Ketukan yang terdengar dari daun pintu masih Vean acuhkan, ia sibuk dengan pikiran dan tangannya yang berusaha memberi coretan tinta pada bukunya yang masih kosong. Ia tidak berniat membuka pintu tersebut karena fokusnya tidak ingin terbelah, ia tidak mau memutar otak lebih dalam jika pikirannya tiba-tiba berantakan.
Namun, pemikiran kolot itu tidak bertahan lama saat tidak terdengar ketukan pintu lagi, kini ketukan kecil itu berubah menjadi gedoran kasar, siapapun orang itu, Vean dapat menyimpulkan bahwa orang tersebut sudah tidak ingin menunggu lebih lama lagi.
Vean berdesis sebal, otaknya mendadak kacau balau, ia melepaskan pulpen dari sela jarinya, tubuhnya kemudian berputar dan wajahnya menatap berang pada pintu. Gregetan sendiri, Vean memilih bangkit dari kursi dan berjalan dengan kaki mengentak kesal menuju pintu.
"Mulai detik ini, gue bakal berdoa lebih rajin lagi biar telinga lo tersumpal lebih banyak sampah busuk, digedoran dari tadi juga nggak dibuka-buka. Ngeselin lo!"
Hal yang pertama kali Vean dapatkan setelah pintu sudah terkuak lebar adalah semburan menyebalkan dari bibir adiknya, Vigo. Umur Vean dan adiknya hanya terpaut satu tahun.
Tubuh Vean tersandar pada kusen pintu dengan tangannya yang terlipat di atas d**a, ia tersenyum kecut, kemudian berkata sinis, "ada keperluan apa?"
"Nih pacar lo mau ngomong, bukannya pake nomor elo, malah pake punya gue, heran sendiri gue." Setengah kasar, Vigo melemparkan ponselnya tanpa memberikan aba-aba sebagai permulaan, jika saja Vean tidak segera menangkapnya, mungkin benda pipih itu sudah berselonjor manja di lantai.
"Pacar pala lo," desis Vean kesal. Bibirnya mencebik, ia pun berbalik badan seraya menutup pintu dengan bantingan yang cukup membuat d**a Vigo naik turun. Cowok itu pun lantas mengelus dadanya sembari menggelengkan kepala takjub.
"Buset, dia balas dendam." Vigo bergumam, menatap dua detik pada pintu kamar kakaknya sebelum tubuhnya berbalik dan melangkah menuju kamarnya sendiri yang letaknya hanya di samping kamar Vean.
Sementara itu, Vean berjalan dan mengambil duduk di bibir kasur. Ia meletakkan ponsel Vigo di dekat telinga.
"Veeaaannnnnn, lo pokoknya harus temenin gue sekarang, sini pergi ke rumah gue!" Belum juga menyapa, si penelpon langsung berteriak keras hingga Vean sendiri sedikit memundurkan ponsel dari telinganya.
Tak sampai pada titik itu, bahkan teriakan Rezel terdengar begitu nyata di telinga. Bukan terdengar lewat perantara alat canggih itu, melainkan memang jarak rumah mereka sungguh berdekatan.
Vean menghela napas pendek, jari tangan kanannya ia gunakan untuk menggaruk alis tebalnya. "Zel, suara lo di kecilin dikit bisa nggak? Kedengaran sampe ke kamar gue nih."
Di seberang sana, Rezel mengerucutkan bibirnya sebal, "yaudah, buruan sini, temenin gue."
Tatapan Vean beralih ke arah langit-langit kamarnya, senyumannya sedikit mengembang. "Lo sekarang di mana?"
"Serius, lo beneran mau nemenin gue? Asik, gue tunggu di kamar nggak pake lama, terima kasih Vean-ku sayang!"
Untuk menanggapi ucapan Rezel, Vean hanya sedikit bergumam, bukannya ilfiel karena Rezel memanggil namanya dengan sebutan seperti itu, Vean justru merasa biasa saja. Mungkin hal ini terjadi karena persahabatan dirinya dan Rezel yang sudah terjalin saat mereka berada dalam kandungan ibu masing-masing.
"Kapan gue bilang setuju? Males ah nemenin lo, nanti pas gue nyampe, lo udah ngorok lagi." Diakhir kalimat yang diucapkan, Vean terkekeh pelan bersamaan dengan bokongnya yang bangkit dari kasur.
Cowok jangkung yang mengenakan kaos hitam polos lengan pendek itu berjalan santai menuju jendela kamarnya sembari memasukkan tangan kirinya ke celana.
"Gue nggak gitu, buruan sini temenin gue dong. Males ih, masa cowok kok kayak gitu, cowok itu harus gentle, nurutin apa mau cewek."
Vean membuka jendela kamarnya, seketika itu juga angin sepoi menyambut kulitnya hingga ia bergidik untuk beberapa detik. Ditatapnya langit yang kosong, tidak ada penerangan sama sekali. Entah karena apa bulan maupun bintang tidak menunjukkan diri.
Sambil tersenyum dan menengadah ke atas, Vean menjawab, "nggak ada sejarahnya kegentlean cowok di takar dari menuruti kemauan cewek. Itu namanya banci, cowok kok tunduk sama cewek."
"Ya udah, kalo nggak mau!"
Telepon ditutup secara sepihak, Vean menatap ponsel seraya menyebutkan napasnya. "Lah, baper dia." Ia menggeleng takjub sebelum ekor matanya beralih menancap pada jendela di seberang sana yang memperlihatkan siluet seorang cewek.
