"Tampar Lisa lagi, bila perlu bunuh Lisa."
Kutantang mama dengan beraninya. Kulihat mama tidak tergerak sedikitpun, tapi matanya nyalang padaku, tanpa tergetar sedikitpun. Apakah mama memang benar-benar menginginkan kematianku juga? Haha, aku paham.
"Mama mau Lisa mati, kan?" Tanyaku lagi.
"Lisa!" Tubuhku ditarik Haris, memisahkanku dengan mama. "Apa maksudmu?! Kamu pikir mati itu mudah? Kamu pikir semua bakal baik-baik saja kalau kamu mati? Dan kamu pikir pacarmu yang b******k itu bakal balik lagi sama kamu kalau kamu mati?!"
Akal sehatku masih bekerja, tentu saja jawabannya tidak. Hanya saja, rasa pasrah ini membuatku ingin cepat-cepat mengakhiri semua hal yang terjadi ini. Aku hanya ingin keadilan. Aku ingin diperlakukan sama seperti Dania, dimanja, disayangi, dicintai oleh kedua orang tua. Bukankah aku dan Dania itu saudari kembar? Lalu kenapa aku dan dengannya diperlakukan berbeda? Aku seperti orang asing di rumah ini.
"Jawab!"
Jelas aku langsung menatap Haris karena dia berani membentakku. Aku tahu dia baik, dia peduli sama aku, tapi dia bisa bicara dengan nada yang baik, bukan dengan nada membentak seperti ini. Aku hanya takut bermimpi buruk dan malah menyalahkannya, hingga pada akhirnya tidak ada yang bisa aku percaya lagi.
Tapi, setelah kutatap wajah Haris, dia seperti mau—nangis?
"Kamu nangis?" Tanyaku.
Seketika ia langsung melengos ke arah lain. Kulihat dia menarik napasnya memburu, kemudian kembali menatapku lagi. "Apa kamu sudah gak nyaman lagi di keluarga ini?" Tanya Haris.
Aku terkekeh. "Bukankah sudah jelas? Tapi aku harus mau gimana lagi? Aku adalah anak mereka." Jawabku.
Kulihat mama masih setia menunggu di depan pintu rumah. Dan kulihat dia seperti menahan amarahnya. Mungkin dia belum puas melampiaskan amarahnya padaku setelah dua kali menamparku dengan pengaduan yang dilakukan oleh Dania, berakhir karena sekarang ada Haris yang menjagaku. Mungkin aku aman hari ini, tapi tidak ada yang menjamin setelahnya.
"Kamu nyaman atau tidak?" Tanya Haris lagi, kali ini nada bicaranya sudah menurun, tidak membentak lagi. Hanya saja terlihat jelas kalau dia sedang menahannya.
"Iya, Haris." Jawabku tanpa pikir dua kali
"Kamu pikir saja, aku diperlakukan berbeda di rumah ini. Mereka tidak hanya sakitin hati aku saja, tapi batin aku pun ikut tersakiti," tunjukku pada dadaku yang kembali terasa sesak. "Kamu pikirkan saja itu, Haris!"
Cengeng. Aku kembali nangis di hadapan Haris. Per hari ini saja aku sudah nangis berkali-kali. Semuanya terasa begitu memuakkan. Aku hanya penasaran, bagaimana rasanya menjadi mereka yang memperlakukanku seperti ini. Apakah mereka tidak punya penyesalan setelah melakukan itu semua?
"Kamu mau pergi dari rumah ini?" Tanya Haris lagi.
"Iya, Haris!" Jawabku lagi, nada yang begitu berani. "Aku mau pergi dari rumah ini, aku sudah tidak nyaman dengan perlakuan kasar mereka, aku sudah muak dengan semua yang terjadi!"
"Kalau begitu, tahan sedikit saja, aku akan kembali dan memperbaiki semua rasa sakit yang kamu rasakan. Kamu akan terbebas dari semua ini, setelah aku mengurus semua pekerjaanku." Haris menarik tubuhku, memelukku.
Hanya dia, Tuhan. Hanya dia yang mendukungku, tidak dengan yang lain. Jika memang dia dipertemukan tuk menjadi pahlawanku, maka jangan biarkan dia menjadi pahlawan perempuan lain. Aku takut kesakitan hati yang kedua kalinya terulang lagi.
***
Tidak mudah menjadi aku. Setelah kejadian penamparan yang dilakukan mama, sepertinya mama menghasut papa untuk ikut membenciku juga. Mama dan papa sama-sama kompak menyalahkan ku atas tangis yang diadukan Dania. Papa ikut membentakku, bahkan memberikanku peringatan. Kalau aku sampai membuat Dania menangis lagi, papa akan berhenti membiayai kuliahku dan tentu saja semua perjuanganku akan sia-sia saja. Gelar yang aku perjuangkan akan musnah tak tersisa.
