STORY 00 - B
***
Semua orang mengetahui dirinya sebagai sosok yang begitu sempurna. Laki-laki tampan, wajah bagai pahatan indah dewa yunani, mampu menghipnotis semua orang di sekitarnya, berwibawa, di usia tiga puluh tahun bahkan sosok itu sudah mampu menduduki jabatan tinggi dalam sebuah perusahaan tersohor di Indonesia.
Drake Anderman Clayton, siapa yang tidak kenal dengan namanya? Dengan embel-embel keluarga Clayton saja semua orang pasti sudah tahu.
Laki-laki yang memikat semua wanita dengan senyuman hangat dan perilakunya yang berwibawa. Tak ada satupun orang yang meragukan kemampuan laki-laki itu dalam mengatur suatu perusahaan.
Pribadi sempurna, pekerjaan sempurna, wajah tampan menggoda, tidak ada satupun hal kotor tersebar luas dalam diri Drake Anderman Clayton. Tidak ada yang tahu.
Bahkan laki-laki itu menyimpan satu rahasia penting yang sampai saat ini pun masih tabu untuk dibicarakan.
Dia pemeran utama kita dalam cerita kali ini. Tidak ada yang biasa dari sikapnya. Drake Anderman Clayton bukanlah sosok pemimpin perusahaan yang dingin namun memikat semua wanita dengan sikapnya.
Laki-laki itu hanya sosok yang berusaha keras menyembunyikan kecacatan dirinya di depan semua orang.
***
Perusahaan Clayton – Ruang Executive
Pukul 13.09 pm
“Bagaimana keadaan ibu?” Satu pertanyaan terucap, beriringan dengan suara kertas tersibak beberapa saat. Hening dalam ruangan langsung hilang, sosok Drake tetap menatap berkas di tangannya. Namun dengan pikiran terbelah.
Antara pekerjaan dan pertanyaan tadi. Tepat setelah kedatangan laki-laki paruh baya yang notabene sang ayah sendiri.
Laki-laki yang duduk dengan santai setelah, sesuai kunjungan setiap siangnya untuk mengecek perusahaan. Secangkir kopi pahit dan beberapa snack lengkap di atas meja.
Ivondes Maity Clayton, Ia tersenyum sinis. “Kau tidak pernah lelah menanyakan kabar wanita itu, Drake.” ujarnya tanpa menjawab satu pertanyaan sang Anderman.
Sibakan kertas Drake terhenti, manik abu-abu yang biasa memancarkan sinar hangat itu berubah dingin dalam sekejap, “Aku hanya menanyakan satu hal, dan ayah masih tidak mau menjawab?” tanya Drake sekali lagi.
Ivondes terkekeh kecil, “Khaha, baiklah jika kau memang ingin tahu. Keadaan ibumu baik-baik saja, jangan khawatir berlebihan.”
Tidak ada yang aneh dari perkataan sang ayah, tapi sayang Drake sudah lebih dulu salah mengartikan senyuman sinis dan sindirian laki-laki itu.
Menutup manik dan mencoba tenang, “Sebagai putra satu-satunya wajar jika aku khawatir,” tegasnya cepat.
Ivondes kembali terkekeh, kali ini seolah mengejek, “Untuk apa kau mengkhawatirkan wanita yang sudah pergi meninggalkan kita?”
Satu pertanyaan terakhir sang ayah ternyata mampu menaikkan emosi Drake. Menaruh berkas di atas meja dengan kasar, “Ayah, sudah selesai berkunjung ‘kan? Semua uang yang kau minta akan segera kukirim. Jadi lebih baik Ayah pulang saja.”
Tidak ingin mencari masalah dan membuat kepalanya semakin sakit, raut wajah laki-laki paruh baya di sana berubah kesal.
“Kau mengusir Ayahmu sendiri?” Tekan Ivon, menatap tajam Drake. Pakaian formal serta tongkat yang biasa Ia bawa untuk menjaga keseimbangan tubuh karena termakan usia tidak menyurutkan amarah Ivon.
Kedua orang itu saling bertatapan sesaat, melempar pandangan tajam. “Aku hanya meminta Ayah pulang. Masih banyak berkas yang harus kutandatangani sekarang,” jawab Drake santai.
Ivon mendecih kesal, tidak bisa menjawab. “Sombong sekali kau.” Bergegas bangkit dari sofa, dengan manik datar. “Jika aku membiarkanmu pergi dengan wanita itu mungkin saat ini kau sudah duduk di jalanan kesusahan mencari makan.” Sindirnya lagi.
Drake tidak gentar, dia justru tersenyum remeh. “Jika aku tidak ada di posisi ini menggantikan semua pekerjaan Ayah. Mungkin perusahaan kita akan bangkrut dalam beberapa bulan saja.”
Sangat mudah membalikkan perkataan sang ayah, karena Drake memang sudah memiliki pegangan sejak dulu. Berbekal kepintarannya dalam menangkap semua pelajaran sejak kecil.
Drake tumbuh menjadi sosok yang nyaris sempurna, jika saja kelemahan laki-laki itu sampai saat ini berhasil Ia sembuhkan.
Tanpa menjawab perkataan Drake lagi, Ivon mendengus kesal. Berjalan terpincang keluar dari dalam ruangan, tepat saat pintu terbuka.
Sosok manager kepercayaan Drake sudah berdiri tepat di depan Ivon. Laki-laki berusia paruh baya, dengan rambut putih kebanggaannya. Houven.
“A-ah, tuan Ivondes, anda sudah selesai? Akan saya panggilkan mobil kantor untuk mengantar anda pulang.” ucap sosok itu sigap.
“Tidak usah. Kau urus saja laki-laki yang berani membantah perkataan ayahnya sendiri di sana, ck!” Berujar kesal, melewati tubuh tegap itu cepat dan berjalan pergi.
Meninggalkan pintu ruangan terbuka, Houven menatap sang pemimpin yang kini kembali terfokus dengan berkasnya.
Masuk ke dalam ruangan dan menutup pintu. “Anda bertengkar lagi dengan tuan Ivon?” tanya sosok itu, sembari berjalan membawa beberapa file penting, menempatkan berkas di atas meja dan berdiri di samping Drake.
“Kau kira aku akan diam saja membiarkan dia menjelekkan nama ibu? Hh, dalam mimpi.” tukas Drake sinis.
Houven menggeleng tipis, menatap sosok pemimpin yang sudah bertahun-tahun membangun kembali perusahaan sang ayah dengan segala kemampuannya.
Walaupun posisi direktur utama tetap berada di tangan ayahnya sendiri. Tapi di balik layar, tetap Drake-lah yang lebih banyak bekerja.
Sosok tegap, wajah tampan dengan potongan rambut under cut legam, penampilan yang begitu formal. Sifat Drake berubah saat laki-laki itu berada di dalam ruangan dan hanya Houven yang tahu.
Senyuman hangat, dan perkataan lembut yang mampu menyihir semua wanita, bisa berubah menjadi tatapan dingin dan membunuh dalam hitungan detik.
“Anda belum menyentuh makanan sejak tadi pagi, Tuan. Saya sudah menyiapkan beberapa menu di ruang makan anda.” Houven mencoba mengganggu sedikit kegiatan sang tuan.
“Aku harus menyelesaikan tugas ini, Houven. Pukul empat nanti akan ada rapat penting, jadi lewatkan saja makan siangku.” Menolak cepat.
“Tapi Tuan, anda bisa jatuh sakit,” Sebelum laki-laki paruh baya itu selesai dengan perkataannya, Drake sudah lebih dulu menatap tajam Houven.
Mengira bahwa Houven akan tunduk dengan semua perintahnya dan diam. Tapi sayang, lelaki paruh baya itu sudah sangat mengenal Drake.
“Tidak bisa, sekarang juga anda harus segera menyantap makanan yang suda saya sediakan. Apa Tuan mau saya bawakan sendiri makanan itu ke dalam ruangan?”
Manik Drake mendelik kesal, mendesah panjang. “Kau keras kepala sekali,” Menatap sosok Houven yang tersenyum kecil.
“Lagipula ada informasi penting yang harus saya katakan nanti,” Kata informasi penting itu mampu menarik perhatian Drake. Mengalihkannya dari pekerjaan.
“Informasi apa?”
Houven terhenti sesaat, menatap sosok sang tuan dengan seksama, sebelum akhirnya mendesah panjang. “Mengenai ibu anda, Tuan Drake.”
Berita wanita yang baru saja Ia tanyakan pada ayahnya tadi. Kenapa Houven tiba-tiba ingin memberi informasi baru lagi? Tentu saja Drake tidak bisa menolak informasi itu.
Bergegas merapikan meja kerjanya. “Aku akan menyusulmu sebentar lagi.” Memberikan instruksi cepat. Houven mengangguk paham.
“Baik, Tuan. Saya akan menunggu di ruang makan.” Ruang makan yang dibuat khusus bagi Drake, mengingat laki-laki itu sangat tidak teratur dalam urusan tubuhnya sendiri. Jadi sering kali Houven selaku menager sekaligus butler Drake menyiapkan makanan khusus.
***
Informasi mengenai ibunya? Drake tidak menyangka jika kabar yang Ia dapat tentang wanita itu bukannya hal baik atau membahagiakan.
Melainkan satu kata yang mampu membuat detak jantung Drake berhenti selama beberapa saat. Menyelesaikan acara makannya dalam sepuluh menit, sebelum Houven mengucapkan semua informasi yang dia dapatkan.
Informan khusus yang sengaja Drake siapkan untuk memantau kondisi sang ibu. Tapi siapa sangka kalau laki-laki yang Ia percayai mengatakan satu kebohongan besar padanya?
“Ibu, sudah meninggal? Apa maksudmu?!” Reflek menggebrak meja makan, wajah Drake mulai memerah. Menahan amarah, sementara Houven masih berdiri di dekat sang tuan.
Menunduk sesaat, sebelum akhirnya menatap balik laki-laki itu yakin. “Saya baru saja mendapat kabar bahwa dini hari tadi, ibu anda- Nyonya Candela sudah tiada.”
Tidak percaya, tentu saja!! Satu jam lalu, dia baru mendengar kabar dari sang ayah bahwa ibunya baik-baik saja. Tak ada berita buruk, raut wajah ayahnya juga tetap tenang.
“Jangan bercanda, Houven! Kau tahu, jika berani berbohong mengenai kondisi ibuku, nyawamu pun tidak akan segan-segan kuambil!!” Mengucapkan satu ancaman kuat.
Houven menunduk. “Maafkan saya, Tuan Drake. Kemungkinan tuan Ivondes sengaja berbohong pada anda mengenai kondisi nyonya Candela.”
“Kondisi ibuku selalu baik-baik saja!! Dia berjanji akan merawatnya ‘kan!! Walaupun mereka sudah bercerai, tidak mungkin ayah membohongiku!!”
Mungkin Drake memang tidak mengetahui seperti apa kondisi sebenarnya sang ibu. Karena informan yang Ia sewa khusus pun hanya mendapatkan informasi berdasarkan perkataan masyarakat yang pernah berhubungan langsung dengan ibunya.
Drake menolak percaya sebelum Ia benar-benar bertemu dengan sang ibu!! “Sepertinya tuan Ivondes sengaja menyiapkan pemakaman khusus bagi Nyonya Candela agar tuan Tidak mendengar kabar ini.”
Bisa Drake lihat bagaimana Houven bergerak mengambil handphonenya. “Pemakaman pun dilaksanakan dini hari, Tuan. Informan saya menemukan bukti video ini.”
Memperlihatkan dengan cepat, sebuah video yang terputar. Suasana di layar nampak gelap gulit, beberapa penerangan tipis memaksa Drake untuk meneliti lebih dalam video tersebut.
Menggenggam erat, bagaimana peti sang ibu, lengkap dengan sebuah foto terpampang jelas. Kremasi yang berjalan begitu singkat, hanya beberapa orang menghadiri acara tersebut.
Tidak ada ayahnya, hanya orang-orang asing. Pemakaman suram yang tak pantas. Tersembunyi.
Jantung Drake serasa mencelos saat melihat video itu, menggenggam kuat handphone Houven. “Aku mengerti.” Satu kalimat singkat terucap.
Drake kembali menyerahkan handphone itu pada pemiliknya. Enggan untuk berbicara lebih lanjut, Ia segera berdiri.
“Tu-tuan, apa ada ingin mengunjungi pemakaman nyonya Candela? Saya akan menyiapkan waktu khusus agar tuan Ivon tidak tahu.”
Menghentikan langkah Drake, tubuh tegap itu berbalik menatap kosong Houven. “Untuk apa? Aku sudah mendapatkan bukti bahwa ibuku sudah tiada ‘kan?” Begitu dingin dan datar.
“Tapi tuan, setidaknya anda bisa melihat makam nyonya satu kali saja. Bukannya anda sangat menyayangi beliau.”
Tersenyum tipis, “Aku memang sangat menyayanginya. Melebihi apapun,” Kalimat Drake terhenti, tubuh itu berbalik lagi, melangkahkan kaki berniat pergi. “Tapi ibu tidak pernah menganggapku putranya dan memilih pergi saat itu karena menganggapku pengganggu.”
“Untuk apa aku pergi melihat makamnya sekarang, wanita itu pasti akan menangis dan mencaci maki putranya sekali lagi.”
Tulang dan tubuh yang sudah menjadi abu akan kembali tertanam di dalam tanah. Jika Drake datang dan melihat itu semua, mungkin dia akan runtuh saat ini juga.
Tidak ada yang boleh tahu, seperti apa pribadi seorang Anderman sesungguhnya.
***
Pukul 01.00 Dini Hari
Ruang Kerja
Dalam gelap ruangan yang sengaja tak Ia nyalakan. Sosok bertubuh tegap dan penuh wibawa itu tengah meringkuk di sudut ruangan.
Memeluk lutut dan menahan diri agar tidak mengeluarkan satu tetes air mata pun. Menghalau siapapun masuk ke dalam ruangan. Meski perusahaan mungkin sudah sepi hari ini.
Tidak ada siapapun di sini, dia sendiri. Tepat setelah menerima kabar kematian sang ibu. Sosok Drake Anderman Clayton tak bisa menahan perasaannya sendiri.
Kesedihan yang membuncah tanpa bisa Ia kendalikan. Rasa takut, gemetar, bahkan tangisan.
“Ibu…ibu..kenapa pergi,” Satu suara itu terlepas. Dalam ruangan yang sepi, bergema tipis. Sinar rembulan malam ini menembus celah jendela yang tipis. Pemandangan kota Jakarta terlihat jelas, langit dipenuhi bintang namun tubuh tegap itu masih tetap meringkuk.
“Kenapa ibu pergi..ibu tidak boleh meninggalkanku sendirian,” Suara gemetar ketakutan. Siapa yang menyangka bahwa dia akan mengeluarkan suara dan sikap seperti itu?
Tangisan diiringi tetes hujan mengalir di pipi. Tubuh tegap itu gemetar, memeluk tubuhnya sendiri.
Kematian yang begitu menyedihkan, alasan selama ini seorang Drake bisa tetap hidup. Mempertaruhkan diri, menjadi sosok boneka bagi keluarganya sendiri.
“Untuk apa aku hidup? Jika ibu pergi, meninggalkanku sangat jauh,” Bagai anak kecil. Tidak ada yang bisa menenangkan Drake sekarang.
Inilah salah satu kelemahan yang Ia simpan-ah mungkin semua keluarganya tutup erat-erat di depan seluruh masyarakat. Tidak ada yang boleh tahu.
Siapapun- mengenai penyakit mengerikan seorang Chief Executive sekaligus calon penerus perusahaan Clayton terbesar di Indonesia.
Penyakit yang muncul saat dirinya merasa takut akan beberapa hal. Sindrom Peterpan.
“Ibu,” Jika wanita itu pergi, berarti alasannya untuk tetap hidup tidak akan ada.
***
Sabtu – pukul 02.00 dini hari
Di pinggir kota Jakarta- terpencil
Tidak ada yang mengira bahwa pertemuan pertama mereka akan terjadi begitu aneh.
“Anda mau apa, Tuan?” Noravayne Adela bertemu dengan sosok Drake Anderman Clayton. Laki-laki tampan yang berdiri pada pinggir relling jembatan, menatap kosong ke depan.
Hendak melakukan sesuatu yang berbahaya. Menghilangkan nyawa semudah itu.
Bunuh diri.