Kegagalan Malam Pertama

871 Words
Andriana’s POV Kami tidur saling memunggungi di malam pertama kami. Benar-benar malam pertama yang sempurna. Entahlah aku kehilangan mood-ku sama sepertinya yang kehilangan hasrat atas diriku. Aku pikir dia sudah siap untuk menjadi suami seutuhnya, tapi nyatanya sulit untuknya membangun ketertarikan seksual pada perempuan. Aku tidak bisa memaksanya. Aku tahu dia sudah berusaha keras. Dia berikan ciuman yang hangat dan bahkan bibir kami sempat berpagut begitu liar. Dia seakan benar-benar menginginkanku. Kami bermain foreplay cukup lama hingga membuat gairahku tak tertahankan. Namun, semua berujung pada kegagalan. Aku lirik dia yang masih tidur memunggungiku. Aku tak yakin dia benar-benar terpejam. Dia sempat memohon, meminta izinku untuk melihat film porno gay untuk membangunkan hasrat. Aku jelas menolak. Aku tak mau saat berhubungan denganku yang ada di kepalanya adalah keseksian tubuh laki-laki di film yang ia tonton. Sungguh, baru kali ini aku merasakan sakitnya ditolak laki-laki. Kesannya aku sudah berpengalaman sekali? Nggak gitu juga sih. Aku cuma berpengalaman dengan mantan suami dan sekarang aku malah jadi membandingkan mantan suamiku dengannya, astaghfirullah. Tentu mereka dua pribadi dengan latar belakang yang berbeda. Regan memang terlahir sebagai cowok straight sejati, sedang Derrel dia belum lama ini belajar untuk menjadi straight. Statusnya sebagai mantan gay bot agaknya punya pengaruh yang besar kenapa dia sulit untuk membangun ketetarikan seksual denganku. Aku menoleh lagi padanya. Di saat yang sama dia menolehku. Atmosfer mendadak canggung dan suasana berganti awkward. Masa iya aku harus memulainya lagi? memberinya kesempatan lagi? Dia memasang tampang innocent-nya yang cute. Kalau sudah begini aku tak tega juga untuk terus mendiamkannya. Aku teringat bagaimana dia berjuang sampai sejauh ini. Suamiku memang laki-laki istimewa. Background keluarga yang berantakan membuatnya tumbuh menjadi penyuka sesama jenis. Dia tak hanya gay, tapi juga berkutat dengan serangkaian gangguan psikis yang sangat berat, anxiety disorder, self harm, dan dulu sebelum dia memeluk agama Islam, dia adalah seorang agnostic yang percaya pada Tuhan tapi tidak memeluk agama tertentu. Apa aku sejahat ini? Seharusnya aku lebih bersabar menghadapi usahanya untuk berubah. Aku harus bisa menghargai usahanya sekecil apapun. Derrel memasang tampang cemberutnya sebagai sinyal ingin dimanja. Dia memang sensitif, perasa dan terkadang lebih melankolis dariku. Aku tersenyum dan dia menyambutnya dengan senyum yang lebih lebar. “Kamu udah nggak marah, An?” tanyanya sambil mengusap pipiku. “Sedikit, tapi tak apa, sebentar lagi juga hilang," jawabku pelan. Dia mengulas senyum lagi. “Maafkan aku ya. Aku bingung gimana caranya. Sepertinya aku harus konsultasi pada Alde.” Aku tersenyum lebih cerah. “Jangan dipaksain. Kita masih punya banyak waktu. Aku minta maaf ya ....” Derrel mendekatkan wajahnya. “Minta maaf untuk apa?” Aku menghela napas. “Karena aku sempat ngambek dan nggak ngertiin kamu. Harusnya aku bisa lebih memahamimu, 'kan?” “Kamu nggak salah, An. Kita akan belajar untuk saling memahami.” Setiap kali dia mengulas senyum, hatiku serasa mencair. Sekesal apa pun padanya, aku akan kembali menemukan mood baikku setiap kali melihatnya tersenyum. “Apa aku boleh menciummu lagi?” tanyanya dengan raut wajah ragu. Aku tertawa kecil. “Kenapa nanya? Kamu udah sah jadi suamiku Derrel. Kamu boleh menciumku kapan pun kamu mau.” “An ....” Ucapnya pelan. “Ya ....” “Aku bisa menjadi seorang good kisser, tapi aku payah dalam bercinta. Aku belum berpengalaman bercinta dengan perempuan. I’m so confused how to start. I think it will be easy, but it’s not as easy as like what I imagine. It doesn’t mean I don’t love you. I love you so much, An. Aku hanya butuh usaha lebih untuk membangun ketertarikan seksual denganmu, karena kalau soal hati, aku udah bilang kan, aku lebih dulu tertarik pada hatimu.” Aku mengulas senyum semanis mungkin. “I can understand it Rel. You don’t need to be afraid. Aku bisa bersabar menunggu. Mungkin aku perlu konsultasi pada Rayya.” Tanpa aku antisipasi, Derrel langsung melumat bibirku. Lumatannya begitu kuat hingga bibir bawahku sedikit tergigit. Hanya sebatas ini yang bisa kami lakukan. karena meski ciuman kami begitu panas dan tangannya aktif menyentuh bagian-bagian sensitifku, tetap saja belum berhasil membangunkannya. Rasanya hanya kami, pasangan pengantin baru yang menghabiskan malam pertama dengan kesibukan masing-masing, lebih tepatnya sibuk dengan smartphone. Dia tengah berrkonsultasi dengan Alde via w******p, aku juga melakukan hal yang sama. Aku berkonsultasi dengan Raya via w******p juga. Rasanya sungkan jika berbicara langsung lewat telpon. Jadi gimana Ray? Balasan Ray datang lebih cepat dari yang kukira. Aku rasa dia tengah bebas malam-malam begini. Bintang pasti sudah tidur. Atau mungkin aku dan Derrel mengganggu malam romantis mereka. Oh tentu tidak, Rayya masih nifas. Coba lakukan saat pagi, An. Pagi hari sebelum subuh, cowok biasa ereksi. Saat itu adalah waktu yang tepat untuk berhubungan. Habis itu kalian bisa langsung mandi sebelum sholat subuh. Aku balas lagi. Okay, makasih ya tipsnya. Rayya membalas, Sama-sama. Yang sabar ya. Dulu di malam pertama Alde cuma memberi kecupan singkat di bibir. Aku catat tips ini dalam kepalaku. Aku jauh lebih beruntung dari Raya di malam pertama. Setidaknya Derrel sudah berusaha memberi ciuman panas dan kecupan di seluruh tubuhku. Okay kita lihat besok pagi, apa tips ini akan berhasil? Kulirik Derrel yang tengah mengetik di layar smartphonenya. Aku rasa dia tak akan keberatan jika pagi nanti, aku mengganggunya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD