"Lah ini kenapa si Haris ikut masuk? Yang tinggal di sini kan kakak, bukan dia," tunjuk Dania yang sepertinya tidak senang dengan kehadiran Haris, membantuku memasukkan barang-barang yang kubawa ke rumah pasutri sok romantis ini.
Aku hendak menjawab, namun Haris menahanku. "Biar aku saja yang urus. Kamu minum aja dulu, jangan ladenin mereka, "katanya begitu peduli padaku. Aku juga tidak tahu kenapa dia menyuruhku minum alih-alih menyelesaikan masalah dulu dengan Dania dan Fariz.
"Aku di sini saja, nanti minumnya barengan sama kamu," kucoba membalasnya dengan perhatian yang sama. Perasaanku mungkin belum ada untuk Haris, tapi sebisa mungkin aku tidak mau melihat usahanya sia-sia saja tuk mendukungku di depan dua orang yang mendengus kesal itu.
"Oke, tapi aku mohon sama kamu buat jangan ladenin dia. Biar aku saja yang lawan, kamu simpan tenaga aja." Dia menarikku, bersembunyi dibalik tubuhnya. Cukup membuatku merasa terlindungi setelah sekian lama tidak merasakannya. Dulu Fariz selalu menjadi pelindungku, dan itu semua hanyalah masa lalu yang menyakitkan untukku di masa kini. Sudahlah, semuanya sudah berakhir.
"Jadi begini Dania alias Miss Fariz," aku menyeringai kala Haris memanggil Dania dengan panggilan Miss Fariz, terdengar aneh tapi sedikit memuakkan. "Sebulan yang lalu aku dan Lisa resmi pacaran dan belum putus sampai sekarang. Jad—"
"Kamu dan Delisa gak pernah pacaran. Jangan sok ngaku-ngaku," kutatap Fariz kembali murka tiap kali ada Haris yang bersamaku, apalagi sekarang Haris mengaku kembali bahwa dia adalah pacarku. Iya, aku dan Haris sama-sama tahu kalau itu hanyalah kepura-puraan semata.
"Tidak. Haris bukan sok ngaku-ngaku, tapi kami memang beneran pacaran. Buat apa kita ngaku-ngaku? Biar kalian sakit hati?" Tanyaku, benar-benar penasaran dengan jawaban mereka. Sayangnya mereka malah bungkam. "Kan kalian udah nikah, ngapain malah iri sama hubunganku dengan Haris? Kurang kerjaan sekali. Mending fokus ke pasangan masing-masing deh sekarang, jangan sok-sokan peduli. Udah basi!" Jelas aku menyindir dua orang itu, tanpa terkecuali.
Haris berbalik, memegang kedua bahuku, membuatku menaikkan pandangan dan menatapnya. "Ada apa?" Tanyaku, kekesalanku berhasil dipancing Fariz, padahal belum saja satu jam aku di sini, bagaimana dengan berbulan-bulan? Ah, kacau.
"Aku tadi bilang apa? Stop, jangan keluarin tenaga kamu. Biarin aku yang ngomong sama mereka."
"Silakan." Jawabku.
"Oke, Dania, Fariz, aku lanjutkan ya. Jangan sela aku. Anggap saja kehadiranku di sini hampir sama dengan Fariz. Kalau Fariz, akan menjaga istrinya, maka aku akan menjaga pacarku. Simpelnya seperti itu. Jadi, ada pertanyaan sebelum aku lanjut ke dapur? Aku dan Lisa haus." Ujar Haris yang hampir membuatku tertawa. Dia berkata seakan-akan dia lah pemilik rumah ini, bukan Fariz ataupun Dania. Dia benar-benar pintar mempermainkan dan mengendalikan emosi seseorang.
"Kamu mau tinggal di sini?" Tanya Fariz.
Dan ya, aku juga cukup penasaran dengan hal itu. Tapi kalau dipikir-pikir, Haris tidak mungkin senekat itu hanya untuk melindungiku semata. Dia punya apartemen di Jakarta dan harus berkerja setiap harinya. Kalau tinggal di sini, aku takut pikiran Haris akan terganggu dan sebelas dua belas gilanya denganku. Aku tidak mau menodai pikiran Haris yang suci.
"Hmmm," bisa-bisanya pria ini menatapku mesra, kemudian merangkulku. Agak aneh, tapi aku pikir ini adalah bagian dari rencananya. "Aku sih pengen terus dekat-dekat sama pacar aku, cuman aku takut kalian iri,"Haris mengejek Dania dan Fariz yang sudah terpancing emosi.
"Jadi, aku putuskan untuk tidak tinggal di sini, tapi aku pastikan kalau aku akan terus memantau pergerakan kalian berdua. Kalau kalian berani-berani menganggu pacarku, jangan salahkan aku kalau nanti kalian kena imbasnya."
"Terserah kamu mau ancam aku, Haris. Kamu emang brengsek." Kata Fariz, tapi menurutku dia lah yang lebih b******k. Dia lebih banyak menyakitiku dibandingkan Haris yang selalu mendukungku. "Kalau gitu silahkan bawa barang-barang Lisa ke kamar atas, paling pojok."
"Jangan." Aku langsung menolaknya. Bagaimana mungkin aku kembali ke kamar itu, kamar dekat kamar pengantin alias kamar mereka. Mereka pikir aku bodoh yang bisa mereka siksa batin setiap saatnya. "Aku mau di bawah aja, dekat dapur pun gak apa. Aku gak mau tidur di kamar itu, aku takut mimpi buruk," ujarku kemudian menarik tangan Haris tuk ikut bersamaku ke dapur.
Dan ternyata dua orang itu mengikutiku dan Haris ke dapur. Aku membiarkannya, bersikap kalau dapur ini seakan-akan adalah dapurku. Tak peduli dengan pendapat mereka seperti apa setelah ini, mungkin mereka akan mengatakan kalau aku dan Haris tidak tahu diri bertamu di rumah orang. Anggap saja ini sebagai balasan mereka atas apa yang sudah mereka lakukan selama ini.
"Mau minum apa? Teh? Kopi?" tanyaku pada Haris, yang sudah duduk menunggu di kursi meja dapur. Sedangkan mereka berdua berdiri di depan pintu, entah kenapa mereka tidak masuk ke dalam. Cukup lucu juga.
"Apa-apa aja, aku terima kok. Asalkan kamu yang buat," jawab Haris mengerlingkan sebelah matanya padaku. Aku tertawa, hatiku rasanya lebih tenang dibandingkan sebelumnya. Dengan Haris, semuanya bisa diperbaiki olehnya. Dengan keberaniannya membelaku, melindungiku, cukup salut padanya. Apakah aku akan jatuh cinta pada pria yang satu ini? Hmm... rasanya jatuh cinta pun tidak apa. Aku siap atas apapun itu.
Aku memutuskan untuk membuatkan kopi saja untuknya, mengingat dia berkata kalau dia akan ke rumah sakit nanti setelah balik dari sini. Aku lupa menawarkan juga pada Dania dan Fariz, kubalik badan dan bertanya, "kalian mau kopi atau teh? Aku buatkan. Sekalian akan mulai tugasku jadi pembantu." Kataku.
"Kopi saja," pesan Fariz, kemudian ambil tempat di kursi berhadapan dengan Haris. Sepertinya dua pria ini akan kembali berseteru, tidak akan ada habisnya kecuali dipisahkan.
"Kalau aku—"
"s**u hangat." Selaku atas ucapan Dania. "Kamu sedang hamil, jangan makan atau minum yang macam-macam. Kamu punya s**u hamil, kan?" Tanyaku.
Malah Dania menggeleng, aku cukup terkejut. "Lah, kenapa kamu bisa gak punya s**u hangat? Emangnya suami kamu gak pernah beliin kamu? Gak pernah perhatiin kebutuhan kamu apa aja?" tanyaku, dan menertawakannya. Anggap saja sekarang aku mengejeknya, dan aku sedikit puas. "Aku pikir kalian seromantis itu. s**u hangat saja gak punya, gimana dengan yang lain?" Ejekku.
"Atau kamu gak pernah masak di dapurmu, ya?* Tanyaku lagi.
Oke, aku akui. Kali ini aku cukup puas dengan sesi pengejekan yang satu ini. Diamnya Dania mengartikan kalau selama ini dia tidak pernah masuk dapur. Terlebih dia langsung melengos begitu saja, artinya dia sudah tersinggung dengan apa yang aku katakan. Tawaku semakin kencang, sengaja. Biar dia juga merasakan apa yang aku rasakan saat ini. Sakit hati.
Aku lanjut melakukan tugasku, membuatkan dua kopi untuk dua pria yang sudah menunggu. Setelah jadi, aku langsung menyajikanya untuk kedua pria itu. Aku menengadahkan tangan di depan Fariz, dia kebingungan.
"Apa maksudmu?" Tanyanya.
"Aku pinjam motormu, mau belikan s**u hamil untuk istrimu," kataku. Aku bisa naik motor meski tidak terlalu jago. Aku ingat, dulu Fariz lah yang mengajarku sepulang dia kerja. Dan motor yang dia pakai untuk mengajarku sempat kulihat terparkir di garasinya.
"Kamu belum terlalu fasih naik motor, Lisa. Biarin dia aja, toh nanti dia gak bakal minum kok. Mending kamu makan sana, " Seperti ia tidak peduli dengan istrinya, padahal di depan mama dan papa mereka berlagak begitu romantis. Sungguh tidak terduga.
"Aku bisa naik motor kok. Lagian kan ini juga demi istri kamu, demi anak kamu. Kamu sih jadi suaminya gak peduli sama sekali, kan aneh!"
Kudengar dengusan darinya, menghela napas kasar. Dia bangkit dari kursinya dan mengambil sebuah kunci dari atas kulkas. "Nih, kuncinya. Tapi hati-hati. Kalau ada motor lewat agak rame, mending berhenti aja dulu. Jangan asal nyebrang, tengok kanan-kiri dulu. Sen jangan lupa dihidupin kalau mau nyebrang, klakson bila perlu. Terus kalau bis—"
"Cerewet banget kayak ibu-ibu!" Segera kurebut kunci motornya dan berlalu pergi. Sampai di pertengahan rumah, aku balik lagi. Aku lupa berpamitan dengan Haris, setidaknya dia tahu meski terkesan sangat lah sepele.
"Haris, aku ke apotek dulu ya. Mau beliin calon adik iparmu s**u hamil," kataku, menekan di kata calon adik ipar. Sengaja, aku mau menyinggung Fariz.
"Oke, sayang. Hati-hati ya," katanya, dan pertama kali memanggilku dengan panggilan sayang. Apakah aku kaget? Hanya tidak menyangka saja.
Sebelum pergi, aku sempat melihat ekspresi wajah Fariz yang sepertinya marah. Ah, sudahlah, aku tidak peduli. Itulah yang aku pernah rasakan saat ia memutuskan menikah dengan Dania padahal selama ini mereka tidak punya hubungan yang terlalu dekat, tapi tiba-tiba menikah.
Dan setelah sekian lama akhirnya aku bisa memakai motor ini lagi. Aku tidak tahu apakah aku masih bisa memakainya atau tidak. Benar kata Fariz, terakhir kali aku memakai motor belum terlalu fasih, tapi sekarang aku ngotot keras kepala mau pergi, terlebih malam-malam. Hhh... semuanya demi Dania. Dia sudah begitu jahat sama aku, tapi rasanya mengetahui kalau dia tidak pernah minum s**u hangat kehamilan membuatku sedih.
Keluar dari gang komplek menuju jalan raya, aku cukup merasakan gugup. Aku cukup merasa sedikit gemetar, ketakutan. Beberapa kali aku menoleh ke kanan-kiri, jalanan sangat ramai sekali, padahal sudah malam. Hingga akhirnya kuberikan diri menyeberang.
Tittttttttttt!
Brak!
***
"Makanya besok-besok jangan keras kepala. Kalau kamu dilarang, jangan nantang. Gini kan jadinya!" Fariz malah memarahiku karena terjatuh dari motor hingga mengakibatkan kakiku lecet. Motor Fariz sedikit rusak, tapi untungnya aku bisa selamat, hanya sedikit lecet saja.
Aku tidak tahu siapa yang memberitahu mereka sampai-sampai mengetahui kalau aku tabrakan. Fariz dan Haris berlari menjemputku di jalan raya dekat rumah itu. Mereka berdua lah yang membawaku juga. Aku mengakui aku salah, tidak teliti melihat ke kanan-kiri, baru kemudian menyebrang.
Hanya saja perbedaannya adalah Haris yang fokus mengobati lukaku, sedangkan Fariz yang fokus membentakku. Dia marah-marah seakan-akan begitu khawatir sama aku, lalu kemana saja dia selama ini? Lucu.
"Mulai hari ini, jangan keluar rumah. Kalau mau beli sesuatu, biar aku aja yang beli. Masih mending cuman lutut kamu aja yang lecet malam ini, gimana kalau sampai badan kamu yang kelindes sama mobil gede? Aku benar-benar gak bisa bayangin."
"Jangan sok khawatir." Balasku, tersenyum terpaksa padanya. "Kamu gak perlu drama-drama kalau kamu khawatir sama aku. Kamu ingat saja kalau kamu pernah sakitin aku, tinggalin aku padahal hubungan kita baik-baik saja. Kamu pikirkan bagaimana sakit hatinya aku saat itu sampai-sampai aku merasa kalau mati lah satu-satunya obat dari rasa sakit hatiku waktu itu." Imbuhku.