketahui sebagai Woolis dengan mantra yang mematikan. Salah satu dari mereka melihat sekelebat bayangan melintas, bayangan itu terlihat di Forestan yang merupakan wilayah Blason, tepat setelah Woolis yang ada di depan mereka. “Hei kalian, kemari!” Askar itu memanggil temannya yang berada jauh di belakang. Mereka yang mendengar teriakan salah satu Askar menoleh, mendekati sumber suara dengan cepat. “Ada apa?” tanya salah satu Askar ketika mereka sudah berkumpul. “Aku melihat sesuatu di seberang sana!” Tangannya menunjuk ke Forestan yang gelap, sangat kontras dengan tempat di mana mereka berdiri. Dua Askar yang lain mengikuti ke mana telunjuk temannya mengarah. Kemudian mereka bertatapan dan serentak menggelengkan kepala. “Aku tidak melihat apa pun. Gelap sekali di sana. Yang benar saja!” Askar lain yang juga merasakan hal serupa, menganggukkan kepala tanda setuju. Mereka berdua tidak melihat bayangan seperti yang dikatakan sang Askar pertama. “Aku yakin, terlihat selintas bayangan.” Askar yang sejak tadi berdiri paling belakang memegangi Askar yang lain. Ia yang paling penakut di antara ke tiganya. Entah mengapa ia bisa menjadi salah satu Askar di Menara Putih. Ia juga yang termuda di antara ketiganya. Bahkan, di antara Askar-askar lain yang dimiliki Whicessenova. “Jangan bercanda. Tempat ini tidak telihat bagus untuk bermain-main,” ujarnya dengan nada yang sedikit gemetar. “Aku serius! Untuk apa aku berbohong pada kalian? Jika saja Woolis ini tidak dimantrai, aku akan mengejarnya. Dia pasti mata-mata.” Setiap ucapan yang keluar dari mulutnya terdengar begitu serius. Ia mulai bersemangat, yakin jika yang ia lihat adalah seorang mataata yang juga tahu kalau sang utusan langit akan segera tiba. “Bagaimana jika itu Pion? Anak yang mati terapung di Riveria itu. Kalian tahu kan? Ayolah kalian pasti tahu, hari itu benar-benar menjadi tragedi untuk kita semua. Atau mungkin itu Joulie anak dari Tuan Carl?” Si penakut itu masih saja mengeluarkan banyak kata-kata. Ia percaya dengan arwah gentayangan yang mati secara tidak sukarela. “Ssst. Bodoh! Berhenti bicara omong kosong atau kau-“ Belum selesai sang Askar itu bicara, anak panah melesat tepat melewati mereka bertiga dan menancap pada pohon besar di belakang mereka. Anak panah itu membawa sebuah gulungan kertas. Nyaris mengenai mereka. Mereka berlari mendekati anak panah setelah beberapa jenak terdiam saking terkejutnya. Kalau saja salah satu dari mereka bergerak, anak panah itu akan melukai mereka. Dan mungkin salah satu dari mereka sudah terluka karenanya. “Aku sudah bilang, seseorang pasti sedang mengawasi kita! Kalian masih tak percaya dengan ucapanku?” Askar pertama yang menemukan bayangan itu melintas terlihat kesal. Ini sudah terbukti bahwa tidak hanya mereka bertiga yang ada di tempat tersebut. “Apa ini?” Salah satu dari mereka menarik gulungan kertas yang mengancam di pohon besar. Ia mulai membuka dan membaca sesuatu yang tertulis di sana. Sebuah kata yang tertulis dengan tinta hitam. ‘Pergi!’ Askar paling kecil dan penakut lagi-lagi mengeluarkan suaranya yang bergetar karena ketakutan. Dengan kalimat yang patah-patah, sang askar meminta teman-temannya untuk pergi dari tempat tersebut. “Se-sepertinya kita memang harus pergi da-dari sini.” Askar yang memegang gulungan kertas itu mengedar pandang sekali lagi sebelum akhirnya ia bersuara. “Kita memang akan pergi, bukan karena ketakutan. Kita harus melaporkan ini pada Tuan Carl.” *** “A-ayah?“ Bitale segera bangkit dari tempat tidurnya setelah mengetahui lelaki tua itu bersembunyi di sana, di balik selimut yang terpasang di ranjangnya. Berlagak seperti guling yang biasa menemani tidurnya pada malam hari. “Dari mana saja kau, Bitale?” Lelaki tua itu bertanya, tidak dengan nada tinggi, tapi tetap membuat gadis itu terlihat takut. Ia tahu, lelaki tua itu pasti sudah menangkap basah kalau ia baru saja kabur dari Forestan. “Aku....” “Pergi ke perbatasan? Melewati Forestan yang gelap itu? Kau tahu, tempat itu sangat berbahaya, Bitale.” Ia menunduk, mendengar kalimat demi kalimat yang terlontar dari mulut Blachessier. Gadis itu tahu yang ia lakukan memang salah. Menyelinap keluar Menara Hitam dan berlari ke Forestan yang gelap memang berbahaya. Namun, tetap tidak akan merubah kebiasaan Bitale yang senang mencari-cari bahaya. Ia menyebutnya sebagai sikap sang pemberani. “Aku hanya ingin mencari informasi.” Setelah hanya terdiam untuk beberapa waktu, dengan ragu-ragu akhirnya gadis itu menjawab pertanyaan sang ayah yang kini berdiri di depannya. “Setidaknya biarkan Drake, Leto atau Lory pergi denganmu, Bitale. Terlalu berbahaya kalau kau pergi sendirian.” Ia hanya khawatir sesuatu terjadi padanya. Hanya gadis itu yang Blachessier miliki sekarang. “Tidak, Ayah. Mereka akan curiga. Aku tidak bisa bersembunyi bila pergi membawa pasukan. Bukankah itu terlihat seperti sebuah parade daripada mata-mata? Ayolah, Ayah. Jangan bercanda!” Begitulah Bitale. Wataknya yang keras kepala memang sulit dibantah. Bagaimana pun, gadis itu selalu menemukan jawaban ketika sang ayah menasehatinya. “Bitale, apa kau tahu? Sesuatu yang besar akan terjadi di Shatranj.” Kini, sang ayah terlihat lebih serius. Ia bahkan memegangi kedua pundak anak gadisnya. “Aku tahu, Ayah. Karena itu aku pergi ke sana. Ayah tidak ingin Whicessenova lebih dulu menemukannya kan? Utusan langit dan hari penobatan The Victor!” Blachessier terdiam mendengar penjelasan gadis itu. Utusan langit memang begitu penting bagi Blason, tapi Bitale juga sangat penting baginya. Perempuan yang ia cintai juga ada pada diri Bitale. “Aku hanya tidak ingin kehilanganmu, Bitale. Tidak lagi. Sudah cukup dengan kepergian ibumu.” Anak gadis itu ganti memegang tangan ayahnya. “Tidak, Ayah. Aku berjanji, aku akan baik-baik saja.” Ia berusaha meyakinkan Blachessier kalau gadis itu memang bisa melewati semua ini dan semuanya akan tetap baik-baik saja. “Lain kali, akankah kau meminta izinku dulu sebelum pergi ke mana pun?” Bitale tersenyum dengan begitu lebar. Anak itu memang benar-benar sesuatu. Sambil mengedipkan sebelah matanya, ia berkata, “Hanya bila ayah mengizinkannya.”    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD