"Sah!"
Seruan itu anehnya menjadi suara yang begitu aku benci. Aku hanya bisa duduk menyaksikan semua pengkhianatan ini. Menangis pun tidak ada artinya, percuma!
Aku memohon pada mama dan papa, belum tentu mereka mau membatalkan pernikahan Dania dengan Fariz. Buktinya sekarang, resminya pernikahan mereka tepat di depan mata setelah sebelumnya aku bermohon-mohon layaknya bukan seorang putri mereka.
Ingat sekali waktu itu. Aku baru pulang ke rumah setelah mencoba untuk menerima kenyataan pahit yang aku terima di malam ulang tahunku dengan Dania. Di ruang tengah, aku melihat mereka berkumpul dan tertawa lepas seakan-akan kepergianku dari tempat itu sangatlah tidak berarti. Perlahan, aku mendekati mereka. Aku pikir akan ada yang menyadari kehadiranku, nyatanya tidak ada sampai aku sendiri yang sengaja berseru, merusak momen indah kebersamaan mereka tanpa ada diriku.
Aku memohon pada mama dan papa agar mencabut perintahnya kepada Fariz untuk melamar Dania. Dan jawabannya tetap sama, pernikahan mereka harus dilakukan secepatnya. Bahkan dengan jelas aku mendengar kalau papa takut aku hadir di acara itu atau nanti merusak momen adik kembar ku sendiri. Sangat miris mengetahui mereka punya pemikiran yang demikian.
Ah iya, aku baru ingat kalau ini bukan pertama kalinya.
Di hari-hari pertunangan Dania dan Fariz pun sebenarnya mama mengunciku di kamar. Aku tahu itu, tapi tak bisa mengelak. Sebegitu kah aku di mata mereka? Takut merusak kebahagiaan kembaranku sendiri? Aku juga tahu batasan.
Namun kini, di acara pernikahan mereka, aku menjadi satu dari sekian saksi pengucapan janji suci itu. Aku sengaja duduk di bagian paling belakang agar tidak terlalu mendengarnya, tapi nyatanya janji suci itu terdengar dengan sangat jelas oleh telingaku. Percuma aku datang kalau hanya untuk mengambil kecewanya saja. Aku lebih baik dikunci dikamar seharian daripada mendengarnya mengatakan itu dengan menyebut nama Dania, bukan aku—Delisa.
"Lisa!"
Aku mendongak, memastikan siapa yang memanggilku. Ternyata mama, dia menyuruhku untuk mendekat. Menghapus air mataku yang sudah tidak bisa aku tahan. Puncaknya adalah ketika penyebutan nama Dania dan seruan sah itu terdengar memenuhi ruangan ini.
"Setelah ini jangan kemana-mana. Kamu ambil foto untuk Dania dan Fariz dulu." Pinta mama padaku. Tidakkah mama juga mengerti apa yang aku rasakan? Tidakkah mama sudah berpacaran dulunya? Bagaimana perasaannya jika mendapatkan hal yang sama sepertiku saat ini.
Ini sakit, ma!
"I-iya, ma." Ujarku lemah.
Aku izin ke kamarku untuk mengambil kamera. Salah satu kegiatan yang aku gemari adalah memotret. Dulu, dengan benda ini pula aku bisa bertemu pertama kali dengan Fariz. Aku tak sengaja menjatuhkan benda ini dan dengan baik hatinya dia mengejar ku untuk memberikannya kembali. Sedikit pertolongan yang sederhana, namun sudah cukup membawa banyak makna untukku. Apakah benda ini pula yang akan meresmikan putusnya perasaanku pada Fariz?
Ah, sepertinya aku sudah terlalu banyak berpikir. Lebih baik sekarang aku turun ke bawah dan segera memotret kebahagiaan mereka. Lebih cepat, lebih baik, bukan? Aku tak perlu kecewa dan sakit hati untuk waktu yang lama.
"Lisa! Cepat!" Teriak mama dari luar. Tidakkah mama malu melakukannya? Ada begitu banyak orang di sana, tapi ia malah memanggilku layaknya seorang mama yang sedang kesal dengan anaknya.
"Jangan terlalu di pikirkan, Lisa. Ayo turun dan ikuti kemauan mereka. Karena apa? Karena kamu tidak lah berharga di rumah ini bahkan di mata orangtuamu sendiri. Tidak berarti apa-apa..." Gumamku dan menertawakan diri sendiri.
***
"Terlalu dipaksa senyumannya. Coba yang natural aja." Ujarku memberikan saran.
Mereka terlihat jengah setelah aku mengatakan itu. Bukannya menuruti permintaanku, mereka malah tidak mendengarkan. Ah sudahlah, aku tidak peduli kalau nanti hasilnya akan tidak sesuai dengan ekspetasi mereka.
"Kalau hasilnya jelek jangan salahkan aku!" Gerutuku, tak peduli mereka mendengarnya atau tidak, toh mereka juga tidak akan peduli denganku.
Cekrek!
"Fariz, tangannya di lengan Dania aja, jangan di perut!" Kata ku lagi.
Deg.
Seketika aku kepikiran. Perut? Oh tidak! Tentu saja itu tidak akan terjadi! Tidak!
Aku berusaha untuk menghempaskan pikiran negatif itu dan lanjut memotret mereka. Dania dan Fariz tampak bahagia, pun juga dengan mama dan papa yang menemani. Ah iya, jangan lupakan juga keluarga besar yang sudah berbaris rapi ingin berfoto bersama. Hanya kurang satu, aku tidak dianggap oleh mereka. Padahal aku dengan pengantin perempuan adalah kembaran, bukan orang asing atau orang yang di suruh untuk mendokumentasikan momen ini.
"Foto kami dengan baik, Lisa!" Seru mama.
Tak punya pilihan lain selain, "oke!" Padahal dalam hati sesak sekali.
Baru saja aku hendak menekan shutter kamera, ada yang menepuk pundak ku, membuatku mengurungkan niatku sebelumnya dan melihat orang itu.
"Haris? Datang juga ke nikahan Dania?" Tanyaku.
Dia Haris Aska Pradana. Tetangga kami di rumah yang dulu. Aku dan Dania dulu cukup dekat dengannya dan keluarganya yang ramah tamah. Pun juga dengan neneknya baik hati.
"Iya. Aku kesini untuk melihat pernikahan Dania. Aku tidak menyangka kalau kamu akan dilangkahi olehnya." Ujar Haris dan tertawa kecil.
"Lisa! Jangan sibuk sendiri, dong! Cepat ambil foto kami!" Seru mama lagi. Aku malah malu dengan Haris setelah mendengar mama yang berteriak demikian.
Menatap Haris dengan senyuman yang agak bersalah. "Aku lanjut foto mereka dulu. Mungkin setelah ini kita bisa bicara lagi." Ucapku dan kembali fokus pada mereka.
"Jangan kasih jarak karena tidak semuanya bisa masuk ke kamera!" Kata ku memberikan mereka saran.
"Kenapa kamu tidak ikut dengan mereka? Yang menikah adalah adikmu. Kembaranmu." Tanya Haris.
Hanya menggidikkan bahu, "aku tidak di ajak dan sejak awal aku tidak seharusnya ada di sini. Kamu tahu? Pengantin pria adalah pacarku. Dia melamar Dania di malam ulang tahun kami. Bahkan itu ketika kami belum putus. Nyesek sekali, kan?" Tanyaku, menatapnya. Berusaha untuk tersenyum seakan mengatakan kalau aku baik-baik saja dengan semua itu.
Aku lanjut mengambil foto mereka. Karena tidak mungkin untuk menyuruh mereka bergeser yang pada akhirnya akan berakhir dengan gerutuan, maka aku lah yang mundur.
Aku mundur, Haris pun demikian. Dia mengikuti kemanapun aku melangkah. Ia juga lah yang membantuku untuk mengambil sisi angle yang baik untuk foto kali ini.
"Kamu tidak sakit hati melihat mereka?" Tanya Haris.
Aku terkekeh. "Tentu saja sakit hati. Aku berharap kalau aku lah yang seharusnya dilamar waktu itu. Ternyata kembaranku. Kalau tahu seperti itu, mungkin aku akan lebih memilih pria lain dibandingkan dengannya. Sejak awal aku akan melakukannya." Jawabku.
"Sekarang foto yang heboh!" Seru ku.
Aku terlalu bersemangat untuk mengatur mereka sampai melupakan kalau sepanjang aku memfoto mereka tidak ada foto diriku di dalamnya. Karena itu lah yang membuatku tidak sadar hampir menabrak meja di belakangku. Naasnya, aku tidak apa-apa, melainkan Haris lah yang merasakannya. Dia berdiri di belakangku, alhasil dia lah yang kesakitan.
"Astaga, maaf Haris. Aku tidak tahu kalau kamu ada di belakangku. Pakaian ini juga agak mempersulit langkahku." Kata ku meminta maaf. Aku merasa bersalah.
"Tidak apa. Delisa, kamu mau membalas mereka?"
Aku menatap Haris agar kebingungan. Pasalnya, aku tidak paham apa yang harus dibalas.
"Membalas apa yang dilakukan oleh Dania dan pria itu." Jelas Haris.
"Tidak peduli, Haris. Kita tidak perlu terlalu obsesi seperti itu. Kalau memang aku tidak berjodoh dengannya, aku tidak bisa memaksa."
Karena sejauh dan sekeras apapun aku berusaha, aku tidak bisa mengalahkan permintaan Dania. Dia adalah segalanya bagi keluarga.
"Ayo menikah seperti mereka."
"Atau setidaknya kita bisa pacaran dulu."
"Yakinkan pada mereka kalau kamu bisa tanpanya."
Apakah aku bisa untuk berpaling dari Fariz?
"Maaf, Haris. Aku masih belum siap untuk itu." Ujarku.