Perempuan itu adalah penghuni abadi di sana. Rambutnya yang hitam mengkilap sesekali tertiup angin tatkala ia duduk pada bebatuan besar di tepian Riveria. Memiliki suara yang begitu merdu, ia membuat siapa pun yang mendengarnya terlena. Kulitnya pucat pasi, wajahnya begitu cantik. Bibirnya selalu tersenyum, menyapa siapa pun yang melintas di depannya. Perempuan itu, cinta pertama dunia yang disebut Shatranj.
Dahulu, Riveria banyak dikunjungi penghuni Shatranj. Mereka memainkan biji-biji Koy, hewan bulat berantena sebesar kuku-kuku jari. Katanya, bila seseorang berhasil menangkap sepasang Biji Koy dalam satu tangkapan, maka orang tersebut akan bertemu dengan belahan hatinya dalam waktu dekat.
Terkadang, mereka berendam untuk mendapatkan kesegaran tahan lama. Para penghuni Shatranj akan berendam bahkan meminum airnya yang selalu jernih. Bukankah sudah terdengar kabar, bahwa air Riveria menghilangkan dahaga selama dua puluh empat jam? Belum lagi, Riveria diketahui menyimpan keajaiban, di mana ketika seseorang berendam di sana selama tiga puluh tahun, maka orang tersebut akan awet muda dan tidak akan menua sama sekali. Sayangnya belum ada yang bisa melakukan hal ini selain satu orang yang kini menjadi pemimpin Whiterdante, Whicessenova.
Ada seorang penghuni abadi di sana. Penghuni abadi Riveria itu bernama Melusine. Manusia berekor ikan berwarna keemasan yang seringkali dijumpai pada senja yang menguning. Ia akan menampakkan tubuh, saat matahari tergelincir. Duduk pada bebatuan dan memperlihatkan kecantikannya pada semua penghuni Shatranj. Hanya beberapa jenak. Tidak lama. Sebelum semua warna hilang dan menyisakan hitam dan putih, seperti sekarang ini.
“Apakah sebenarnya Melusine itu baik hati? Mengapa ia dijuluki sebagai cinta pertama penghuni Shatranj?”
Tidak ada satu pun mahluk di Shatranj yang membenci Melusine. Perempuan itu amat dicintai karena memiliki kecantikan abadi. Ia yang selalu tersenyum membuat siapa pun yang melihatnya jatuh hati. Sampai akhirnya, sesuatu terjadi di suatu hari.
Hari itu, tiga hari sebelum Warlords kehilangan hatinya seperti sekarang. Melusine ada di sana. Makhluk itu sedang duduk di bebatuan, memainkan biji-biji Koy berantena yang berwarna putih. Ia mencipak-cipakkan ekor berwarna keemasannya dengan sirip yang melebar.
Seketika wajah Melusine yang tadinya cerah berubah, tatkala ia melihat Whichessenova melintas di tepian Riveria. Tidak, bukan hanya Whichessenova. Lelaki berambut pirang itu tidak berjalan seorang diri. Di sana, Carl si Warlords putih rupanya berjalan beriringan dengan Whicessenova. Melusine kemudian menenggelamkan diri. Ia bersembunyi di balik jernihnya air Riveria.
“Mengapa Melusine sembunyi? Apakah ia takut pada mereka berdua?”
Ada hal yang makhluk itu ketahui. Melusine berpikir ia melihat sesuatu ada pada mereka. Demi memastikan bahwa penglihatannya tidak salah, makhluk itu segera menenggelamkan diri. Mencari Ashara yang telah ia sembunyikan di dasar Riveria.
“Ashara? Aku belum pernah mendengar kata itu sebelumnya. Ibuku juga tidak menyebut kata itu sama sekali. Apa itu Ashara?”
Dahulu, Melusine memiliki seorang kekasih. Ia bernama Oannes yang juga tinggal di Shatranj, sama seperti dirinya.
“Oannes? Mahluk apa itu? Apakah ia manusia? Atau, sejenis dengan Melusine? Mempunyai ekor serupa ikan?”
Sebelum menjadi penghuni abadi Riveria seperti sekarang ini, Melusine dan Oannes adalah makhluk yang memiliki kaki. Mereka adalah sepasang kekasih yang amat sangat saling mencintai. Tidak ada hari-hari yang mereka lewatkan seorang diri. Di mana ada Melusine, maka di situ ada Oannes. Lengket seperti sebuah permen karet. Keduanya benar-benar sedang dimabuk cinta.
