Bab 6

1064 Words
Di bandara, perbedaan antara Alzena dan Katrine begitu mencolok. Alzena tampil sederhana dengan jeans dan kaos putih yang dibalut dengan outer rajut, memberikan kesan anggun namun bersahaja. "Pasti dia merasa cantik, makanya dia bersikap angkuh, enggak nyangka aktris kelakuannya begini!"batin Alzena. Sementara Katrine, dengan hot pants jeans yang sangat pendek dan kemeja yang hampir sejajar dengan celananya, memakai kacamata hitam bermerek dan jaket kulit cokelat yang memberi kesan glamor, tampil percaya diri di setiap langkahnya. "Awas, minggir, kamu duduk dibelakang, jangan ganggu kita!'Katrine mengibaskan tangannya. "Iya nona Katrine aktris yang terkenal baik hati dan juga sangat beratitude."Sindir Alzena, dia gadis yang sederhana dan lembut namun dia tahu cara menghadapi orang yang menindas nya. "Apa katamu?" "Memangnya ada yang salah? dengan kata-kataku? seorang aktris yang berdedikasi tinggi, yang tak menjaga prilakunya ,iya kan ,enggak mungkin satu kamar dengan suami orang iya kan?"Alzena kembali melontarkan kata-kata yang memang benar adanya. "Honey, kamu dengar, gadis songong ini? dia kurang ajar sama aku " "Ambila saja mbak, enggak apa-apa, saya enggak butuh!"Alzena duduk di jok belakang. "Alzena, jaga kata-katamu, jangan buat keributan."Ferdinan dengan nada dinginnya. "Baik, lain kali kalau anda memang mau bersenang-senang have fun, berduaan tanpa pengganggu, jangan ajak saya!" "Deg "Ferdinan terdiam , dia lah yang membuat ulah. Mengajak Katrine di acara honeymoonnya. Akhirnya mereka sampai di bandara . Orang-orang di sekitar mereka seolah bisa melihat perbedaan status di antara kedua wanita ini, Alzena yang rendah hati dan sederhana, serta Katrine yang penuh gaya dan mencolok. Saat tiba waktunya untuk berpisah, Katrine menatap Ferdinan dengan pandangan menggoda, tetapi ia tidak bisa menahan rasa kesal karena harus meninggalkan lelaki yang ia cintai. "Honey... I love you, see you ." Mereka bertukar pelukan singkat, lalu Katrine pergi tanpa menoleh lagi. Setelah itu, Ferdinan dan Alzena melanjutkan perjalanan mereka bersama, dengan suasana yang kini terasa lebih tenang. Sesampainya di apartemen Ferdinan yang mewah, Alzena terkesan dengan kemewahan tempat tinggal tersebut. Lantai marmer mengkilap, perabotan elegan, dan dekorasi modern yang memperlihatkan selera tinggi Ferdinan. Namun, meskipun kagum, ia tidak memperlihatkan antusiasme berlebihan, tetap bersikap tenang dan kalem, seperti biasanya. “Ini kamar kamu,” ujar Ferdinan sambil menunjukkan sebuah pintu di ujung lorong. Alzena mengangguk pelan, merasa lega karena mereka akan menempati kamar terpisah. "Baiklah, setidaknya kamar ini sangat nyaman."Batin Alzena. Baginya, keadaan ini membuatnya lebih nyaman, jauh dari suasana yang memaksanya harus dekat secara fisik dengan seseorang yang hanya menikah dengannya atas dasar kesepakatan. “Terima kasih,” jawab Alzena singkat, lalu masuk ke dalam kamarnya. Kamar itu sama mewahnya dengan bagian lain apartemen, dilengkapi dengan tempat tidur besar, sofa empuk, dan balkon yang menghadap ke kota. Alzena berdiri di depan jendela, menikmati pemandangan malam kota yang penuh cahaya. Namun, ada perasaan sepi yang menyelimutinya, meski ia berada di tempat yang indah. Sementara itu, Ferdinan berjalan menuju kamarnya sendiri, masih memikirkan ucapan Alzena beberapa malam yang lalu. Tentang hubungannya dengan Katrine. Dibalik sikapnya yang cuek dan acuh, Ferdinan merasa ada sesuatu yang berbeda dalam hidupnya sejak Alzena hadir. Meski masih mencoba untuk tidak mempedulikan kehadirannya, dalam hatinya ia tahu bahwa Alzena bukan wanita biasa. Kesederhanaan dan ketulusan yang dimiliki Alzena berbeda dari orang-orang di sekitarnya, termasuk Katrine. Alzena berdiri di dapur, mengolah bahan-bahan yang tersisa di kulkas dengan cekatan. Ia menyiapkan beberapa hidangan sederhana namun menggugah selera. Aroma wangi rempah dan masakan mulai menyebar, memenuhi setiap sudut apartemen. Tak lama, aroma itu menggelitik hidung Ferdinan yang sedang istirahat di kamarnya. Ia terbangun, awalnya merasa terganggu, namun perlahan tertarik oleh aroma lezat yang belum pernah ia cium di apartemennya. Ferdinan berjalan menuju dapur dan mendapati Alzena tengah sibuk menata hidangan di meja makan. Dengan apron sederhana, rambutnya yang rapi diikat ke belakang, Alzena tampak fokus pada masakannya, seolah lupa bahwa ia sedang berada di apartemen seseorang yang nyaris dianggap asing. Ferdinan berdiri di ambang pintu dapur, menyandarkan tubuhnya sambil melipat kedua tangan di d**a. "Tumben masak?" tanyanya, dengan nada sedikit sinis. Alzena tersentak mendengar suara Ferdinan, namun ia tetap tenang dan tersenyum kecil. "Saya pikir, setidaknya saya bisa membuatkan makan malam. Bagaimanapun, Anda suami saya, meskipun... ya, kita tahu ini hanya pernikahan pura-pura," jawabnya lembut namun tegas, sambil melanjutkan menyajikan hidangan di meja. Ferdinan mengangguk pelan, tak berkata apa-apa, namun ia mendekat ke meja makan dan melihat hidangan yang disiapkan Alzena. Nasi hangat, sayur tumis, ayam panggang dengan saus kecap, dan sup jagung. Semua terlihat sederhana, tetapi aromanya begitu menggugah selera. "Saya tidak tahu kamu bisa masak," ujarnya sambil menarik kursi dan duduk, sedikit terpukau. Alzena hanya tersenyum dan ikut duduk di hadapannya. "Saya tidak terbiasa makan di luar terus-menerus. Jadi, saya lebih sering masak sendiri, dari dulu," ujarnya sambil mulai menyendokkan nasi ke piringnya sendiri. Ferdinan mencicipi satu sendok tumis sayur itu dengan ragu. Namun begitu menyentuh lidahnya, ia tidak bisa menahan rasa kagum. "Enak," gumamnya tanpa sadar, lalu menambahkan, "Kamu ternyata lebih pandai memasak daripada tampil glamor." Alzena tertawa kecil. "Saya bukan model atau aktris, jadi glamor bukan bagian dari diri saya. Sederhana dan praktis, itu saja yang penting bagi saya." Mereka makan dalam keheningan yang nyaman, masing-masing menikmati hidangan di hadapan mereka. Tanpa sadar, Alzena telah membuat Ferdinan merasa lebih hangat dan tenang daripada biasanya. Bagi Ferdinan, makan malam ini adalah sesuatu yang berbeda, jauh dari keramaian pesta mewah atau restoran berkelas yang biasanya ia kunjungi. "Terima kasih, Alzena," ujar Ferdinan tiba-tiba, mengejutkan dirinya sendiri. Alzena mengangguk pelan, tersenyum. "Sama-sama. Makanlah yang banyak. Besok kita punya banyak kesibukan, bukan?" Ferdinan hanya mengangguk, menyadari bahwa ada sesuatu yang mulai berubah dalam perasaannya terhadap wanita sederhana yang kini duduk di hadapannya. "Oh iya, aku tidak bisa terus di rumah, bolehkah aku bekerja ? karena setelah lulus kuliah aku belum bekerja, setidaknya mengisi waktu saja."Alzena mengernyitkan keningnya . "Baiklah, kita sepakat aku takkan mencampuri urusanmu, dan kau tak boleh mencampuri urusanku. "Ferdinan menatap tajam ke arah Alzena. "Baiklah tapi, aku takkan mengijinkan kamu membawa wanita pirang itu, datang ke apartemen ini, apapun alasannya aku tidak mau!"Alzena menegaskan ucapannya. "Heuhhh kalau begitu aku akan mengganti password door locknya. Bagaimana kalau tanggal pernikahan kita." "Bukankah pernikahan ini tak ada arti apa-apa, buat kamu, kenapa pakai tanggal pernikahan?" Alzena mengernyitkan keningnya. "Agar mudah diingat, aku dan kamu pasti hafal tanggal pernikahan kita bukan?"Ferdinan berusaha untuk mencari jawaban. Dengan dingin dia pergi ke kamarnya. Malam itu, mereka berdua tidur di kamar terpisah, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri. Alzena memikirkan apa yang akan terjadi di dalam pernikahannya saat ini.Semua begitu cepat dan seperti mimpi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD