Sesampainya di kediaman keluarga Abraham. Marvi memangku tubuh mungil Minzy yang masih tampak lemah masuk ke dalam rumah mewahnya.
Belum sempat membunyikan bel, seseorang telah membukakan pintu utama dan menunduk hormat pada Marvi, ia pun melangkah masuk.
Dan alangkah terkejutnya kedua orang tua Marvi melihat putra bungsunya masuk ke dalam rumah, melewati mereka yang sedang duduk di ruang tamu sembari memangku seorang gadis yang terlihat tak sadarkan diri dalam gendongannya.
Helena, Ibunya Marvi berdiri dari duduknya dan mencegat langkah Marvi dengan berdiri di hadapan putra bungsunya itu.
"Siapa dia? Siapa gadis ini?" Tanya Helena dengan ekspresi kebingungan.
Marvi tidak langsung menjawab. Dia melihat ke arah belakang Ibunya, di sana terlihat seorang gadis dan orang tuanya sedang duduk menatap ke arahnya penuh tanda tanya.
"Ma, apa Mama mau menjodohkan aku?" Tanya Marvi pelan pada Ibunya.
Helena mengangguk sebagai jawaban. "Iya, Mama dan Ayah kamu akan menjodohkan kamu dengan gadis yang duduk di sana. Namanya Mia." Kata Helena yang berhasil membuat Marvi tersenyum miris.
"Aku menolaknya." Tekan Marvi yang kemudian berlalu dari sana. Meninggalkan Helena yang masih terkejut mendengar kalimat penolakan dari putra bungsunya.
Marvi berlalu menaiki anak tangga dengan Minzy yang masih terpejam di dalam pangkuannya.
Siapa sangka jika Marvi dengan ketampanan yang luar biasa, ternyata masih belum memiliki kekasih di usianya yang ke 27. Usia yang sangat cocok untuk menikah. Tapi kesibukannya dalam dunia bekerja membuat Marvi tidak memiliki waktu untuk berkencan.
Apakah Marvi benar-benar sibuk mengurus pekerjaan atau sengaja menyibukkan diri agar bisa melupakan tentang kehidupan asmaranya.
Marvi terlalu pendiam dan penuh misteri untuk ditebak dalam satu kali tatap.
Marvi membuka pintu kamarnya dengan bantuan pelayan karena kedua tangannya masih ia gunakan untuk menopang berat tubuh Minzy yang masih tak sadarkan diri.
"Terima kasih, tolong tutup pintunya lagi." Ucap Marvi.
Cklek.
Pintu tertutup.
Marvi berjalan ke arah tempat tidur king sized miliknya, kemudian ia membaringkan tubuh Minzy di atasnya. Marvi terdiam menatap wajah Minzy yang sangat sembab karena menangis. Roknya yang robek dan sudut bibirnya yang berdarah membuat Marvi menaruh kasihan pada gadis itu.
"Emh..." Minzy terusik ketika Marvi menyelimuti tubuhnya. Namun gadis itu kembali terlelap.
Marvi tersenyum tipis dan memutuskan untuk mandi karena tubuhnya terasa lengket karena keringat. Setelah itu ia akan menemui kedua orang tuanya yang ternyata memanggilnya pulang hanya untuk membicarakan tentang perjodohan.
*****
Marvi memasang ekspresi tersenyum sopan pada dua orang paruh baya yang diketahui sebagai orang tua dari Mia, gadis yang akan dijodohkan dengan dirinya.
"Halo, aku Mia... Senang bertemu denganmu..." Ucap Mia menyapa dengan tangan kanan terulur.
Marvi membalas uluran tangan itu. "Marvi." Ucapnya memperkenalkan diri.
Mia mengangguk pelan dan menarik kembali tangan yang sudah Marvi lepaskan.
"Emh, kalau boleh aku tahu, wanita yang kamu bawa tadi itu, siapa?" Tanya Mia dengan ragu. Ia takut Marvi tersinggung dan malah membencinya.
Orang tuanya Mia mengangguk setuju, mereka jiga ingin tahu. "Iya, wanita yang kau gendong tadi, siapa?" Tanya Ibunya.
Marvi melirik Helena sebentar, kemudian menatap Kenan sang Ayah.
"Gadis itu, dia kekasihku." Jawab Marvi. Dia berbohong. Tapi hanya itu satu-satunya cara agar orang tuanya berhenti untuk menjodohkannya dengan anak gadis dari teman-teman arisan.
Semua orang tampak terkejut. Begitupun dengan orang tuanya Marvi. Helena dan Kenan tidak pernah tahu jika anaknya telah memiliki kekasih. Andai saja mereka tahu, mereka tidak akan menjodohkan putra bungsunya itu dan membuat anak gadis dari temannya merasa malu.
"Tante... Bagaimana ini? Marvi sudah memiliki kekasih, lalu bagaimana dengan aku?" Tanya Mia yang tampak kecewa.
Marvi tersenyum. "Mia, kamu pasti akan mendapatkan pria yang lebih baik."
Orang tua Mia berdiri dengan ekspresi marah. Mereka merasa terhina. "Kami sudah menerima perjodohan ini, tapi kalian malah menipu kami." Ujar si Ayah.
Kenan turut berdiri dan memohon maaf. "Mohon maafkan kami, kami sudah keliru karena mengira bahwa putra kami belum memiliki kekasih. Kami sangat menyesal..." Ucapnya.
Namun keluarga Mia sudah terlanjur marah, akhirnya mereka pergi dengan menarik tangan Mia keluar dari kediaman keluarga Abraham.
Dan Marvi, pria itu tampak tersenyum penuh kemenangan. Ia bersandar pada sofa dengan melipat tangan di depan d**a.
"Akhirnya, aku bebas. Dan Mama tidak akan berusaha untuk menjodohkan aku lagi. Minzy, maafkan aku karena sudah berbohong dengan menggunakan nama kamu." Ucapnya dalam hati.
Tiba-tiba dia menyadari keberadaan Minzy yang masih berada di dalam kamarnya. Marvi berdiri dan mengusap bahu Ayahnya yang tampak kebingungan karena temannya marah akibat ulah putranya yang tiba-tiba saja mengatakan telah memiliki kekasih.
"Ayah, it's okay... I have a girlfriend, you don't need to matchmaking me with the girl that i didn't know." Kata Marvi.
Kenan hanya bisa pasrah. "Panggil pacar kamu kemari, Ayah dan Ibu ingin berbicara."
"Tapi Ayah, dia masih istirahat. Dia telah mengalami hal buruk sebelum aku membawanya kemari." Ucap Marvi yang mulai gelagapan.
"Apa yang terjadi kepadanya?" Tanya Helena.
"Dia..." Marvi terdiam, tangannya mengepal kuat mengingat Louise meraba paha asisten pribadinya yang lemah.
Helena mengerti, ia langsung mengusap wajah Marvi. "Tidak usah kamu ceritakan. Baiklah, setelah pacar kamu itu sadar, minta dia untuk menemui kami. Kami senang karena akhirnya kamu memiliki kekasih,"
Marvi mengangguk dan tersenyum lega. Ia memiliki waktu untuk menjelaskan dan meminta bantuan Minzy agar mau berpura-pura menjadi 'fake girlfriend'.
"Ma, Ayah... Aku akan melihat keadaannya," kata Marvi seraya berlalu dari ruang tamu.
Marvi berjalan dengan buru-buru, ia harus segera membujuk Minzy untuk membantu dirinya. Marvi akan melakukan apapun asalkan Minzy mau menyelamatkan dirinya dari Ayah juga Ibunya yang selalu mendesak Marvi untuk segera menikah.
DUG!
Marvi menutup pintu dengan buru-buru hingga mengeluarkan suara keras.
Minzy yang terlelap langsung terbangun mendengar benturan pintu tersebut. Matanya membulat sempurna ketika Marvi duduk tepat di samping kirinya. Minzy langsung duduk seraya memeluk selimut.
"Tuan... Apa yang kau lakukan?" Tanya Minzy dengan ekspresi panik. Ia melihat ke dalam selimut. Dan,
"b******k! Dasar Bos m***m!!" Sentak Minzy seraya memukul Marvi dengan bantal berkali-kali.
Marvi gelagapan, "apa yang kau lakukan?! Tenanglah, aku tidak melakukan apapun."
"BOHONG!! Lalu, kenapa baju yang aku pakai diganti?! Hah?!"
Marvi memegang kedua bahu Minzy dan menatap kedua mata indah asisten pribadinya dengan intens.
"Aku tidak melakukan apapun. Ingat itu." Ucap Marvi penuh penekanan agar Minzy yakin.
"Pembantu yang membantu kamu berganti pakaian. Aish... Aku bukan tipe orang yang mau berhubungan intim dengan orang yang tidak sadarkan diri." Lanjut Marvi berucap.
Minzy mendengus kesal. "Okay, aku percaya. Sekarang, biarkan aku pulang."
Minzy hendak turun dari atas tempat tidur. Namun tiba-tiba saja Marvi menahannya.
"Ada apa?" Tanya Minzy gugup karena jarak wajahnya dan Marvi hanya beberapa cm.
Marvi tersenyum penuh arti. "Kau sudah aku obati, aku sudah menolong kamu, membiarkan kamu istirahat di atas tempat tidurku dan memakai kaos juga celanaku."
"Lalu?"
"Tidak ada yang gratis di dunia ini."
Tubuh Minzy membeku. Ia memundurkan tubuhnya hingga berada di tengah tempat tidur. "Jangan pernah memikirkan hal kotor!"
Marvi tertawa pelan. "Kau yang selalu berpikiran kotor. Aku cuma mau kamu membantu aku."
Minzy menatap Marvi dengan penuh selidik. Dan, ia tidak melihat kebohongan dari mata indah lelaki itu.
"Membantu tentang apa?" Minzy bertanya dengan gugup.
Marvi menegakkan posisi duduknya. Dan menatap Minzy dengan tatapan serius. "Ayah dan Mama terus menjodohkan aku. Dan aku tidak suka itu."
"Itu urusanmu." Ucap Minzy.
Marvi memasang ekspresi datar. "Dengakan aku dulu."
"O-okay..."
"Kamu harus berpura-pura menjadi kekasih aku."
"APA?! Omong kosong apa itu?!" Ucap Minzy terkejut. "D-dan sejak kapan Bapak berbicara santai seperti ini?"
"Kau tidak bisa menolak."
Minzy menggelengkan kepalanya tak setuju. "Hubungan tidak boleh dipermainkan seperti ini. Aku harus pulang,"
Minzy beringsut turun dari atas tempat tidur. Ia belum sempat melangkah, namun Marvi tiba-tiba saja memegang pergelangan tangannya.
"Jika kau menolak, aku akan memecat kamu." Ancam Marvi tepat di telinga Minzy.
Minzy terdiam mematung.
"Jadi? Apa kau masih ingin menolaknya? Ayolah, ini tidak akan lama." Kata Marvi.
Minzy tidak punya pilihan lain. Dia tidak bisa kehilangan pekerjaannya. Jika dirinya tidak bekerja, maka siapa yang akan menghidupi dirinya. Di jaman ini, mencari pekerjaan sangatlah sulit. Dan Minzy tidak bisa mengambil resiko sebesar itu.
"Baiklah, tapi kau harus berjanji. Kau tidak akan--"
"Ssst...." Marvi membekap mulut Minzy dengan tiba-tiba.
Tap...
Tap...
Tap...
Terdengar suara langkah kaki.
"Itu pasti orang tua aku, tenang dan ikuti apa yang aku katakan." Bisik Marvi.
Minzy mengangguk pelan.
"Duduklah..." Minzy duduk di tepi tempat tidur.
Kemudian Marvi berlutut di atas lantai dan menyimpan kepalanya di atas pangkuan Minzy.
Deg.
Jantung Minzy tersentak.
"Usap kepala aku, cepat." Titah Marvi.
Minzy mengangkat tangan kanannya dengan ragu. Kemudian ia mulai mengusap rambut Marvi dengan pelan. Dan,
Cklek.
"Ooops... Maaf, Ibu tidak bermaksud untuk mengganggu kalian." Ucap Helena yang masuk ke dalam kamar tanpa mengetuk pintu. Dan Marvi sudah tahu akan hal itu. Ibunya pasti penasaran karena dirinya tak kunjung keluar dari dalam kamar.
Minzy membeku. Dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa.
Marvi berdiri dan meminta Ibunya untuk duduk di samping Minzy. "Ma, nama dia Minzy. Kami sudah 3 bulan menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih."
Helena mengusap rambut Minzy dengan lembut. Hal itu membuat Minzy teringat akan belaian seorang Ibu.
"Kau sangat cantik, Minzy. Kamu tinggal di mana?" Tanya Helena.
Minzy menatap Marvi yang berdiri menatap dirinya dan juga Helena.
"Jawab saja, sayang..."
Minzy menelan ludah dengan susah payah. "Aku menyewa sebuah apartment yang tidak jauh dari Elunar company,"
Helena menganggukkan kepalanya. "Kau sudah bekerja?"
Minzy mengangguk. "Aku bekerja sebagai Asisten pribadi, Tuan... Maaf, maksud aku, Marvi."
Helena memasang wajah tak percaya. "Woaah, sangat sulit untuk dipercaya. Lalu, bagaimana dengan orang tua kamu?"
Minzy seketika menunduk sedih. "Aku, aku sudah tidak memiliki orang tua. Dan aku tumbuh di sebuah panti asuhan." Ucap Minzy menjawab dengan jujur.
Helena tertegun. Ia langsung membawa tubuh Minzy ke dalam pelukannya. "Kau pasti sangat kesulitan... Tenang saja, Ibu tidak akan memasalahkan hal itu. Hal terpenting adalah, kamu mencintai Marvi."
Minzy tersenyum kaku. Dan mengangguk ragu. Sedangkan Marvi, ia hanya diam dan tersenyum.
"Dan mulai lusa, kamu tidak akan mengalami kesulitan lagi. Juga tidak perlu bekerja lagi." Ucap Helena.
Minzy terperanjat kaget. "Apa aku akan dipecat?!"
Marvi tak kalah bingung. "Kenapa dia tidak perlu bekerja?"
Helena meraih tangan Minzy dan Marvi, kemudian menyatukannya. Marvi dan Minzy saling menatap penuh kebingungan.
"Lusa nanti, kalian akan menikah."
Dang!
"WHAT?!" Ujar Marvi dan Minzy bersamaan. Mereka sangat terkejut.
"Ma, aku rasa ini terlalu terburu-buru..." Ucap Marvi.
Minzy mengangguk setuju. "Benar, kami butuh waktu untuk lebih saling mengenal."
Helena menggelengkan kepalanya. "Kalian bisa melakukan proses itu setelah menikah. Baiklah, Mama akan segera mempersiapkan segalanya."
Dan Helena berlalu meninggalkan Marvi dan Minzy yang masih membeku. Mereka masih tidak percaya dengan yang baru saja terjadi. Mereka saling memandang, kemudian,
BUGH!
Minzy melempar Marvi menggunakan bantal. "Ini semua karena Bapak! Kita harus memberitahukan kebenarannya, ayo! Kita harus--"
"Ssst..." Marvi memegang kedua bahu Minzy yang mulai panik. "Jangan, akan aku urus. Tenanglah..."
"Bagaimana aku bisa tenang? Hn?" Minzy mendesah lemah. "Kau harus mengatakan yang sebenarnya..."
Mata Minzy mulai berkaca-kaca.
"Aku mohon, jangan menangis." Ucap Marvi seraya mengusap lengan Minzy.