Lengkungan bibirnya semakin terbentuk, tepat saat itu pula Vean kembali menutup jendela dan bergegas pergi ke rumah Rezel. Pada akhirnya, Vean akan selalu kalah, seolah semesta tidak pernah mengijinkan ia untuk menang berang sekali. Tak apa, Vean tidak mempermasalahkan itu, yang harus ia perhatikan dan pikirkan sekarang hanyalah kemarahan Rezel.
Jika semburan api sudah keluar dari kepala Rezel dan asap kembali mengepul lewat sepasang telinganya bak air radiator mobil yang terlampau panas, sudah bisa dipastikan bila Rezel akan susah di bujuk untuk menerima maaf Vean walaupun sebenarnya tindakan Vean hanya untuk main-main semata.
Untuk itu, sebelum Rezel belum terlalu marah besar, Vean memutuskan untuk pergi ke rumah cewek itu. Sebelumnya, ia akan mengembalikan ponsel ditangannya ini kepada Vigo terlebih dahulu.
Kurang dari lima menit bagi Vean untuk mendapatkan posisi berada di depan pintu bercat putih yang terdapat tulisan 'Rezel's room'. Sebelum melangkah masuk dan tangannya hendak mengetuk daun pintu, pergerakan Vean terhenti kala akses masuk untuk berjalan ke dalam sudah terbuka lebar karena Rezel telah membukanya terlebih dahulu.
Baik Vean maupun Rezel sama-sama terkejut, tetapi tidak berlangsung lama. Rezel memicingkan satu alisnya, "katanya nggak mau ke sini, bilang aja lo kangen sama gue." Rezel berbicara percaya diri seraya memainkan kuku jari tangannya.
Tidak mau ambil pusing, Vean pun memilih mengiyakan, "enggak salah, kan, kalo gue kangen sama lo?" Dengan gemas, Vean meremas pipi Rezel. Ia tidak peduli saat cewek itu mengomel panjang lebar sampai air mukanya menjadi merah.
"Ih jangan mainin pipi gue," ucap Rezel sebal. Ia menyentak tangan Vean, setelah itu bibirnya mencebik.
Vean terkekeh sebentar, "kalo elo? Kangen gue nggak?"
"Kangen banget, sini peyukan duyu!" Tanpa menunggu persetujuan dari Vean, Rezel sudah menghambur ke dalam pelukan cowok itu. Ia mengikat pinggang Vean begitu erat bak Teletubbies, Rezel sampai tidak sadar jika Vean sedang mencoba meraup oksigen disekitarnya karena paru-parunya telah kehabisan udara.
"Lo masuk dulu sana, gue mau bikin mi instan. Gue masakin lo juga kalo gitu."
"Hmm... Jangan lupa, seperti biasa."
Rezel menunjukkan simbol oke dengan jarinya, "di kasih kecap, kan?" tanyanya memastikan.
"Nggak usah nanya, elo udah tahu kali."
"Ya kali, siapa tahu, kan, berubah." Rezel terkekeh kecil sebelum akhirnya ia menuruni undakan tangga dan memelesat ke dapur.
Vean memeluk dirinya sendiri ketika ia sudah berdiri di kamar yang masih terlihat sama sejak dulu. Cat dinding berwarna pink dan banyak sekali foto artis K-Pop yang tertempel di sana. Tatapan Vean kemudian berpindah ke arah meja belajar Rezel, tangannya bergerak dan mengambil sebuah foto dirinya dan Rezel ketika masih kecil. Vean tidak ingat potret itu di ambil kapan dan di mana, namun yang pasti wajah Rezel kecil dengan pipi gembulnya masih terekam jelas di memori otaknya. Dan Vean akan selalu mengingat kenangan menyenangkan bersama sahabat kecilnya.
Bersamaan dengan itu, Rezel sudah muncul dengan nampan di tangannya yang diatasnya terdapat dua mangkuk berisi mi instan. Tidak lupa pula, botol kecap sudah ia sediakan untuk Vean.
"Lo nyuruh gue ke sini sebenarnya mau ngapain?" Baru dua detik Vean mendaratkan bokongnya di atas kasur, ia sudah melemparkan pertanyaan kepada Rezel.
Cewek itu menoleh, "temenin gue nonton Drakor, seperti biasa dong!"
Vean hanya memutar bola matanya dengan jengah, menit berikutnya ia habiskan untuk menemani Rezel menonton drama kesukaannya seraya menikmati mi instan yang sudah di buat. Vean sebenarnya tidak terlalu minat, sepanjang film di putar, fokusnya hanya kepada mangkuk dan wajah Rezel di sampingnya yang begitu fokus.
"Cantik, seperti biasa."
Gumaman Vean tak luput dari pendengaran Rezel, walaupun ia tengah fokus pada adegan drama yang ia tonton, namun tidak menutup kemungkinan bahwa suara Vean yang minim itu dapat ia tangkap. Rezel menoleh.
"Lo ngomong apa?" Rezel memastikan.
Sabit tercetak jelas di sudut bibir Vean, "Lo cantik."
Dua detik setelah itu, bola mata Vean mengerjap sebanyak dua kali, ia terbengong untuk beberapa saat setelah mendapat kecupan di pipinya dari Rezel. Cewek itu tersenyum manis, "Vean-ku juga ganteng."