Melusine dan Oannes terlihat seperti manusia, sangat mirip sekali. Mereka berjalan sama seperti manusia. Hanya saja, ada perbedaan di bola mata mereka.
“Seperti Warlords yang bisa mengunci musuh dan membuatnya menjadi kaku? Apakah mereka berdua juga makhluk yang kejam? “
Bola mata mereka berwarna abu-abu. Mereka dapat melihat di dalam gelap sekali pun. Mereka juga senang berpindah-pindah tempat dari satu tempat ke tempat lain. Inilah mengapa mereka disebut Nomadenierce.
Hari itu, mereka berdua pergi ke sebuah tempat di mana belum ada satu orang pun yang mendatanginya. Tempat itu terletak di hilir Riveria. Dengan tanah yang terbelah-belah karena kekeringan, tidak ada satu pun pepohonan yang tumbuh, juga tidak ada hewan yang berlari-lari seperti di Forestan.
“Tempat apa itu? Kupikir tidak ada tempat seputus asa itu di Shatranj.”
Tempat itu disebut Darkzone. Zona yang tidak terjamah penghuni Shatranj karena memang tidak ada apapun di sana selain sangat Hippocanis yang menjaga pintu menuju Whiternorth. Satu bagian paling utara dari Whiterdante. Di sana, pusatnya dari segala dingin. Sama seperti Darkzone, Whiternorth juga tidak berpenghuni.
“Apa yang terjadi pada mereka berdua?”
Saat itu, Oannes masih diam di tepian Riveria. Ia baru saja membasih wajahnya demi kesegaran yang tahan lama. Semula, semuanya terlihat baik-baik saja. Sampai ia memanggil-manggil kekasihnya, Melusine. Namun, tidak ada jawaban. Betapa terkejutnya Oannes ketika ia menoleh, ia mendapati sebuah bayangan hitam yang melayang, berada tepat di depan Melusine yang ketakutan. Demi melihat Melusine yang sedang dalam bahaya, tanpa pikir panjang, Oannes menghampirinya. Ia menarik tubuh Melusine hingga perempuan itu terjatuh di tepian Riveria.
“Lalu?”
Lelaki itu menggantikan posisinya. Makhluk bayangan itu terlihat murka. Ia mengeluarkan tangan ringkih yang serupa dengan ranting kering dan mengulurkan nya pada wajah Oannes. Detik itu juga, wajah Oannes mendongak, seakan jiwa lelaki itu tengah direbut secara paksa. Melusine yang melihat itu dari tepian Riveria menangis tersedu-sedu. Sampai akhirnya, Oannes yang jiwanya sudah direnggut Spiller, makhluk bayangan hitam yang melayang itu, jatuh ke tanah bagai tak bertulang lagi. Spiller mengambil jiwa Oannes seperti jeruk yang sudah diremas dan diambil sarinya.
Saat itu, Melusine yang merasa bersalah pada Oannes, bersembunyi di dasar Riveria dan menetap hingga akhirnya menjadi penghuni abadi. Kakinya perlahan berubah menjadi ekor keemasan dengan sirip yang melebar. Melusine tidak akan meninggalkan tempat di mana perempuan itu melihat lelaki yang dicintainya meregang nyawa. Melusine akhirnya menyusuri Riveria dan sampai pada tempatnya sekarang. Dekat bebatuan besar yang dirasa aman untuk dirinya.
Jiwa Oannes yang sudah mati itu ada di sebuah kalung bermata biru yang disebut Ashara. Setelah puas menghisap jiwa Oannes, Spiller pergi begitu saja. Meninggalkan jasad lelaki itu yang berubah menjadi sebuah batu permata biru. Konon, jika seseorang memiliki Ashara yang berhasil ia rebut dari Melusine, seseorang itu akan hidup abadi dan tak terkalahkan.
“Jadi, meskipun ia terbunuh akan kembali hidup? Sebegitu istimewanya kah?”
Ashara membuat pemiliknya menjadi kuat. Ketika pedang menggores tubuhnya, luka yang menganga itu akan rapat dan darah yang bercucuran akan berhenti dengan sendirinya. Tidak banyak yang mengetahui bahwa Ashara benar-benar benda yang ajaib. Sampai suatu hari kabar ini sampai di telinga seseorang.
Melusine murka setelah ia menemukan kotak Ashara miliknya terbuka. Ashara bermata biru itu benar-benar hilang seperti dugaannya. Saat itulah, Sirenia bangkit dari dalam jiwa Melusine.
“Sirenia, jiwa lain yang merusak Melusine? Ibu pernah mengatakan tentang Sirenia. Wajahnya jelek kan?”
Tiga hari setelah Melusine mengetahui tentang Asharanya yang hilang, satu anak mengapung di Riveria. Ia adalah Pion, anak seorang Drake, Sangat Warlords Hitam.
“Benar! Hari itu menjadi hari di mana Blason dan Whiterdante menjadi semakin terpecah belah, benar kan?”
Leto, manusia serigala dari Blason adalah yang pertama kali menemukan Pion mengapung di Riveria. Ia berlari ketika melihat anak yang ia kenali itu sudah tidak bernyawa lagi. Saat itu, Leto hendak mengambil Arantula. Racun dari seekor laba-laba yang bisa menyembuhkan luka sayat.
“Tunggu dulu, racun bukannya berbahaya? Bagaimana bisa racun menjadi penyembuh luka?”
Racun Arantula menetralisir racun yang ada di pedang, s*****a sayatan. Racun Arantula akan mematikan racun dari pedang tersebut dan akhirnya hal yang parah tidak akan terjadi pada korban yang terkena racun dalam pedang.
Senja itu, sebelum Leto berlari demi melihat Pion yang mati, ia melihat dua orang laki-laki di seberang Riveria. Mereka adalah Whichessenova dan Carl si Warlords Putih.
“Kisah ini sama persis dengan yang ibuku ceritakan.”
Hari itu, hari di mana Drake Sangat Warlords Hitam benar-benar kehilangan hatinya. Seluruh penghuni Shatranj memenuhi Riveria, layaknya gerombolan semut yang mengelilingi gula. Pipi mereka terbasahi air mata yang menangisi kepergian seorang anak. Warlods Hitam yang murka, menangis sejadi-jadinya. Ia mengepalkan tangan, memukul tanah berkali-kali. Merutuki apa yang terjadi pada anak kesayangannya.
“Apakah Melusine juga ada di sana?”
Senja itu, Melusine tidak menampakkan diri. Makhluk itu masih bersembunyi di dasar Riveria. Namun, senandungnya tetap terdengar di telinga penghuni Shatranj. Berbeda dengan biasanya, hari itu senandung Melusine terdengar menyakitkan. Seakan bernyanyi melepas kepergian Pion yang malang.
Kabar duka itu akhirnya sampai ke telinga Blachessier. Lelaki tua itu pun turut murka. Ia juga mendengar kabar, bahwa Whichessenova dan Carl si Warlords Putih ada di sana saat Pion ditemukan mengapung di Riveria.
“Apakah dugaanku benar selama ini? Bahwa Blachessier terlibat untuk kematian selanjutnya?”
Tak lama, hujan turun. Langit turut berduka atas kepergian seorang anak. Namun tidak untuk Sirenia. Ia tertawa ketika semua orang sudah berenang di alam mimpi mereka. Sirenia melompat-lompat ke permukaan. Ia berbahagia atas apa yang mereka rasakan. Mereka akhirnya tahu, bahwa kehilangan memang menyakitkan. Sama seperti dirinya. Mereka akhirnya merasakan, tentang apa yang ia rasakan.
Dua hari berlalu. Tidak ada keceriaan seperti sebelumnya. Biji-biji Koy bersembunyi, tak terlihat barang sepasang pun berlarian di air jernih itu. Melusine juga tidak menampakkan diri seperti biasanya pada senja yang menguning. Sementara Drake Sang Warlord Hitam masih diselimuti duka, juga seluruh penghuni Shatranj.
Seorang anak terlihat berjalan dari kejauhan. Ia membawa setangkai Nigrum Rosis, mawar hitam yang cantik. Mengenakan jubah berwarna putih dan sepatu boots berwarna senada. Anak itu adalah Joulie. Anak dari Carl si Warlords Putih yang hendak mendoakan kematian Pion di Riveria.
Anak lelaki itu berjalan mendekati Riveria yang hening. Dilihatnya sekeliling, tidak ada siapa pun di ssana Joulie hanya seorang diri. Ia bersimpuh di tepian Riveria. Menaruh Nigrum Rosis di permukaannya, membiarkan bunga itu mengapung sebagaimana terakhir kali Pion mengapung di sana. Tiba-tiba, senandung itu terdengar lagi. Dengan gerimis yang mulai turun, membasuh wajah Joulie yang menengadah. Anak lelaki itu mengangkat tangan. Merasakan rintik-rintik air yang mendarat di telapak tangannya yang dingin.
Senandung itu masuk ke telinga Joulie. Alunannya semakin lama semakin menyakitkan. Terdengar jauh, tapi melesap ke dalam hati. Joulie yang beberapa kali menengadah ke langit, perlahan bangkit. Matanya memandangi Nigrum Rosis yang terapung-apung.
Anak lelaki itu mulai berjalan dengan tatapan kosong. Matanya memang memandangi Nigrum Rosis yang kini sudah mengapung di tengah-tengah Riveria yang cukup dalam. Anak lelaki itu memasuki Riveria yang tenang. Sedikit demi sedikit, tubuh itu mulai menenggelamkan diri. Sampai akhirnya gerimis berubah menjadi hujan deras dan tubuh Joulie tidak terlihat lagi.
“Jangan bilang kalau... tidak mungkin! Aku tak percaya, cinta pertama penghuni Shatranj melakukan hal buruk ini.”
Pagi itu, duka kembali menggema di seisi Shatranj. Seorang anak telah kehilangan nyawanya lagi. Mayat terapung kembali menjadi perbincangan pagi yang menyayat hati. Anak dari Carl si Warlords Putih sudah pergi untuk selamanya, menyusul Pion dengan cara yang sama. Warlords Putih pun turut murka. Ia terus bertanya, kenapa hal yang sama harus terjadi padanya.
“Jadi, pembunuh sebenarnya adalah Sirenia? Dasar makhluk jelek tak berperasaan!”
Nigrum Rosis masih terapung tak jauh dari ditemukannya mayat Joulie. Seluruh warga Whiterdante berpikir, itu adalah tanda sebagai pembalasan dendam atas kematian Pion beberapa hari lalu, mengingat mawar tersebut berwarna hitam yang diyakini sebagai warna milik Blason. Maka, kesalahpahaman tidak dapat dihindari. Sejak itu, Blason dan Whiterdante semakin terpecah belah. Kedua belah pihak berpikir mereka membunuh anak mereka satu sama lain.
“Ke mana perginya mahluk itu? Dasar gila! Ialah yang menyebabkan semua kekacauan ini. Ia juga yang telah memprovokasi kedua belah pihak.”
Melusine jarang terlihat lagi, sejak saat itu. Senandung yang ia nyanyikan setiap harinya adalah senandung kesedihan. Ia merasa bersalah atas kematian dua anak yang tak berdosa. Namun, Sirenia terus saja memprovokasi pikirannya. Jika ia merasakan sakitnya kehilangan, maka mereka harus merasakannya juga. Begitu yang diucapkan Sirenia berkali-kali padanya.
“Sebenarnya apa yang membuat Sirenia menguasai pikiran Melusine? Dan mengapa Sirenia harus membunuh anak-anak itu?”
Inilah yang diinginkan Sirenia. Kekacauan. Ia ingin mereka saling serang satu sama lain. Sirenia melihat peperangan sebagai pertunjukkan yang menarik. Ia tidak suka ketenangan. Sangat berbeda dengan Melusine.
Melusine tidak sepenuhnya salah. Andai Ashara itu masih ada di tempatnya, Sirenia mungkin tidak akan muncul, apalagi menguasai kepala Melusine. Sirenia tidak akan murka dan anak-anak tak berdosa itu tak akan kehilangan nyawanya.
“Jadi, jika kita ingin kembalikan Melusine seperti sedia kala dan mengusir Sirenia dari kepalanya, kita harus menemukan Ashara? Tapi, di mana aku bisa menemukan Ashara itu, Odi?”
“Warlords Putih. Orang yang mencuri Ashara dari Melusine. Satu-satunya orang yang tahu tentang keajaiban kalung tersebut.”
“Tapi, mengingat bagaimana Sirenia begitu menyeramkan, kupikir aku tak perlu melakukan apapun. Lagipula, tidak ada keuntungan untukku. Kalau-kalau aku selamat seperti kemarin. Kalau tidak?”
“Siapa bilang, Tuan Muda? Untuk menjadi The Victor, ini adalah langkah pertama yang harus kau tempuh. Setelahnya, jalan menjadi The Victor akan lebih mudah.”
“The Victor?”
Mata anak lelaki itu seketika berambisi. Senyuman licik turut menghiasi wajahnya.
“Kedengarannya menarik.”