Sebuah Mimpi Buruk

2254 Words
Tikus-tikus itu sepertinya mulai ketakutan. Setidaknya, itulah yang ada di benak dua anak lelaki itu. Mereka tidak lagi mengeluarkan suara seramai malam-malam sebelumnya, seperti yang sudah-sudah. Setelah Halum menemukan lubang di balik jam tua itu, ketenangan mulai kembali merayap di sudut-sudut kamar mereka, sehingga mereka bisa kembali menikmati tidur yang beberapa hari ini selalu terganggu. Hores yang kamarnya terletak lebih jauh dari lubang tikus malah sudah berkeliaran di alam mimpinya sejak pukul delapan malam. Anak lelaki itu mungkin sudah tidak sadarkan diri sekarang, ia menikmati jalan-jalan, atau mungkin sedang berada di atas pesawat terbang dan bertempur seperti yang ia ceritakan pada Winessa beberapa minggu lalu tentang mimpinya. Para pengganggu itu tidak akan mengganggu tidur Hores dan Halum lagi. Halum mulai memejamkan mata. Rasa kantuk menyerangnya setelah ia bosan bermain video game sejak beberapa jam yang lalu. Ia menguap berkali-kali, melemaskan otot-otot tubuhnya, lalu mematikan lampu yang membuat matanya silau ketika berbaring menatap langit-langit kamar. Belum terhitung lima menit sejak ia memejamkan mata, suara-suara itu terdengar lagi. Suara-suara gaduh yang mengganggu tidurnya. Berbeda dari malam-malam sebelumnya, anak lelaki itu mendengar ketukan langkah yang cepat dan terhentak-hentak. Seperti langkah-langkah banyak orang yang berlari bersamaan, lalu bunyi-bunyi benturan besi terdengar setelahnya. Seakan-akan seseorang sedang menonton film perang dari televisi dengan suara yang dikeraskan. Dengan mata yang sayu karena kantuk yang tak tertahankan, anak lelaki itu mencoba turun dari tempat tidur demi mengetahui hal gila apa lagi yang berani mengganggu waktu istirahatnya. Ia bahkan hampir menabrak tembok karena matanya tak lagi kuat menahan kantuk. Ia menatap jam yang melingkar di dinding. Pantas saja, sudah pukul sebelas malam. Sebentar lagi memasuki waktu tengah malam dan seharusnya ia sudah terlelap dan mengejar Hores yang sudah jauh terjatuh dalam mimpi indahnya. Suara itu semakin jelas terdengar, seakan berebut tempat menusuk-nusuk telinga Halum. Terdngar begitu ramai. Jika diperkirakan, keramaian ini disebabkan oleh tiga orang. Tidak, Halum menggelengkan kepalanya. Ini bukan hanya tiga, tapi banyak. Ini terdengar seperti sebuah peperangan yang melibatkan sekelompok lelaki dewasa. 'Apakah ibu menyalakan televisi?’ Anak lelaki itu mulai menerka-nerka. Masih dengan matanya yang mengantuk, ia menggeleng-gelengkan kepala dan mengerjapkan mata berkali-kali, berharap kantuknya sedikit mereda. Halum berpikir kalau suara itu berasal dari televisi dengan volume yang keras. Suara-suara itu semakin terdengar gaduh, berebut tempat di telinga Halum. Seakan semakin dekat dengannya. Anak lelaki itu terdiam beberapa jenak saat kakinya sudah menginjak ruang televisi. Ia bahkan mengucek matanya berkali-kali demi memastikan kalau ia tak salah lihat. Namun, memang tidak ada siapa pun di sana. Setelah berdiri di ruangan itu beberapa menit, ia baru sadar sesuatu. Ia ingat betul kalau ia satu-satunya yang masih terjaga di tengah malam, Hores sedang tertidur di kamar, ibunya belum kembali sejak kemarin karena harus menemani Tante Anna, dan ayahnya? Anak lelaki itu tersenyum sinis. Ia bahkan tidak ingat bagaimana wajah lelaki itu sejak kematiannya beberapa tahun yang lalu. Suara-suara gaduh yang mengganggu tidur Halum itu perlahan mengecil. Tidak segaduh saat anak lelaki itu mencoba untuk tidur beberapa waktu yang lalu. Ia berpikir sesuatu terjadi pada telinganya karena sering menggunakan headphone dengan volume penuh. Seperti sebuah ilusi dari efek video game perang yang selalu ia mainkan setiap harinya. 'Mungkin aku salah dengar.’ Ia mencoba meyakinkan diri dan kembali ke kamar tidurnya untuk mengistirahatkan mata yang sudah lelah. Ini akan menjadi masalah ketika matanya tak mengantuk lagi. Ia akan mengalami insomnia dan tidak akan bisa memejamkan matanya sampai pagi, dan anak lelaki itu tak ingin hal itu terjadi padanya. ‘Halum’ Belum satu langkah pun kakinya keluar dari ruang televisi yang sunyi senyap, anak lelaki itu mendengar seseorang memanggil namanya. Ia terperanjat, menengok kiri dan kanan. Mengedarkan pandang, mencari pemilik suara. Apa mungkin telinganya benar-benar bermasalah? Setelah mendengar suara gaduh yang terdengar seperti peperangan itu, kini ia bahkan mendengar seseorang memanggil-manggil namanya. Ia menghentikan langkah, memasang telinga dengan benar dan memastikan kalau ini hanya ilusinya karena sudah terlalu mengantuk. ‘Halum.’ Namun, suara itu terdengar lagi. Sebuah bisikan yang pelan, tapi jelas. Sangat jelas di pendengarannya. Halum tidak berpikir bahwa ia salah dengar lagi. Suara itu benar-benar menyerukan namanya. Tiba-tiba, suara itu menjauh. Terdengar semakin jauh dan samar-samar, tapi masih terus menerus memanggil-manggil nama anak lelaki itu. Semakin lama, semakin tak terdengar. Seruan yang memanggil namanya itu terkalahkan oleh suara langkah kaki yang kembali bertalu-talu. Semakin terdengar riuh seakan kaki-kaki itu berlari menghampiri Halum. ‘Apa aku sedang bermimpi?’ Anak lelaki itu dengan cepat bersembunyi di balik sofa. Mereka-pemilik suara gaduh itu berlarian menuju ruangan di mana Halum bersembunyi. Anak lelaki itu dapat melihat bayangan mereka. Para lelaki berbaju besi dengan pedang dan perisai layaknya para petarung. ia menelan ludah. Kejadian yang ia alami ini benar-benar terlihat seperti sebuah adegan dalam film Night at Musium yang pernah ia tonton bersama Hores dan Winessa. Mereka, bayangan yang Halum lihat dari tembok, saling membenturkan pedang, mencoba saling melukai satu sama lain. Anak lelaki itu semakin menunduk, takut-takut pedang salah alamat mengenai wajahnya. Besi tajam itu saling beradu, anak lelaki itu mulai gemetaran. Ia tak mengerti dengan situasi yang ia alami saat ini. Anak itu mencoba mengatur napas. Di tengah ketakutannya, Halum terus menggerutu. 'Hores, bagaimana bisa ia tidur dengan tenang dan tak mendengar apapun? Apakah ia tuli atau tak sadarkan diri? Jangan bilang kalau ia Sedang simulasi mati.' Bagaimana pun juga, anak lelaki itu tak habis pikir. Kenapa adik lelakinya tidak bangun dengan suara yang bahkan lebih berisik dari sekedar cicit tikus yang biasanya mengganggu malam -malam mereka. Bagaimana mungkin Hores masih bisa tidur dengan tenang, sedang ia sekarang terkepung di situasi yang membingungkan seperti ini. Sekejap kemudian senyap kembali merayap melalui celah-celah jendela. Menjalar ke tembok-tembok, lalu mulai menyebar ke seluruh sudut. Sunyi. Suara-suara itu hilang, begitupun bayangannya. Hanya dalam hitungan detik, mereka lenyap, layaknya kerubungan semut yang ditiup angin kencang. Anak lelaki itu mulai bernapas lega. Setidaknya, ia tidak lagi terjebak dalam situasi kacau seperti beberapa waktu yang lalu. Semua kembali seperti sedia kala. Mereka pergi dan Halum berpikir, ia dapat terlelap lagi. Melanjutkan tidurnya dan mengejar Hores yang masih terlena di alam sadarnya. Meskipun di benak anak lelaki itu masih penuh dengan tanda tanya. 'Siapa mereka? Apa yang mereka lakukan? Dari mana asalnya? Bagaimana mereka bisa masuk, padahal pintu jelas-jelas sudah aku kunci? Apa aku terlalu mengantuk sampai aku berhalusinasi? Atau, aku bahkan sudah terjebak di alam mimpiku sendiri?’ Selagi sibuk dengan segala pertanyaan itu, Halum tak sadar sebuah pedang mengacung tepat di depannya dan seseorang menyeringai sembari mengucap namanya berkali-kali. Seseorang yang ia pun tak mengenali lelaki itu karena topeng besi menutup separuh wajahnya. "Halum ..." Anehnya, anak lelaki itu terpaku. Ia tidak dapat bergerak sedikit pun. Meskipun kepalanya seakan menyeru untuk lari, kaki anak lelaki itu seolah menyatu dengan lantai. Ia tak bisa bergerak. Bahkan, tak bisa berkata-kata. Anak lelaki itu hanya memandangi sangat lelaki yang membawa pedang dengan ketakutan. Keringat sudah mengucur di dahinya. "Halum!" "Halum!" Lelaki itu semakin mendekat, pedangnya sedikit lagi menyentuh dadaa Halum. Anak lelaki itu benar-benar ketakutan sekarang. Ia ingin melangkah mundur, tapi kakinya enggan bergerak sedikit pun seolah-olah ditimpa beban ratusan kilogram, sementara lelaki yang separuh wajahnya tertutup topeng besi itu menyeringai makin lebar. "Halum!" Pedang sudah berada tepat di depan dadaanya. Lelaki yang mengacungkan pedang bahkan sudah tertawa begitu puas. Mata yang saling bertatapan terlihat begitu berbeda. Halum dengan ketakutan, sementara mata lelaki itu terlihat berapi-api. Seolah amarah sudah tak dapat ditahan lagi. "Aaah!" Halum memegangi dadanya yang mulai mengeluarkan darah. Kini pedang itu sudah menancap di dadaanya. Semakin dalam, sampai anak lelaki itu ambruk segera setelah lelaki yang menutupi wajahnya dengan topeng itu mencabut kembali pedang yang menancap di d**a Halum. Lantai yang tadinya putih, kini ternodai darah. "Halum!" Samar-samar, ia mendengar seseorang menyerukan namanya lagi. Semakin jelas, seakan orang itu meneriakkan nama Halum tepat di telinganya. “Halum!” "Bangunlah Halum!" Plak! Sebuah tamparan yang cukup keras mendarat di pipi Halum. Kelopak matanya seketika terbuka. Keringat mengucur deras membanjiri seluruh tubuh anak lelaki itu. Pipinya memerah, telapak tangan Hores tergambar di sana. "Kau menamparku, Hores?" "Habis kau tak bangun-bangun, Halum. Berteriak-teriak seperti orang sakit jiwa. Aku tak tahu harus bagaimana. Kau bahkan lebih berisik dari tikus-tikus yang menyebalkan itu." "Tidak dengan menamparku, Hores!" Raut kesal di wajah Halum tergambar begitu jelas. Bagaimana mungkin Hores menampar wajahnya. Perih mulai merambat di pipinya yang putih pucat. Anak lelaki itu menjatuhkan tatapan tajam pada Hores, sementara yang ditatapnya malah mendongakkan kepala, seakan menantangnya balik. "Tapi kau bangun, kan? Coba tidak kutampar. Pasti kau masih berteriak-teriak. Sama saja berisiknya dengan tikus-tikus menyebalkan itu." Hores mencibir, terus saja melakukan pembelaan atas apa yang ia lakukan terhadap Halum. Namun detik itu, kakaknya tidak lagi membantah. Anak lelaki itu terdiam, matanya lurus ke depan. Ia mulai menyadari sesuatu. Kalau hal yang baru ia alami adalah sebuah mimpi buruk yang benar-benar terasa nyata. Setelah diam beberapa jenak, akhirnya anak lelaki itu mulai bersuara. "Aku mimpi buruk, Hores." Ia tak lagi mempermasalahkan Hores yang menampar pipinya. Kenangan tentang pedang yang menancap di dadaanya lebih menarik untuk ia pikirkan. Hores lagi-lagi mencondongkan wajahnya. Duduk di depan Halum yang masih memandang lurus. Kakaknya itu seolah sedang memikirkan sesuatu. Sementara Hores yang tidak sabar mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Halum memasang mata dan telinga. Seperti anak kecil yang tak sabar mendengar kakek tua untuk bercerita. Sayangnya, Halum masih bungkam. Anak lelaki itu tak lagi melanjutkan kalimatnya. "Mimpi apa, Halum?" Hores masih terus bertanya. Rasa penasaran sudah menggelayuti pikirannya sekarang. ‘Apa yang membuat Halum sampai berteriak-teriak? Mengapa ia sampai banjir keringat?’ Anak lelaki itu benar benar ingin tahu. "Ayolah, Halum. Ceritakan padaku!" Hores berkata dengan nada paksaan. Ia bahkan menggoyang-goyangkan lengan Halum yang masih menatap lurus ke depan. "Cerita padaku atau-“ Belum selesai ia bicara, Halum membantahnya dengan kata-kata, "Atau apa?" "Aku sama sekali tidak takut dengan ancaman-ancamanmu, Hores!" Ia bahkan menoleh pada Hores yang akhirnya membuat anak lelaki itu menciut dan membungkam mulut. 'Halum!' Halum mendengar suara itu lagi. Matanya mengedar ke segala sudut, sedang Hores menundukkan kepala, bibirnya terus menggerutu. Apalagi yang ia rutuki selain Halum yang menurutnya menyebalkan ini? "Hores!" Anak lelaki itu mendongak. Matanya berbinar. Ia berpikir kalau kakaknya akan menceritakan mimpi buruk yang baru saja ia alami. "Kau mau menceritakannya padaku, Halum?" Rasanya seperti Winessa akan memberikan jatah dongeng malam seperti beberapa waktu yang lalu. Anak lelaki itu bersiap, ia ingin mendengar cerita yang akan dikeluarkan Halum kali ini. "Sssttt!" Namun, tidak seperti bayangan Hores, Halum menempelkan telunjuk di bibir. Ia menyuruhnya bungkam. 'Halum.' "Apa kau mendengarnya, Hores?" Hores mengangkat bahu, alisnya naik. Sedetik kemudian tersenyum sinis. Ia tak mengerti dengan jalan pikiran Halum. "Kau benar-benar gila, Halum! Sejak tadi kau menyuruhku diam, kau juga tak berkata apa pun. Lalu, suara apa yang bisa kudengar, Halum?" Anak lelaki itu kesal. Halum belum mengatakan apapun padanya, dan ia bahkan menyuruhnya untuk diam. Lalu, suara apa yang akan ia dengar? Suara cicak yang menyaksikan keduanya berdebat batin? Anak itu memutar matanya kesal. "Tidak, bukan suaraku. Suara itu, suara yang menyebut namaku!" Hores bahkan tertawa sinis. Sepertinya mimpi buruk itu masih menggerayangi kepala Halum. Atau mungkin, jiwa anak lelaki itu belum kembali seutuhnya. Hores menggelengkan kepala melihat tingkah Halum kali ini. 'Halum.' Namun, sang kakak tidak peduli. Halum beranjak turun, tak ia hiraukan lagi Hores yang menatapnya kebingungan. Ia sudah tak peduli jika anak kecil itu mengatai dirinya tidak waras. Sama sekali. Suara itu menyembul dari tembok entah yang mana. Halum terus mengikutinya. Menyisir setiap tembok yang ia pikir suara itu berasal dari sana. Suaranya semakin jelas saat kaki Halum menginjak ruang penyimpanan, sarang tikus-tikus yang kemarin ia temui bersama Hores. Masih, bisikan nama Halum terdengar berulang-ulang layaknya piringan hitam pada pemutar musik berterompet besar milik Tante Anna yang ada di rumahnya. Anak lelaki itu masih terus mengikuti suara yang terdengar memanggil nama Halum berkali-kali. Sampai  akhirnya telinga itu menempel di dinding dekat jam tua. Suaranya jelas. Semakin terasa dekat. Hingga tangannya meraba sesuatu yang berbeda di sana. Anak lelaki itu melihat gulungan kertas usang yang kemarin ia temukan bersama Hores saat mencoba memburu tikus-tikus yang mengganggu tidur mereka. Dari lubang yang sudah diperbesar itu masih terdengar seseorang memanggil namanya. Jelas sekali. Ia mendekatkan wajah, berharap menemukan apa yang sedari tadi ia cari. “Siapa di sana?” Dengan konyolnya ia bahkan bertanya. Tidak ada jawaban atas pertanyaan yang keluar dari mulut Halum. Ia membatin, ‘Sepertinya aku mulai tidak waras. Bagaimana mungkin seseorang ada di dalam dinding. Kecuali...’ Anak lelaki itu kembali membongkar lubang, membuatnya semakin besar. Ia yakin betul, ini bukan sebuah dinding biasa. Pasti ada ruang yang mungkin tidak ia ketahui sebelumnya. Membayangkan seseorang yang terus menerus menyerukan nama Halum terjebak di dalam dinding membuat ia merinding. Apakah dinding ini dipakai untuk bersembunyi oleh seorang psikopat? Bayangan-bayangan buruk seperti di film horor mulai berloncatan di kepalanya. Benar! Ada dinding lain di balik dinding yang ia robohkan. Seperti sebuah sekat dengan jarak yang pendek. Mungkin hanya setengan lengan. Jarak yang cukup pendek. Sebuah kemustahilan jika seseorang bersembunyi di sekat ini. Anak lelaki itu kehilangan akalnya. Ia berpikir kalau kepalanya masih belum pulih. Halum pasti masih terbawa pada suasana dalam mimpi buruk yang baru saja ia alami.  Jangan-jangan, ini memang sarang tikus yang selalu membuat gaduh, tapi bagaimana dengan suara itu? Ia membatin. Dengan susah payah, Halum meraba setiap sisi yang masih bisa ia jangkau. Sepertinya ia mendapatkan sesuatu. Tangannya meraih benda di antara sekat tersebut. Ini seperti... “Halum! Apa yang kau lakukan? Ikut aku sekarang!” Hores tiba-tiba muncul dan menarik tangan Halum yang kotor. Ia menunjuk telepon yang gagangnya sudah terangkat. Halum menatap Hores dan ia hanya menaikkan alisnya. Diraihnya gagang telepon yang masih tersambung dengan seseorang. “Halo?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD