Pagi itu, saat langit masih gelap, Alzena terbangun tepat pukul lima. Dengan gerakan lembut, dia melipat selimutnya, mencuci muka, lalu mengambil air wudu untuk sholat Subuh. Setelah selesai, ia mengenakan mukena dan memulai ibadahnya dengan khusyuk. Suara lembutnya mengalun dalam doa, membangunkan Ferdinan yang ternyata tertidur di sofa ruang tengah.
Ferdinan membuka matanya perlahan, merasa aneh mendengar suara yang tenang di pagi hari. Dia menoleh ke arah kamar mandi dan melihat Alzena sedang menata mukena setelah selesai sholat. Entah mengapa, ada perasaan asing yang muncul di hatinya.
"Kenapa kau bangun sepagi ini?" tanya Ferdinan dengan suara serak karena baru bangun tidur.
Alzena sedikit terkejut, tidak menyangka Ferdinan sudah bangun. "Saya selalu bangun pagi untuk sholat Subuh," jawabnya singkat, tanpa menatap langsung ke arahnya.
Ferdinan memperhatikan Alzena yang melipat mukena dengan rapi. Sikapnya begitu sederhana, namun ada ketenangan dalam gerakannya yang membuat Ferdinan merasa... nyaman? Ia menggelengkan kepala, mencoba mengusir pikiran aneh itu.
"Kamu tidak merasa lelah setelah kerja seharian kemarin?" tanyanya tiba-tiba, mencoba mengalihkan pikirannya.
"Sudah terbiasa," jawab Alzena singkat, lalu menuju dapur untuk menyiapkan sarapan.
Ferdinan hanya duduk di sofa, memperhatikan punggung Alzena yang sibuk di dapur. Ada sesuatu yang berbeda pagi itu—sesuatu yang membuatnya merasa betah berada di rumah. Biasanya, ia tak peduli pada hal-hal kecil seperti ini, tetapi entah mengapa suara langkah Alzena, aroma teh yang mulai menyeruak, dan suasana tenang apartemennya terasa... nyaman.
Saat itu, Ferdinan tidak menyadari bahwa perlahan-lahan, hati kecilnya mulai terusik oleh kehadiran Alzena yang begitu sederhana namun penuh arti.
Alzena yang masih memakai piyama sederhana segera menuju dapur untuk menyiapkan sarapan. Pagi itu, meskipun tubuhnya sedikit lelah setelah seharian bekerja kemarin, ia tetap menjalani rutinitasnya seperti biasa. Saat sedang memotong sayuran untuk omelet, Ferdinan muncul dari ruang tengah.
"Sarapan buat tiga porsi," ucap Ferdinan tiba-tiba sambil berjalan ke dapur.
Alzena menoleh dengan alis terangkat. "Tiga porsi?" tanyanya memastikan.
"Iya, Mamaku ada di sini. Dia bangun biasanya sekitar jam tujuh," jawab Ferdinan sambil menuangkan segelas air.
Alzena mengangguk tanpa banyak bertanya. Ferdinan merasa ada yang aneh dengan sikap Alzena. "Kamu kenapa hahh, dari kemarin diam saja, sakit? atau... marah, gara-gara kejadian di kantor?"Ferdinan mengernyitkan keningnya.
"Maaf pak, tugas saya saat ini bukankah hanya menjalan tugas sebagai istri? tidak lebih, jadi selama tugas saya dikerjakan dengan baik, maka tak ada lagi yang perlu kita bicarakan!" Alzena dengan nada tegas.
"Aishhh, kau... sungguh merepotkan.Maunya apa sih!"Ferdinan merasa frustasi, dan mengacak rambutnya.
Dengan cekatan, Alzena melanjutkan memasak, menyiapkan omelet keju, roti panggang, dan teh hangat.
Meski suasana hatinya sedikit berat karena sikap Viola, ibu Ferdinan, yang dingin sejak datang semalam, Alzena tetap berusaha menunjukkan rasa hormatnya.
Ketika jam menunjukkan pukul tujuh, Viola keluar dari kamarnya dengan penampilan yang tetap anggun meskipun baru bangun. Wajahnya yang masih terlihat muda terpancar dengan aura yang tegas. Ia berjalan menuju ruang makan, di mana Alzena sudah menata meja dengan rapi.
"Selamat pagi, Ma" sapa Alzena sopan sambil menuangkan teh untuk Viola.
Viola hanya mengangguk kecil tanpa senyum. Tatapannya dingin dan penuh evaluasi. Ia mengambil tempat di meja dan mulai menyendok sarapan yang telah disiapkan. Ferdinan duduk di sebelahnya, menikmati makanannya tanpa banyak bicara.
Meski tidak diacuhkan, Alzena tetap menjaga sikap. Setelah selesai memastikan sarapan semuanya lancar, ia segera kembali ke kamarnya untuk berganti pakaian kerja. Pagi itu, ia mengenakan blouse sederhana berwarna putih dengan rok panjang hitam. Ia tampak siap untuk memulai hari barunya di kantor.
Sebelum pergi, Alzena pamit kepada Viola.
"Saya berangkat kerja dulu, Ma. Semoga Mama betah tinggal di sini" katanya lembut.
Viola hanya mengangguk kecil sambil menyeruput teh, tanpa membalas dengan kata-kata. Ferdinan sekilas melirik ibunya, merasa sedikit tidak nyaman dengan sikap dinginnya. Namun, dia memilih untuk diam.
"Kau tak mau menunggu, biar aku antar,"seru Ferdinan.
"Tidak terimakasih, silahkan lanjutkan sarapannya, saya naik bis saja."lirih Alzena.
Alzena berjalan keluar apartemen dan menaiki busway menuju tempat kerjanya, meninggalkan Viola dan Ferdinan di ruang makan. Di balik sikap dinginnya, Viola sebenarnya memperhatikan Alzena—terutama kesederhanaannya yang berbeda jauh dari Katrine, namun entah kenapa ada sedikit rasa kagum yang mulai muncul di hati kecilnya.
"Dia gadis yang lumayan cekatan, dan pekerja keras. Apa kamu tidak merasa malu, istrimu kerja sementara kamu sendiri punya perusahaan?"Viola mendengus menatap tajam ke arah Ferdinan.
"Itu maunya dia aku engga nyuruh, sudahlah mama sarapan saja ,aku mau mandi siap-siap."Ferdinan pergi ke kamar mandi . Dia melihat pakaiannya sudah siap di ranjang kamar Alzena, karena dia tak mau ibunya tahu jika mereka pisah kamar. Ferdinan mengingat kata-kata Alzena tadi. Ada perasaan aneh yang menusuk dihatinya. Seolah kata-kata itu memang bemar adanya.
Saat Alzena tiba di halte, ia menunggu busway yang akan membawanya ke kantor. Angin pagi yang sejuk menyapu wajahnya, membuat suasana hatinya sedikit lebih baik setelah pagi yang cukup menegangkan di rumah. Namun, saat ia melamun sejenak, suara yang sangat dikenalnya memecah kesunyian.
"Alzena?"
Ia menoleh dan melihat Devan, teman kuliahnya, berdiri di depannya dengan senyum lebar. Devan tampak rapi dengan kemeja biru muda dan celana bahan hitam.
"Devan? Kamu di sini?" Alzena mencoba terdengar biasa saja, meskipun ada rasa canggung yang tak bisa ia sembunyikan.
"Iya, aku kebetulan lewat sini tadi, terus lihat kamu. Kamu kerja di sekitar sini?" tanya Devan antusias.
Alzena mengangguk pelan. "Iya, aku kerja magang di salah satu perusahaan dekat sini."
Devan memandangnya sejenak, lalu berkata, "Kebetulan banget, aku juga ke arah sana. Aku antar kamu saja. Daripada naik busway, lebih nyaman kalau bareng aku pakai mobil."
"Ah, nggak usah, Devan. Aku nggak mau merepotkan," tolak Alzena dengan halus.
Namun, Devan bersikeras. "Repot apanya? Aku juga ke arah yang sama. Lagipula, sudah lama kita nggak ngobrol. Anggap saja ini reuni kecil."
Alzena berusaha menolak lagi, tapi Devan tidak memberinya kesempatan. Dengan cepat, ia mengarahkan Alzena menuju mobilnya yang diparkir di dekat halte. "Ayo, nggak usah sungkan," katanya dengan nada meyakinkan.
Akhirnya, karena tidak ingin berdebat di depan umum, Alzena mengalah. Ia masuk ke dalam mobil Devan, meskipun hatinya sedikit ragu.
Sepanjang perjalanan, Devan menceritakan banyak hal tentang kehidupannya setelah kuliah, termasuk pekerjaannya yang kini menjadi manajer di sebuah perusahaan besar. Alzena hanya menanggapi seperlunya, merasa tidak nyaman berada dalam situasi ini.
Namun, yang tidak Alzena sadari adalah bahwa di rumah, Ferdinan yang sedang bersiap ke kantor menyadari ada hal aneh ketika Ia melihat Alzena berbicara dengan seorang pria di halte, lalu masuk ke mobil pria tersebut. Entah kenapa, perasaan tidak nyaman mulai menguasai Ferdinan. Ada sesuatu yang mengganggunya, meskipun ia tidak tahu apa.
"Siapa pria itu?" gumamnya pelan, matanya terpaku pada pemandangan didepannya.
Saat Alzena tiba di halte, ia menunggu busway yang akan membawanya ke kantor. Angin pagi yang sejuk menyapu wajahnya, membuat suasana hatinya sedikit lebih baik setelah pagi yang cukup menegangkan di rumah. Namun, saat ia melamun sejenak, suara yang sangat dikenalnya memecah kesunyian.
"Alzena?"
Ia menoleh dan melihat Devan, teman kuliahnya, berdiri di depannya dengan senyum lebar. Devan tampak rapi dengan kemeja biru muda dan celana bahan hitam.
"Devan? Kamu di sini?" Alzena mencoba terdengar biasa saja, meskipun ada rasa canggung yang tak bisa ia sembunyikan.
"Iya, aku kebetulan lewat sini tadi, terus lihat kamu. Kamu kerja di sekitar sini?" tanya Devan antusias.
Alzena mengangguk pelan. "Iya, aku kerja magang di salah satu perusahaan dekat sini."
Devan memandangnya sejenak, lalu berkata, "Kebetulan banget, aku juga ke arah sana. Aku antar kamu saja. Daripada naik busway, lebih nyaman kalau bareng aku pakai mobil."
"Ah, nggak usah, Devan. Aku nggak mau merepotkan," tolak Alzena dengan halus.
Namun, Devan bersikeras. "Repot apanya? Aku juga ke arah yang sama. Lagipula, sudah lama kita nggak ngobrol. Anggap saja ini reuni kecil."
Alzena berusaha menolak lagi, tapi Devan tidak memberinya kesempatan. Dengan cepat, ia mengarahkan Alzena menuju mobilnya yang diparkir di dekat halte. "Ayo, nggak usah sungkan," katanya dengan nada meyakinkan.
Akhirnya, karena tidak ingin berdebat di depan umum, Alzena mengalah. Ia masuk ke dalam mobil Devan, meskipun hatinya sedikit ragu.
Sepanjang perjalanan, Devan menceritakan banyak hal tentang kehidupannya setelah kuliah, termasuk pekerjaannya yang kini menjadi manajer di sebuah perusahaan besar. Alzena hanya menanggapi seperlunya, merasa tidak nyaman berada dalam situasi ini.
"Terimakasih Devan atas tumpangannya,"Alzena tersenyum.
"Iya sama-sama, jadi kamu bekerja di sini?"Devan mengernyitkan keningnya.
"Iya, aku duluan ya ."