Bab 7. Perkenalan

1081 Words
Reyna memutuskan untuk menutup semua akses kontak yang tertuju kepadanya kecuali kedua orangtuanya, Dewa, dan orang-orang yang terlibat pekerjaan serta orang-orang yang terlibat dalam urusan pernikahan kilatnya dengan pembesar Tamawijaya Group. Dia melakukan semua ini demi kelancaran pernikahan, sehingga tidak ada yang mengganggu pikirannya, termasuk tidak membuka peluang bicara dengan sahabatnya, Indy. Seperti yang diharapkan Reyna, urusan pernikahannya lancar, dan pagi ini Reyna memperkenalkan Dewangga kepada kedua orangtuanya yang sedang berada di Oxford melalui video call. Reyna dan Dewangga duduk berdampingan di atas sofa, menghadap ke arah kamera ponsel yang diletakkan di meja sofa. Dewangga merapatkan duduknya di samping Reyna ketika papa dan mama Reyna muncul di layar ponsel. “Hai, Reyna. Oh … hai Dewangga.” Almira menyapa Reyna dan calon menantunya dan tiba-tiba saja dia tersenyum lebar, begitu pula dengan Ziyad yang tiba-tiba juga tersenyum puas saat menyaksikan putri satu-satunya duduk berdampingan dengan petinggi Tamawijaya. Keduanya bak bersanding di atas pelaminan, apalagi Dewangga yang tampak langsung merapatkan duduknya dan diam-diam mendekap pinggang ramping Reyna, seolah menunjukkan bahwa dia benar-benar serius menikah dengan Reyna, tidak sekadar karena kecelakaan satu malam di atas ranjang. Semalaman Ziyad dan istrinya terlibat perdebatan kecil tentang rencana pernikahan Reyna dan Dewangga yang tiba-tiba, ada banyak hal yang mereka pertimbangkan dan sesalkan. Namun, pada akhirnya mereka pasrah dan ingin yang terbaik untuk Reyna, menilai bahwa pernikahan ini memang seharusnya terjadi, dan Reyna yang harus bertanggung jawab atas apa yang telah dia perbuat. Apalagi ternyata Dewangga merupakan sosok pria yang sempurna, dan masa depan Reyna yang sudah terjamin. “Sebelumnya saya secara pribadi mohon maaf, ya … kejadiannya begitu cepat, dan….”Dewangga menoleh ke wajah mulus Reyna. “Saya mohon izin kepada Bapak dan Ibu menerima saya untuk menjadi suami Reyna Sabtu ini. Hm … ini memang terkesan terburu-buru karena papa saya sedang sakit keras dan ingin saya menikah secepatnya.” Ziyad dan Almira saling pandang, sedikit mencurigai keduanya yang mungkin saja melakukan sandiwara, tapi mereka menyadari tidak bisa lagi menolak lamaran Dewangga karena posisi mereka yang jauh, khawatir keadaan Reyna. “Oh, baiklah. Kami … sebenarnya keberatan, Dewangga. Reyna tiba-tiba meminta menikah, padahal dia sudah berjanji kepada kami untuk bekerja dengan baik, menyelesaikan kuliahnya, dan mengikuti saran kami berdua selaku orang tuanya.” Dewangga agak cemberut mendengar keberatan dari ucapan Ziyad, sampai dia memberi kode kepada Reyna untuk bersikap manja dan mesra di depan papa dan mamanya, meyakinkan mereka bahwa dia tidak berada dalam tekanan dan sungguh-sungguh ingin menikah. Reyna yang mengerti kode dari Dewa, menggelayut manja di lengan Dewa. Tampak Dewangga mengatur emosinya pelan-pelan, sebisa mungkin menunjukkan keseriusannya agar kedua orangtua Reyna tidak mencurigainya. “Saya minta maaf, Bu, Pak.” Dewa berucap dengan kerendahan hati. Lalu Reyna mengusap-usap bahunya dan menempelkan pipinya di lengannya, membuat papa dan mamanya terenyuh. “Baiklah. Sepertinya cukup sampai di sini saja perkenalan kita. Saya tetap memberi izin, tolong jaga Reyna. Saya sangat berharap dia tidak lagi pergi ke tempat-tempat yang saya … sejujurnya tidak suka, dan tidak pernah mengizinkan.” Ziyad berkata dengan penuh penyesalan. “Satu hal, Dewangga. Izinkan dia tetap melanjutkan pendidikannya, tidak perlu jauh ke luar negeri jika kamu keberatan, saya ingin dia tetap memiliki pendidikan tinggi.” “Soal itu tidak masalah, Pak. Saya janji akan memberinya kesempatan.” Dewangga mengusap-usap kepala Reyna dan mengecupnya. Tentu saja sikap manisnya mengundang senyum tenang Ziyad dan Almira, dan kecurigaan mereka berdua pun perlahan memudar. Perkenalan yang sangat memuaskan. Dewa dan Reyna langsung berdiri memisahkan diri setelah menghubungi papa dan mama Reyna di Oxford. Keduanya memasang wajah serius, dan Dewa yang langsung memberi perintah Reyna untuk kembali bekerja seperti biasa, memenuhi kebutuhannya dan membantu pekerjaannya hari itu. Siang itu kesibukan secara privasi terjadi di dalam ruang kerja Dewangga. Dua orang desainer datang secara khusus ke kantor Dewangga untuk mengadakan pengukuran baju. Ada beberapa orang yang terlibat dalam urusan pencatatan pernikahan dan beragam dokumen lainnya, yang masih harus ditandatangani Reyna dan Dewangga. Dewangga tampak sangat hati-hati saat Reyna menandatangani sebuah perjanjian terkait harta-hartanya, bahwa meskipun mereka menikah secara sah di mata hukum, tapi Reyna tidak berhak menuntut apapun setelah bercerai. Reyna hanya berhak menerima nafkah selama menikah, tempat tinggal, kebutuhan sehari-hari dan sejumlah uang yang telah dijanjikan. Tidak ada sedikitpun keberatan yang ditunjukkan Reyna saat menandatangani semuanya. Dewangga tersenyum tipis, namun dalam hatinya dia sangat puas dengan Reyna yang mau diajak kerjasama dan kompromi. Dia merasa sangat beruntung bertemu Reyna tepat waktu, dan tidak perlu mengalami kesusahan seandainya dia harus menikah dengan Felisha, sepupunya. “Hai, Rey.” Igun menyapa Reyna yang sedang mengetik di komputer, mempersiapkan materi presentasi Dewangga besok pagi. “Oh, hai, Gun.” Reyna membalas sapaan Igun dengan wajah yang tetap tertuju ke layar komputer. Igun menarik sebuah kursi kecil ke dekat kursi kerja Reyna dan duduk di atasnya. Dia memperhatikan Reyna dengan seksama. “Apa yang terjadi, Reyna?” Reyna menghentikan ketikannya, melirik Igun sebentar, tapi kemudian dia melanjutkan pekerjaannya. Igun berdecak kecil, wajahnya menunjukkan kekaguman luar biasa terhadap Reyna, si gadis cantik pilihan bosnya. “Ya, aku akan menikah dengannya,” ujar Reyna sekenanya. Igun menggeleng. “Aku mendengar dari Okta, suatu malam Dewa memintanya menghubungimu untuk datang bekerja esok harinya. Apa kamu sebelumnya sudah bertemu dengannya?” Reyna menghentikan pekerjaannya. Menghela napas sebentar, lalu mengamati wajah Igun yang serius menatapnya. Sorot matanya menunjukkan bahwa dia sedang berpikir apakah Igun dapat dia percaya. “Pak Dewa nggak cerita?” Igun menggeleng. “Meskipun aku dan dia dekat secara pribadi, tapi dia pandai menyembunykan masalah pribadinya. Yah, ada beberapa hal yang dia sampaikan kepadaku, soal Anggi misalnya. Tapi soal kamu … dia agak tertutup.” “Jadi apa yang kamu ingin tahu?” “Kamu dan Dewa … bagaimana bisa?” “Aku bertemu dengannya di klub secara tidak sengaja.” “Oh.” Igun terperangah tidak menyangka akan jawaban Reyna. Reyna memutuskan untuk tidak menceritakan tentang apa yang terjadi setelah berkenalan dengan Dewa, memilihnya menyimpannya sendiri. Apalagi ternyata Dewa tidak menceritakan kepada Igun. “Kalian minum?” tanya Igun, memancing. “Ya, kami minum sambil berkenalan, dan aku nggak menyangka dia adalah bosku.” Igun manggut-manggut. “Klub hotel Maritim?” “Ya.” “Wow. Siapa kamu, Reyna?” “Maksudmu?” “Itu klub kelas atas.” “Apakah mahasiswi sepertiku tidak boleh ke sana? Aku dan teman-temanku kerap ke sana, menghabiskan malam dan kami bersenang-senang. Kami tau tempat dan memesan ruang yang pantas. Salah?” Igun mencebikkan bibirnya, menyadari bahwa Reyna gadis berpriviledge. Tidak sembarang orang yang bisa masuk ke sana, meskipun banyak uang sekalipun. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD