Definisi luka yang teriris, semakin teriris dan dibasuh dengan air garam sehingga menciptakan luka yang begitu terasa perih. Itu lah keadaan hatiku sekarang ini.
Bagaimana tidak? Bisa-bisanya mama memintaku, bahkan terkesan memaksa ku untuk ikut dengan kedua pengantin baru ini. Dengan dalih menemani Dania alias kembaran untuk terakhir kalinya.
Jujur saja, alasan yang diberikan mama adalah alasan terburuk dan sangat tidak masuk akan yang selama ini aku dengar dari kebanyakan orang.
Menolak pun tidak bisa. Yang bisa aku lakukan hanyalah mengiyakan, menuruti, dan diam serta merasakan setiap detik kesakitan yang mereka ciptakan tanpa terhenti.
Seperti sekarang, aku sendirian di kursi penumpang, menonton kemesraan dari pasangan yang baru saja resmi jadi suami-istri itu. Seharusnya, aku lah yang ada di samping pria itu. Dengan tangan yang saling menggenggam mesra, tidak ingin lepas.
Astaga, melihatnya hanya akan membuatku marah saja.
"Kak Lisa, maaf ya kak. Ini karena Dania yang meminta supaya mama menyuruh kakak ikut. Dania masih belum siap pindah dengan kakak." Katanya, terkesan manis dan polos.
Dalam hati, aku ingin membalas Dania kalau dia tidak perlu akting seakan-akan dia lah yang paling baik dan polos. Memang benar kata orang, kalau tidak ada api, mana mungkin ada asap.
Diam-diam adik kembar ku sendiri lah yang menjadi apinya, membiarkan mama dan keluarga menjadi asap yang siap menyerangku dalam segala kondisi, terlepas itu aku benar atau tidaknya.
Hanya senyum, si tameng kekalutan dan kesakitanku. "Iya, tidak apa dek. Toh cuman satu malam saja, kan? Nanti aku tidur di depan televisi, seperti biasa. Atau nanti aku juga sambilan nelponan dengan pacarku biar tidak menganggu waktu berdua kalian. Kalian tenang saja, nikmati malam pertama kalian yang sangat indah!"
Sengaja menekan kata 'pacar', berhasil membuat Fariz menatap ke arah belakang dari cermin yang di atas kepalanya.
Aku sangat tidak mempedulikannya. Yang penting bagiku hanya satu, aku ingin malam ini berlalu dengan cepat dan aku dijemput untuk kembali pulang, ke tempatku yang selalu membanding-bandingkan aku.
"Nanti kamu tidur di kamar tamu aja, jangan di depan televisi. Kamu bukan orang yang tahan dingin!" Kata Fariz.
Ingin sekali rasanya tertawa terbahak-bahak. Bisa-bisanya dia mencoba peduli di depan istri tercintanya yang begitu polos. Bukannya dia tidak mencintaiku, lalu untuk apa peduli?
Menjadi seorang mantan, tidak membuatnya bisa membenarkan rasa pedulinya. Terlebih, ada istrinya di sampingnya.
Lelucon yang bagus!
"Apa aku perlu menelpon Haris juga ya biar kita terkesan sama-sama pasangan? Dia juga bisa menghangati aku yang tidak tahan kedinginan." Ujarku, mengambil ponselku yang tadi aku taruh di samping, tidak berniat untuk memainkannya.
Ini hanya drama yang aku ciptakan. Mana mungkin aku benar-benar meminta Haris untuk datang, status kami berdua hanyalah pura-pura.
"Halo, Haris?"
Aku benar-benar memulai drama yang aku ciptakan sendiri. Aku tidak menghubungi Haris, itu adalah akal-akalan ku saja.
Entah mengapa, aku selalu ingin membalas mereka, tapi tidak mau membuat mereka tersakiti.
"Iya. Ini aku lagi di perjalanan ke tempat pangantin baru kita. Aku disuruh mama untuk bermalam di rumah mereka. Hmm... Kalau kamu ada waktu, bisa lah ke rumahnya. Toh rumah itu adalah rumah adik ipar ku, tidak mungkin menolak permintaan kakak iparnya."
"Bukankah begitu, Fariz?" Tanyaku.
Fariz tidak menjawab.
Aku tidak menyangka dia bakal seperti itu. Biasanya, dia tidak akan mengabaikan pertanyaanku. Entah, semuanya seakan banyak berubah. Apa yang awalnya indah dan berakhir dengan rasa terbiasa, setelah berpisah malah akan terasa aneh. Bahkan gejolak untuk saling memperhatikan itu masih ada.
Atau selama ini hanya aku yang menginginkannya? Astaga, bodoh sekali aku!.
"Tuh, Fariz saja mengangguk. Itu artinya dia setuju kamu datang ke rumahnya. Datanglah dan temani aku menunggu malam pertama mereka atas dasar permintaan mama."
Wajah Fariz tampak dongkol.
Hei! Tidak hanya kamu saja yang dongkol atau kecewa, Fariz, tapi lebih dari itu yang selama ini aku rasakan.
"Iya, kamu datang saja. Aku lah yang akan membukakan pintu untukmu. Tenang saja." Kata ku
Aku tidak berbicara dengan siapapun. Benar-benar ini adalah kebohongan yang berhasil membuat si pria kesal dari tatapannya.
"Oke, see you, sayang! Muaaahhh!"
Aku mengakhirinya. Sedikit dari itu, aku menyesal telah berbohong.
"Kakak terlihat dekat sekali dengannya. Baru sekali bertemu sudah jadi pacar, bahkan saling sayang-sayangan dengan mesranya." Ujar Dania.
Jangan bilang kalau Dania juga penasaran dengan hal ini? Setelah mendengar percakapan palsuku dengan Haris. Inilah yang dinamakan sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui.
"Ah, iya, dek. Kan adek tahu kalau Haris itu pria yang baik. Sebenarnya, jujur saja kalau ini bukanlah pertemuan pertama aku dengannya setelah sekian lama tidak bertemu. Sebenarnya, aku sudah sering bertemu dengannya secara diam-diam, sebelum Fariz melamarmu di malam ulang tahun kita. Bahkan di malam ulang tahun kita itu, aku juga menemuinya. Dia memberiku hadiah yang sangat istimewa." Kata ku.
Ingat ini, itu semua bohong. Yang aku katakan saat di mobil ini, sepenuhnya dan semuanya adalah kebohongan.
Aku lihat, Fariz sudah ketar-ketir. Dia tidak fokus menyetir, terbukti dengan mobil belakang yang membunyikan klaksonnya kuat-kuat. Namun tatapannya selalu padaku, seperti tatapan yang memendam amarah.
"Bahkan Haris bilang kalau tidak lama lagi, dia akan melamarku. Menikahiku. Dan ya, kita akan sama-sama punya keluarga kecil bahagia, dek. Maka sangat tidak menyesal bagi Fariz ketika memutuskan hubungannya denganku. Dia memutuskan kakaknya dan menikahi adiknya." Ujarku.
"Katakan sekali lagi." Suara berat Fariz yang terdengar tertahankan.
"Katakan sekali lagi rencana Haris denganmu, Delisa."
Umpan berhasil dimakan!
Dengan penuh bangga dan senyuman yang lebar, aku kembali berbohong. "Haris akan melamarku dan menikah denganku segera." Kata ku cukup lantang
***
Sudah sampai di rumah Fariz. Benar-benar Fariz telah menyakitiku terlalu dalam selama ini. Bahkan rumah yang menjadi tempatnya pulang adalah rumah pilihanku saat masih pacaran dengannya, hingga designnya pun sesuai dengan design impian yang sudah aku ceritakan padanya.
Aku yang lelah memikirkan konsep tiap malam hingga rumah ini jadi, tapi yang menikmati segalanya adalah perempuan lain.
Sudahlah. Memikirkan masa lalu sama saja dengan cari penyakit hati!.
Terlihat Dania yang tampak bersemangat masuk ke dalam rumah yang sempat menjadi impianku itu. Aku duduk-duduk di luar sembari main ayunan yang mana aku lah yang memaksa Fariz untuk membeli benda itu.
Melihat langit malam yang sepertinya searah dengan pikiran dan hatiku. Kacau dengan mendung.
"Tidak ada bintang malam ini. Ada apa gerangan, langit? Lelah ya? Aku pun." Gumamku, menghela nafas kasar.
"Langit itu akan kembali bersinar kalau kamu tidak berharap pada Haris, Delisa. Dia bukan pria yang baik untukmu "
Cukup membuatku terkejut oleh suara Faris yang mendekatiku. Dia hendak duduk di sampingku, langsung aku cegah. "Jangan, nanti Dania salah paham. Dan kamu tahu bagaimana dia kalau sudah seperti itu. Lebih baik kamu masuk saja, aku mau menunggu Haris di sini." Ucapku.
"Delisa, jangan percaya pada Haris. Dia bukan pria yang pantas untukmu."
Kata-kata Fariz yang demikian membuatku tertawa. Ini bukan tawa karena lucu, tapi keanehan akibat sikap Fariz yang kembali berubah. "Terus aku harus percaya kamu? Yang udah mengkhianati aku sebegitu besarnya?"
Fariz terdiam.
"Tidak, Fariz. Aku tidak percaya lagi denganmu."
"Buktinya dengan rumah yang sempat menjadi impianku ini, bahkan impian kita berdua. Akan tetapi malah dinikmati oleh perempuan lain. Semakin membuatku tersadar kalau aku sudah kecewa dan tidak percaya lagi denganmu, adik ipar!"