16. Perempuan

2769 Words
Rengga POV. Tidurku akhirnya terusik dengan suara dering handphoneku. Aku tersenyum waktu melihat nama di layar handphoneku. Sang Dewi, jadi aku mengangkatnya. “Elo tidur apa latihan meninggal sih?” malah omelan yang aku dapatkan. Aku tertawa lalu merubah posisi tidurku jadi telentang di kasur kamarku. “Jam berapa Sin?” tanyaku mengabaikan omelannya. “Ini elo tau gue yang telpon, artinya elo gak jadi meninggal dong” jawabnya masih dengan nada sewot. Aku tertawa lagi lalu mencari tau sendiri jam dari jam dinding di kamarku. Jam 10 pagi, artinya aku tidak masuk sekolah lagi setelah kemarin aku juga tidak masuk sekolah karena cape seusai LDKS. “Elo masuk sekolah?” tanyaku lagi. Dia tertawa sarkas. “Mana mungkin, sementara gue gak tau elo masih hidup apa udah mati” jawabnya semakin sewot. Aku jadi terbahak. “Cie khawatir nih ye?” ejekku. Dia menggeram. “Jangan buat gue makin marah dengan elo ketawa trus. Elo pikir gak kesal apa telponin elo sampe bego sementara elo gak jawab telpon gue?, balas kek pesan gue?. Elo teman gue, mana mungkin gue gak khawatir, walaupun elo punya setengah lusin dayang dayang yang bisa urus mandi elo sekalian” omelnya lagi galak. Justru aku terbahak lagi. “Reng…gue ke rumah elo ya sekarang, siap siap aja lo pakai rompi anti peluru supaya gak mati kalo gue tembak elo” ancamnya bercampur geraman dan penekanan suara. “Gak mau ah, tembak gue aja deh, pasti gue terima kok” jawabku menggodanya. Bukan jawaban yang aku terima tapi malah diam. Pasti dia sedang merona atau malu malu?. “Sin…” desisku mencari tau. Terdengar helaan nafasnya. “Queen masuk rumah sakit, Karin bilang sama gue. Itu kenapa gue pikir elo juga sakit. Elo kemarin di Cibubur hampir gak tidur dua hari” katanya melemah. Jadi kasihan dengarnya. “Gue gak selemah Bule, gue baik baik aja, hanya jadi butuh tidur lebih lama. Hibernasi Sin, buat ganti energy yang sebelumnya terkuras. Gue bersih, gak pakai Shabu, jadi gitu deh” jelasku. “Ogah amat dekat elo yang junkie, awas aja” jawabnya mengancam. Aku tertawa pelan. “Lalu mau elo gimana?, nengok Queen?” tanyaku. “Nunggu Karin deh kasih info di mana Queen di rawat” jawabnya. “Okey, udah telat banget juga untuk ke sekolah” kataku. “Gara gara elo nih, gue jadi bolos dua hari” omelnya kemudian sewot lagi. “Yaelah, gak usah ngambek apa” kataku berusaha merayu. “Bodo!!, elo sih bikin gue kesel” jawabnya merajuk beneran. Aku menghela nafas. “What should I do, so you don’t get upset anymore?” tanyaku. Gantian dia menghela nafas. “No need” jawabnya malas. “Hei…gue serius, bilang aja gue mesti apa supaya elo gak kesel lagi?” tanyaku mengejar. “Gak tau, jadi gabut gini” jawabnya. “Ganti acara nonton kita yang waktu itu batal gimana?, sambil makan siang” ajakku memberanikan diri lagi. “Ini serius?” tanyanya. “Serius. Gue juga gabut, bingung juga mau ngapain” jawabku. “Okey” jawabnya. “Ini serius?” tanyaku kaget. Dia berdecak. “Jangan niru gue apa Reng” protesnya. Aku tertawa. “Tunggu gue di….” Dia menyebutkan nama sebuah mall dekat rumahnya dan restoran fast food tempat aku harus menunggunya. “Gak gue jemput aja?” tanyaku. “GAK!!, gue gak mau anggap elo teman kencan gue, setelah elo bikin gue kesal. Tunggu gue di situ, kalo elo gak mau, ya gak usah jadi” jawabnya galak lagi. Aku tertawa. “Okey…dengan senang hati gue nunggu elo jam berapa pun elo datang. Semoga elo gak balas dendam dengan biarin gue di lalarin ternyata elo gak datang” gurauku. “Serah gue, bye!!” jawabnya lalu menutup telpon. Aku tertawa lagi lalu bergerak ke kamar mandi. Dia tidak bilang jam berapa dia akan datang di tempat janjian kami, aku anggap dia berusaha membalasku karena membiarkan dia khawatir dengan tidak menjawab telpon darinya. Tapi ternyata tidak butuh waktu lama untuk menunggu Sinta datang. Gak tau ya, walaupun suasana restoran fast food yang aku datangi cukup ramai, aku bisa merasakan kehadiran Sinta yang mendekat ke arahku dengan senyumannya. Dia cantik sekali dengan skinny jeans ketat dan kaos ketat, juga sepasang sepatu kets. Jauh dari gambaran sosok bidadari tapi di mataku seperti dia berjalan mendekat dengan gaun putih panjang khas bidadari dalam dongeng lengkap dengan sepasang sayap di punggungnya. Hanya bagian dia menggerai rambut panjangnya yang sama seperti gambaran bidadari dalam dongeng. “Hai!!” sapanya dan membuatku terbius dengan wangi lembut yang menguar dari tubuhnya. “Hai” jawabku lalu mengembalikan kesadaranku dari halusinasiku yang berlebihan. “Lama gak nunggunya?, gue agak bingung mesti pakai baju apa” jawabnya lalu menarik kursi di depanku. Aku tertawa. “Kenapa gak pakai baju loreng punya papi elo?” ejekku. Dia tertawa. “Laper Reng” rengeknya. “Mau makan apa?” tanyaku bangkit berdiri. “Hm…burger boleh sama cola” jawabnya. “Okey, tunggu sini” jawabku. “Makasih” jawabnya tersenyum menatapku. Aku mengangguk lalu berlalu untuk membelikan apa yang dia mau. Aku hanya menambah minumanku, karena sudah makan duluan sambil menunggunya datang. “Kenapa?” tanyaku melihatnya cemberut menatap burger yang aku belikan. “Gak apa, lupa bilang kalo gak suka pakai selada” jawabnya. “Gue ganti ya?” tanyaku tak enak. “Eh gak usah, bisa di buang, tapi lain kali kalo beliin gue burger, jangan lupa jangan pakai selada sama tomat” jawabnya. Aku mengangguk lalu duduk di bangkuku lagi mengawasinya makan. Seanggun itu cara Sinta makan. Suka aja melihatnya mengunyah roti burger pelan pelan lalu menelannya pelan juga. Belum kalo dia menggunakan lidahnya untuk mengusap bagian bibirnya yang kena saus atau mayones. Astaga.. “Kenapa Reng?” tanyanya menjedaku karena sadar di awasi. “Gak” jawabku lalu meminum minumanku dan melengos menghindari tatapannya. Dia tertawa pelan. “Baru tau gue, elo suka lihat gue makan” jawabnya. Gantian aku tertawa. “Elo gak makan?” tanyanya. “Udah duluan sambil tunggu elo datang” jawabku. Dia mengangguk lalu jari lentiknya menyentuh sedotan minuman bagiannya. Semua tidak luput dari pengawasanku. Mamaku bilang, jari perempuan itu bisa menunjukan karakter perempuan juga. Aku jadi setuju, lewat jari tangannya yang panjang dan lentik, seperti menggambarkan karakter Sinta yang sebenarnya lembut, walaupun dia sesekali terlihat gahar. “So…jadi nontonnya?” tanyanya setelah melap mulutnya dengan tissue. “Habisin dulu makan elo Sin” kataku. Dia menggeleng. “Males habisin, gue kok risih ya makan di awasin elo?. Elo lagi kenapa sih?” tanyanya. “Kangen” cetusku tanpa sadar. Dia terbelalak lalu wajahnya merona. Aduh, salah Reng. “Becanda, jangan baper dulu” ralatku bohong lalu bangkit berdiri menghindari wajahnya yang cemberut. “Dih gue gak baper sih, elo doang” sanggahnya ikutan bangkit sambil membawa gelas minumannya. Aku tertawa, rasanya kami sama sama tau kalo sama sama berdusta. “Mau nonton apa?” tanyaku menjajari langkahnya setelah keluar restoran. “LIhat dulu deh” jawabnya. Lalu kami diam dalam kecanggungan yang terasa sekali. Tidak ada celoteh riangnya, apa dia segrogi aku ya?. “Kenapa jadi aneh gini sih?, elo sih Reng” keluhnya sebelum kami masuk bioskop. “Kok gue?” tanyaku tertawa. “Ya elo sih ngajaknya nonton. Nonton itu biasanya ajakan cowok yang lagi PDKT sama cewek” keluhnya lalu melengos. Aku tertawa lagi. “Baperan lo!!, kalo mau gue pegang tangan elo tinggal bilang” jawabku lalu menarik tangannya dan aku genggam masuk area bioskop. Aku lihat wajahnya yang merona lagi dan dia tertawa. Setelah itu tidak ada rasa canggung lagi. Salah kayanya aku pegang tangannya, karena setelah dia membuang gelas minuman yang dari tadi dia minum, dia ganti merangkul lenganku, lalu mengajakku menatap poster poster film yang akan tayang atau masih lama tayang. Layaknya orang kencan. Aku mau melepaskan diri karena debar jantungku yang menggila, aku takut merusak suasana yang sebenarnya aku harapkan sekali terjadi. “Reng…jadinya nonton apa?, dari tadi elo diam terus?” rengeknya jadi bersandar di bahuku. Aku menghela nafas. “Gue deg degan Sin” keluhku jujur. Dia menoleh menatapku setelah mengangkat kepalanya dari bahuku. “Kok bisa?” tanyanya. Aku mengusap tengkukku yang meremang karena rangkulan tangannya di lenganku yang lain berubah menjadi genggaman tangan. “Ini nyata gak sih?” tanyaku sambil mengangkat genggaman tangan kami. Dia tertawa. “Apa karena elo anggap gue sang Dewi terus semua jadi gak terasa nyata buat elo?” tanyanya. Aku menghela nafas. “Mungkin kali ya?” jawabku tak yakin. Dia tertawa pelan. “Jangan baper, gue lagi transfer warna putih gue ke tangan elo yang hitam. Kalo nyata sih, tetap gak kelihatan, tangan gue tetap putih dan tangan elo tetap hitam” jawabnya ganti mengangkat genggaman tangan kami. Aku tertawa. “Tapi lihatnya dengan cara kasat mata. Coba elo rasain” pintanya lalu berbalik sampai kami berhadapan dan dia menyentuh dadaku yang tangannya yang bebas. “Apa?” tanyaku jadi takut dia dengar debaran jantungku. “Elo masih ngerasa sepi gak?, gue lagi berusaha terangin hati elo yang gelap dengan cahaya putih gue. Gue gak perduli tangan gue yang pegang tangan elo berubah dingin, soalnya hati gue sendiri menghangat” jawabnya plus senyuman lembutnya. Aku terbahak menutupi grogiku. “Curang elo sih, kalo elo aja boleh pakai kata kata puitis, kalo gue yang begitu, elo malah ngakak. Males ah Reng, nyebelin elo sih” omelnya lalu berusaha melepaskan genggaman tangan kami. “Yaelah” cegahku bertahan menggegam tangannya. Dia cemberut menatapku. “Cuma belum terbiasa, elo mendadak puitis, kan elo tetap perawan pak Jendral walaupun gue anggap elo sang Dewi” sanggahku. “Emang elo gak suka?” tanyanya. “Suka, pake banget” jawabku. “Reng…” rengeknya manja. Aku tertawa lagi lalu menarik tangannya untuk mengantri tiket. Lama lama bisa aku cium kalo terus buat aku deg deg an. “Kita nonton apa pun yang akan tayang duluan, biar gak lama nunggu jawabku setelah masuk antrian. Sinta tertawa lalu mundur untuk berdiri di belakangku. “Hei berdirinya depan gue dong” protesku. “Gak mau tar elo modus lihat b****g gue” tolaknya. Aku tertawa lalu membiarkan dia berdiri di belakangku setelah memastikan kalo yang berdiri di belakangnya