Jangankan Haris, Fariz dan Dania juga terlihat kebingungan. Tatapan mereka terus tertuju padaku, namun anehnya aku malah senang melihat mereka kebingungan. Mungkin inilah yang dinamakan pembalasan perasaan atas apa yang sudah mereka lakukan padaku seperti di malam ulang tahun kemarin. Malam itu kepalaku penuh dengan kebingungan dan teka-teki kenapa malah Dania yang dilamar oleh Fariz, bukan diriku yang sebagai pacarnya. Iya, aku merasa seperti telah melakukan pembalasan.
"Coba katakan sekali lagi. Sepertinya aku salah dengar." Ujar Fariz.
"Kenal--"
"Perkenalkan, aku Haris, pacarnya Delisa. Senang berkenalan denganmu, calon adik ipar." Haris menyelaku dan lebih dulu memperkenalkan dirinya. Sepertinya dia sudah menangkap maksudku, memperbolehkanku menganggapnya sebagai seorang pacar. Aku tahu pasti setelah ini akan terjadi pembicaraan yang cukup panjang antar kami berdua. Tidak masalah, yang salah adalah aku karena menyeretnya dalam kasus ini.
Bukannya malah menerima jabatan tangan dari Haris, malah Fariz menepisnya. Aku tidak suka dia menjadi orang yang kasar seperti itu. Beruntungnya Haris tidak terpengaruh sedikitpun, ia malah semakin menjadi-jadi dengan memperkenalkan dirinya pada Dania. "Dania, kamu sudah kenal aku, kan?"
Dania mengangguk. "Aku tahu kamu, Haris. Senang melihatmu lagi setelah lama tidak bertemu.". Tapi, ia masih tampak kebingungan, menatapku dan haris bergantian. "Kalian beneran pacaran?" Tanyanya.
"Iya, dek. Kakak pacaran dengan Haris. Memangnya kenapa, dek?" Tanyaku, cukup membuatku penasaran alasan kenapa dia malah menanyakan itu, alih-alih memberikan kata semangat untuk kami berdua karena sudah berhasil menjadi pasangan. Aku menampilkan wajah penuh senyuman seakan-akan tidak terjadi masalah apapun.
"T-Tapi kan..."
"Tapi apa, dek?" Tanyaku agak memaksa. Aku bangun dari kursi, mendekati Dania. Hampir saja aku jatuh kembali karena kaki ku yang masih belum siap, mungkin karena terpeleset tadi. Tapi beruntungnya lagi Haris membantu. Ia seperti pahlawanku dalam melawan dua orang yang sudah menyakitiku dengan tega ini. "Terimakasih, Haris." Ujarku pelan padanya, dibalas dengan anggukan dan senyuman manis yang entah mengapa membuatku menjadi hangat.
Aku kembali menatap Dania. Dan lagi-lagi, seperti ada Delisa versi baru dalam diriku. Aku seperti ingin terus melawan. Rasa tidak terima itu masih ada dan melekat dalam diriku. "Tapi karena aku yang beberapa hari masih menjadi pacarnya Fariz, kan, dek?"
Dan sayangnya Dania malah mengangguk. Please, Dania, kamu terlalu polos, tapi kamu juga sudah jahat sama aku. Kamu egois. Hanya karena sebuah penyakit yang penawarnya adalah pola pikirnya sendiri, malah berpikir kalau satu-satunya jalan keluar adalah dengan merebut pacarku, bahkan menjadikannya sebagai suami. Semua keluarga mengobati luka Dania, tapi mereka tidak sadar kalau ternyata mereka menciptakan penyakit baru untuk aku, Delisa. Miris sekali.
Aku tertawa tipis. "Bagaimana mungkin kamu punya pikiran seperti itu, dek? Kamu sadar gak kalau pria yang aku akui sebagai pacar beberapa hari yang lalui sudah kamu rebut. Dan hari ini, resmi secara agama dan negara menjadi milikmu, suamimu. Maka dengan jelas kalau aku dengannya sudah tidak punya hubungan lagi selain hubungan ipar. Jadi, kalau aku memiliki hubungan lagi dengan pria lain, tidak menjadi masalah bagimu ataupun Fariz, kan?"
"Kalau sejak awal tujuan kalian menikah untuk menyembuhkan luka, maka jangan menciptakan luka baru untukku lagi. Ini sangat sakit dan kalian malah tertawa atas itu." Gumamku, menunduk sedih.
"Sekarang aku malah berpikir kalau ada hal lain yang kalian sembunyikan dariku."
Hening. Dania yang menunduk, Fariz pun juga begitu. Dasar pria pengecut. Semakin aku melihatnya, semakin aku membencinya. Namun sayang, aku malah semakin terjebak dengannya dalam sebuah hubungan kekeluargaan.
Tanpa sengaja tatapanku bertemu dengan Haris. Lagi-lagi aku menemukan pria itu yang terus tersenyum padaku. Membuatku penasaran, apakah ada sesuatu yang lucu pada diriku sampai-sampai senyumnya tidak surut sedikitpun?. Dia membuatku kebingungan, sekaligus menguatkanku dengan keberadaannya yang selalu mendukungku.
"Delisa, istirahat yuk. Kamu pasti lelah." Kata Haris yang entah mengapa terdengar lembut ditelinga ku. Membalasnya dengan senyuman yang manis, mungkin bisa membalas apa yang sudah ia berikan padaku. "Iya, Kita istirahat. Kita ke kamar ku saja. Gak enak mengobrol di luar, banyak yang gak suka dengan kehadiranku dan aku takut itu membuatmu tidak nyaman. Kamu pacarku, dan sudah sepantasnya aku memberikan kenyamanan untukmu. Tapi cukup disayangkan, banyak orang yang tidak pernah menganggap ku selama ini. Aku harap kamu bukan salah satunya, Haris."
Aku sengaja menekan kalau Haris adalah pacarku, pula dibagian kalau tidak ada yang menganggap ku dengan layak. Aku sengaja menyinggung mereka. Murni karena aku sengaja, murni karena hatiku sakit atas perlakuan mereka. Aku tahu aku jahat pada mereka, tapi setelah ini aku juga akan menyesal. Aku akan menyalahkan diriku sendiri dan itu lah kelemahan ku, menyalahkan diri sendiri untuk hal yang tidak seharusnya aku tanggung.
Terkadang aku berpikir, lelah menjadi Delisa. Andai suatu hari nanti diberikan kesempatan untuk hidup kembali, maka aku akan memilih untuk hidup sebagai Dania yang penuh dengan kasih sayang keluarga dan orang lain. Ingin rasanya setiap permintaan akan dikabulkan detik itu juga tanpa ada penawaran sedikitpun. AKU SANGAT INGIN MENJADI DANIA, dengan catatan aku tidak mau merebut pacar saudariku sendiri hanya untuk menyenangkan hatiku, sedangkan hati orang lain aku sakiti. Aku tidak mau.
"Oke. Kita ke kamarmu. Tapi bukankah kamu sekamar dengan Dania?"
Pernyataan itu nyatanya membuatny tertawa keras. Aku melihat raut wajah Dania yang tampak kesal, sedangkan Fariz sudah memasang wajah dinginnya. Aku tahu, saat dia sudah seperti itu, pertanda kalau dia tidak nyaman dengan kondisi ini. Lama berpacaran dengannya membuatku paham betul setiap apa yang ia lakukan. Tetap, aku tidak akan peduli.
"Kamu lupa?. Tepat hari ini adalah pernikahan Dania dengan MANTAN PACARKU. Itu artinya dia sudah tidak sekamar lagi denganku. Dia sudah menjadi seorang istri, akan tidur di samping suami tercintanya." Jawabku. Kemudian aku melanjutkan dengan nada yang sangat pelan, dengan tatapan yang terhunus tajam kepada adik yang selama ini aku pikir selalu mendukungku. "kecuali dia tidak merebut pacarku, maka dia tetap menjadi adik kesayanganku."
Kembali hening.
"Maaf, sepertinya aku terlalu keterlaluan. Seperti biasa, kamu bisa laporkan aku, dek. Tapi katakan pada mama untuk menghukumku nanti saja karena ada pacarku di sini. Malu kalau sampai dia tahu bagaimana jahatnya keluarga kita."
Setelah mengatakan itu, aku menarik lengan Haris untuk mengikutiku. Ketika berbalik, aku melihat mama yang ternyata juga menontonku. Aku tidak tahu dia melihatku sampai mana, tapi yang pasti aku tidak perduli. I don't f*cking care!.
***
Sampai di dalam kamar, rasanya seperti ada sesuatu yang keluar dari dalam diriku. Aku ingin menyalahkan diriku sendiri, menyakiti diriku atas apa yang aku lakukan tadi. Da*daku terasa sesak, keringat dingin dan lutut ku terasa lemas. Tanganku masih berpegangan kuat di lengan Haris.
"Kamu tidak kenapa-napa kan, Delisa?" tanyanya.
"Tidak. Aku biasa seperti ini. Kamu tenang saja. Dan untuk masalah tadi tentang aku yang mengakuimu sebagai pacarmu, maafkan aku. Kita lupakan saja. Aku hanya terpancing emosi saja tadi." Kata ku.
"Tidak perlu melupa. Kamu bisa katakan pada siapapun kalau kita pacaran. Aku tidak mempersalahkannya."
Ucapan Haris yang demikian membuatku berpikir, "Dia pria yang baik, sedangkan aku tidak pantas untuk itu. Maafkan aku yang telah menyeret banyak orang atas ketidakpantasan diriku."