Kucoba bersabar, kutak mau semua yang kulakukan sia-sia. Akan tetapi, semakin aku sabar, Dania semakin melunjak. Dia dan suaminya itu beberapa kali datang ke rumah, bermesraan di depanku, membuat dadaku merasakan sesak yang begitu mendalam, dan kemudian membeda-bedakanku sampai titik terendah. Sakit sekali rasanya.
Namun, ada satu hal yang membuatku merasa bingung. Di saat Dania punya dendam yang begitu mendalam padaku, tapi suaminya malah bertopeng dua. Ya, di depan Dania, Fariz akan ikut menyalahkan ku, membuatku sakit hati hingga rasanya ingin gila. Tapi di belakang Dania, dia mencoba mendekatiku lagi seperti masa-masa saat aku pacaran dengannya dulu. Terkadang aku berpikir, apakah aku serendah itu? Bisa diperlakukan seenaknya, dipermainkan sesuka hati mereka. Mereka sangat tahu dan sadar kalau aku punya hati, aku gampang kecewa, gampang nangis, tapi—
Ah, sudahlah. Semuanya sangatlah mengherankan, sampai-sampai aku ingin gila.
"Aku bawakan coklat kesukaanmu. Ambil ini, tapi jangan kasih tahu Dania," kulihat Fariz menyodorkan sekotak coklat kesukaanku waktu kita kami pacaran dulu. Sekarang, rasanya coklat itu bisa menjadi racun bagiku yang sewaktu-waktu bisa membunuhku. Aku takut, kalau aku menerimanya, Dania akan salah paham, kemudian mengadu pada mama dan papa yang pada akhirnya nanti akan menyalahkan ku juga.
Aku menolak coklat itu. "Gak. Aku udah gak suka coklat ini. Kamu kasih Dania aja, dia kan istrimu," kataku kemudian berlari masuk ke rumah. Aku tidak menyadari kalau ternyata dari tadi ada Dania yang mengawasi dari dapur. Aku baru mengetahuinya setelah dia berteriak memanggil namaku.
"Kak Delisa!"
Aku berbalik badan, menemukannya yang sudah pasang badan di depan dapur. Kutetap terdiam di depan anakan tangga, sembari terus melihatnya yang menghampiriku dengan amarah yang tampak memuncak. Ya, apa yang aku takutkan terjadi begitu cepatnya.
Tuhan memang suka bercanda. Luka yang kemarin belum mengering, tapi Engkau malah mau membuatku terluka lagi. Hamba lemah, lelah, berkali-kali memohon untuk menyudahi semuanya. Hamba ingin istirahat, meski hanya sebentar saja.
"Ada apa, dek?" Tanyaku, tak mau membalas dengan nada yang sama, kubalas dengan nada yang melemah. Sama dengan apa yang kurasakan.
"Kakak ngapain berduaan sama suami aku di luar? Kakak ngegoda suami ku lagi? Kakak gak jera?!"
Jelas ini salah besar. Dia sudah sangat salah paham. Tidak lama setelahnya, kulihat Fariz yang masuk ke dalam rumah, masih menenteng coklat itu. Kutak peduli lagi.
"Tanya aja sama suami kamu tuh!" tunjukku pada Fariz yang menghampiri kami. "Dia sendiri yang menawarkan ku coklat itu. Katanya itu coklat kesukaanku, dan kalau aku mengambilnya tidak boleh diketahui sama kamu. Kamu tanya aja apa maksudnya bilang gitu sama aku."
Dania cukup terlihat syok dengan apa yang aku katakan. Dia ikut menatap suaminya tajam. Ya, memang harus seperti itu.
Kali ini ku tantang Fariz untuk berbicara. Dia tidak boleh diam saja dan membiarkan namaku semakin tercoreng buruk di hadapan keluargaku. Setidaknya dia bisa merasakan bagaimana jadinya aku yang terus disalahkan. Setidaknya dia punya hati yang bisa mengerti.
"Emang bener apa yang dibilang kak Lisa tadi? Kamu mau kasih dia coklat itu?!"
"E—enggak," bantahnya yang malah membuatku merasa dibohongi telak. Kalau memang dia tidak pernah menawarkan coklat itu kepadaku, lalu tadi dia melakukan apa? Apakah aku hanya mengkhayal saja? Aku masih waras, hanya saja terkadang pikiranku menjadi gila akibat perlakuan kalian semua.
"Aku membelikan coklat ini untukmu, sayang. Bukan untuk Lisa." Dia menyerahkan sekotak coklat itu kepada Dania, hampir membuatku tertawa.
"Pengecut!" Kataku dan berlari naik tangga, masuk ke kamarku.
"Entah aku yang gila atau mereka yang tega. Semuanya sama saja." Kesalku.
***
Setelah tadi pagi aku dibuat gila, sorenya aku ingin lari-lari sekitar komplek perumahan. Ah, iya, kalau bisa lari dari kenyataan, aku pun juga ingin melakukannya. Tapi kenyatannya, tidak semudah itu.
"Mau kemana kamu?" Tanya mama dengan ketus.
"Mau lari dari kenyataan," jawabku, memakai earphone, menutup semua ocehan yang bakal keluar dari mulut mereka.
Segera ku keluar dari rumah, mulai berlari mengelilingi komplek. Aku tidak sendirian, aku bertemu dengan beberapa orang yang juga melakukan hal yang sama. Terkadang ada beberapa dari mereka yang menyapaku, terkadang ada pula yang pura-pura cuek padahal aku cukup dekat dengannya. Ah, sudahlah.
Setelah cukup berkeringat, aku beristirahat sejenak, membeli jajanan sore di pinggir jalan. Rasanya melakukan hal yang seperti ini lebih menenangkan dibanding berdiam terus di dalam rumah dan mendengarkan ocehan orang rumah yang seakan tidak ada habisnya.
"Mau makan di sini atau di bawa pulang, neng?" tanya bapak penjual ketoprak.
"Makan di sini saja, pak," balasku, duduk di salah satu kursi yang sudah dibawa oleh bapaknya.
Sembari menunggu, aku memainkan ponsel. Mencari-cari informasi tambahan untuk penilaian akhirku nanti. Aku ingin lulus cepat, kemudian bekerja dan mungkin aku akan memutuskan untuk tinggal sendiri dibandingkan tinggal bersama keluarga namun tersiksa batin terus tiap harinya.
"Tumben gak sama pacarnya, neng." Bapak penjual itu nyeletuk, langsung membuatku mengabaikan ponselku. Pertanyaan bapak ini membuatku tersenyum, hatiku sedikit tercubit, ternyata bapaknya lebih mengingat daripada aku yang hampir lupa.
Sebelum Fariz menikah dengan Dania, aku dan Fariz sering berlarian di sekitar komplek ini dan sering membeli ketoprak di bapak ini. Pantas saja bapak ini mengingatnya, padahal aku sudah lupa dengan momen-momen itu.
"Pacarku udah nikah, pak. Dia nikah sama orang lain, bukan aku." Jawabku.
"Loh?! Sama siapa, neng?" Tampak jelas sekali bapak itu terkejut. Mungkin dia tidak tahu kabar yang beredar di sekitar komplek ini, padahal banyak sekali gosip yang beredar.
"Sama adik kembar aku, pak. Dia nikah sama Dania, udah hampir mau sebulan. Bapak gak tahu?" Aku hampir menertawakan bapaknya, bisa-bisanya dia tidak mendapatkan kabar itu.
"Astagaaa... bapak gak tahu, neng. Istri bapak juga tidak ada cerita," tutur bapaknya begitu jujur. Mungkin istri bapak ini tidak suka bergosip sampai tidak mengetahui apa yang sedang terjadi. "Padahal kalian berdua cocok sekali. Bapak pikir kalian akan menikah, eh taunya sama adiknya. Kasian sekali kamu, neng. Yang sabar ya..."
Bahkan bapak ini lebih baik dibandingkan keluargaku sendiri, tahu apa yang aku rasakan. Memang keluargaku lah yang jahat. "Iya, pak. Terima kasih. Doakan semoga aku bisa dapat jodoh yang lebih baik, pak. Mungkin yang kemarin hanya titipan saja, jodohnya malah adikku sendiri."
Bapak itu tertawa, aku pun juga ikut tertawa. "Kayak rezeki ya, neng. Kalau dia memang jodoh buat neng, pasti balik lagi dengan cara apapun. Bapak cuman bisa doakan yang terbaik untuk neng. Optimis saja akan ada pangeran yang menikahi neng."
"Aamiin."
Kuhabiskan waktu sore dengan mengobrol dengan bapak itu. Terasa nyaman sekali bercerita padanya, dibanding orang rumah yang mudah intimidasi. Sampai akhirnya kurasa sudah cukup, aku kembali pulang. Hanya jalan kaki biasa, tidak berlarian lagi, sembari mendengarkan lagu yang kuharap bisa membuatku tenang.
Terlalu fokus dengan HP, aku sampai sadar menabrak seseorang. Akibatnya, hp ku hampir jatuh. Untung bisa ditangkap dengan cepat oleh orang itu.
"Terim—"
"Haris?"
Dia balik lagi setelah hampir sebulan tidak terlihat. Aku bukan tidak senang dia ada di sini lagi, aku hanya cukup bingung saja dengan dirinya. Selama dia pergi lagi, dia tidak pernah menghubungiku, membuatku berpikir kalau sudah tidak ada harapan lagi dengannya. Tapi sekarang di depanku, dia muncul lagi.
"Aku balik untuk menepati janjiku." Katanya.
Janji apa?