juga perempuan. Bukan apa, nanti kalo di belakang dia lelaki, malah baku hantam trus gak jadi nonton. Dan itu bukan pilihan bijaksana, karena dia malah memeluk pinggangku dari belakang lalu menaruh wajahnya di bahuku. Astaga…berat amat cobaan dekat bidadari. “Lama banget ya antriannya, pegal” keluhnya dan membuat tengkukku meremang karena desau nafas yang keluar dari hidung atau mulutnya saat dia bicara. “Sana duduk!! tunggu gue selesai antri tiket” kataku. “Gak mau, males sendirian” tolaknya. Aku menghela nafas. “Ya udah sabar” jawabku lalu mengusap tangannya yang terjalin dan memeluk pinggangku. “Cie…Rengga modus…” ejeknya saat aku menoleh. Aku tertawa. “Cipok nih!!” ancamku bergurau. “Nih!!” tantangnya lalu mengerucutkan bibirnya yang basah. Aku tertawa lalu menarik tangannya agar dia berdiri di depanku. “Bahaya kalo elo berdiri di belakang, cewek itu gak bisa di sebut modus walaupun sembarangan peluk peluk bujang. Bisa aja karena dia manja, tapi karena gue taunya elo bukan tipe cewek manja, jadi gue angap elo lagi uji iman gue, supaya sentuh sang Dewi” jawabku saat dia tertawa karena kelakuanku. Malah ngakak nih anak Jendral. “Rasakan!!” bisiknya saat menoleh lagi. Tentu aku tidak berani melakukan hal sama dengan gantian memeluk pinggangnya yang ramping. Aku tidak punya keberanian untuk itu. Aku hanya berani menyentuh bahunya kalo kami harus maju mengikuti antrian lalu tanganku bebas lagi. Dia juga diam sambil mengawasi sekitar sampai kami tiba di loket. “Film yang sekarang tayang mba, dua!!” katanya pada si mba. Mbanya mengangguk dan aku mengambil dompetku untuk bayar tiket kami. “Duduknya dimana?” tanya si mba setelah aku selesai bayar. Aku menatap Sinta yang terpaku menatap layar susunan bangku teater. “Ini mba paling pojok dekat jalan” pintanya menunjuk. Mbanya mengkonfirmasi. “Jangan kecewa karena gue gak minat duduk di bangku pojok dekat tembok, kita gak bukan pasangan pacaran” katanya sambil menyerahkan tiket yang di pegang. Aku tertawa menanggapi. “Mau beli makanan atau minuman gak?” tanyaku menjeda langkahnya. “Kenyang, nanti aja deh” tolaknya. Aku mengangguk. “Sin!!” Kami berdua menoleh dan menemukan lelaki keceh yang cengar cengir menatap Sinta. “NGAPAIN LO??” tanya Sinta galak setelah menarik tanganku supaya berdiri di sampingnya. Lelaki itu terbahak. “Galak amat” protesnya. Sinta menatapnya tak suka, dan aku hanya diam mengawasi. “Pacar elo?” tanyanya setelah menatapku. “Emang ngapa?” balas Sinta tetap galak dan bertahan menggenggam tanganku. Tuh laki terbahak lagi. “Gue Marco bro, mau aja lo buang waktu ngaon anak jendral” ejeknya mengulurkan tangan padaku. Aku tertawa lalu menyambut uluran tangannya setelah melepas genggaman tangan Sinta. “Rengga” jawabku. Pantas rasanya mukanya aku kenal, jadi ini si Marco. “Ngapain sih elo ganggu gue kencan?” omel SInta lagi. “Lah mau tau aja, benar gak akhirnya elo punya pacar. Elokan galak banget, sampai gue nyerah kejar elo” jawab Marco. Aku tertawa seperti Marco melihat Sinta memutar matanya. “Eh tapi kalo udah jinak, trus elo bosen sama nih anak jendral, kasih tau gue, secondnya jug ague mau” lanjut Marco yang tidak hanya membuat Sinta terbelalak, aku pun begitu. Memangnya Sinta apa, kok ya kurang ajar sekali mulutnya. “Maksud elo?” tanyaku tak suka. Sinta menoleh menatapku dan menahan dadaku saat aku berniat maju. “Jangan cari masalah sama gue, sekali banting, gue bisa kirim elo ke UGD” ancam Sinta berdiri di hadapanku. Marco tertawa menyebalkan. “Penasaran gue Sin, elo enak gak sih?” jawabnya. Aku langsung bergerak maju lagi dan tanganku sudah terkepal. “Hei…Yang…jangan emosi gitu ah!!” kata Sinta begitu berbalik dan menyentuh pipiku dengan kedua tangannya. Yang?, aku lebih kaget dengan sapaannya. Jadi aku diam saat dia berbalik lagi pada Marco. “Jalan gak lo?, sebelum tangan gue nyentuh kemeja seragam elo, trus gue bikin elo gak bisa bangun” ancam Sinta. Malah ngakak lagi si Marco sialan. “Ampun sista!!, cabut Bro, kabarin gue ya kalo elo udah bosen” pamitnya berlalu dengan santai setelah mengangkat tangannya ke atas. Aku menggeram tertahan. “Udah gue bilang jangan di ladenin, gue sampai panggil elo sayang loh” omel Sinta. Aku berdecak lalu menghela nafas kasar. “Gue malah berasa makin nothing karena elo begitu” jawabku lalu beranjak meninggalkannya. “Hei!!, Rengga sayang…” jedanya mencekal tanganku. Aku jadi berbalik menatapnya. “Kali ini gue biarin tuh laki yang elo sebut teman, lecehin elo dengan kata katanya yang sampah!!. Tapi lain kali jangan elo tahan gue cuma karena elo takut gue babak belur karena bela kehormatan elo. DENGAR GAK!!!” jawabku kesal. Sinta tertawa setelah dia meringis. “Galaknya…” ejeknya. Aku berdecak lalu ganti menarik tangannya menjauh dari lelaki yang sudah berhasil membangkitkan amarahku. Gila kali tuh laki, gak lihat apa, kalo Sinta gak pantas di lecehkan walaupun hanya dengan kata kata?. Aku tidak perduli siapa dia, sekalipun dia terlihat merangkul gadis yang lebih cantik dari Sinta sekalipun di kejauhan jarak pandangku. “Reng…” rengek Sinta lagi sebelum kami mendekat di pintu masuk teater. Aku berbalik menatapnya lagi. “Gue gak main main waktu mutusin elo itu wujud nyata dari sang Dewi. Gak akan gue biarin siapa pun merusak keputihan diri elo, walaupun hanya dengan kata kata. Gue mungkin gak punya kekuatan tarung tapi gue gak pernah biarin sesuatu terjadi sama elo, apalagi di depan mata gue” kataku. Sinta mengerjabkan matanya. “Kalo elo gak suka, lepas aja tangan gue. Tapi gue gak akan pernah biarin elo menjauh dari jarak pandang gue, walaupun elo memilih menjauh dan melepas gue” lanjutku. Perlahan wajahnya tersenyum menatapku. “Makasih…” desisnya. Aku menghela nafas lalu menarik tangannya masuk teater. Jadi rusak acara nonton kami, aku terlalu marah, jadi aku diam walaupun dalam bioskop Sinta bersandar di bahuku dan merangkul lenganku. Hai…pujangga. Perempuan itu racun dunia. Perempuan juga yang mampu merubah banyak sejarah dan menciptakan perang. Hari ini aku buktikan kebenaran kata kata itu. Di balik lemahmu, ternyata tersimpan kekuatan besar, untuk menghancurkan dunia, dengan aku sebagai pemicunya. Aku tidak mungkin membiarkan kamu menghancurkan dirimu. Untuk itu tenanglah, karena aku tidak akan pernah melepas genggaman tangan kita. Aku menghela nafas kasar lalu menjalankan mobilku lagi, setelah Sinta masuk rumah, dan meninggalkan kata kata itu sebelum mencium pipiku. Racun dunia?, yang benar aja perawan jendral, perempuan itu anugrah untuk seluruh isi dunia, karena hanya lewat perempuan, Tuhan menciptakan manusia. Dan di tangan seorang perempuan semua sendi kehidupan di mulai dan berjalan setiap harinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD