Malam itu, Alzena merasa tubuhnya begitu lelah setelah seharian bekerja dan menghadapi berbagai kejadian, termasuk pertemuannya dengan Ferdinan di kantor. Setelah selesai sholat Maghrib dan memastikan makanan sudah tersaji di meja, ia memilih untuk tidak banyak berbicara dengan Ferdinan yang baru saja pulang.
Alzena menatap singkat Ferdinan dari dapur ketika ia masuk rumah, masih mengenakan pakaian kerjanya, dengan wajah yang tampak lelah. Namun, ia tidak ingin memulai pembicaraan, terutama setelah melihat kemesraannya dengan Katrine di kantor tadi. Ia berusaha menahan rasa sakit itu sendirian, tetap menjaga sikapnya sebagai istri yang bertanggung jawab.
Setelah Ferdinan duduk di meja makan, ia mencicipi masakan Alzena. Tak ada komentar apapun, tetapi ia memakan semuanya dengan lahap. Rasanya berbeda malam ini. Biasanya, Alzena akan mengajak bicara meskipun sekadar menanyakan kabarnya, namun kini suasana begitu hening.
Ferdinan sesekali melirik Alzena yang sibuk mencuci piring, namun ia tidak tahu harus berkata apa. Bahkan setelah menikmati makanannya, ia tetap merasa aneh.
"Masakannya enak," gumam Ferdinan akhirnya, meskipun suaranya hampir tak terdengar.
Namun, Alzena tidak merespons. Ia hanya melanjutkan pekerjaannya di dapur dengan tenang, lalu segera naik ke kamarnya setelah semuanya selesai. Ferdinan mengernyit, merasa ada yang berbeda dari sikap Alzena malam itu. Biasanya ia lebih ceria meskipun terkadang terasa canggung.
Di dalam kamarnya, Alzena merebahkan tubuh di tempat tidur. Ia menatap langit-langit kamar dengan perasaan campur aduk, lalu menutup matanya dengan perlahan. Kelelahan fisik dan emosional membuatnya tertidur lelap tanpa menyadari apapun.
Di ruang tengah, Ferdinan masih duduk di sofa, memikirkan sikap Alzena yang berubah. Ia tidak tahu kenapa, tapi ada rasa bersalah yang perlahan muncul di dalam dirinya. Apakah karena ia mengabaikannya terlalu sering? Atau karena sikapnya yang terus terang memperlihatkan kasih sayangnya kepada Katrine di depan Alzena?
Pikirannya terus mengganggu, namun ia berusaha mengabaikannya. Ferdinan menghela napas panjang, bangkit dari sofa, lalu menuju kamarnya. Namun, sepanjang malam, tidurnya tidak pernah benar-benar nyenyak. Ada sesuatu tentang Alzena yang mulai mengganggu pikirannya lebih dalam daripada yang ingin ia akui.
"Ada apa dengannya, kenapa dia diam saja?" Ferdinan mengernyitkan keningnya. Waktu saat ini baru jam 8 malam, dan dia mengecek pekerjaannya di laptop. Namun tiba-tiba terdengar suara bel apartemen berbunyi.
"Ting Tong."Suara bel berbunyi.
"Siapa ya, malam-malam begini?"
Malam itu, ketika Alzena sudah terlelap di kamarnya, pintu apartemen Ferdinan terbuka secara perlahan. Ternyata, ibunya, Ny. Viola Klein, datang tanpa pemberitahuan. Wanita berusia 48 tahun itu tetap terlihat anggun dengan pakaian mahal dan rambut yang tertata rapi. Meski usianya hampir mendekati setengah abad, ia masih memiliki pesona khas seorang sosialita yang elegan.
Viola masuk dengan membawa beberapa tas belanjaan bermerek, wajahnya sedikit cemberut. "Ferdinan, aku akan menginap di sini malam ini," katanya langsung tanpa basa-basi, sambil menurunkan tas belanjaannya di ruang tengah.
Ferdinan, yang baru saja mencoba memejamkan mata di kamarnya, terkejut mendengar suara ibunya. Ia keluar dengan wajah setengah mengantuk. "Mama? Apa yang Mama lakukan di sini malam-malam begini?" tanyanya bingung.
Viola mengibaskan tangan dengan santai. "Kakekmu tadi malam marah besar. Kamu tahu kan bagaimana dia kalau soal uang? Padahal Mama hanya belanja sedikit," jelasnya sambil duduk di sofa.
Ferdinan menghela napas panjang. "Belanja sedikit? Kalau Mama sampai kabur ke sini, artinya Mama pasti sudah menghabiskan ratusan juta lagi, kan?"
Viola tersenyum kecil, tidak merasa bersalah. "Ya ampun, Ferdinan. Kamu ini selalu membela Kakekmu. Uang itu ada untuk dinikmati, bukan cuma disimpan," ujarnya ringan.
Ferdinan hanya menggelengkan kepala. "Kakek itu sangat menghargai kerja keras, Ma. Itu alasan kenapa dia selalu ketat soal pengeluaran."
Viola mendesah panjang, lalu memperhatikan apartemen Ferdinan. "Oh ya, bagaimana kehidupanmu dengan istrimu? Aku harap dia tidak terlalu merepotkan. Aku sebenarnya belum begitu kenal dia," katanya, mengubah topik.
Ferdinan sedikit canggung. "Alzena baik, Ma. Dia tidak merepotkan," jawabnya singkat.
Viola mengangkat alis. "Hanya 'baik'? Kamu tidak terdengar seperti suami yang bahagia," ujarnya menggoda.
Ferdinan tidak menjawab, malah berjalan ke dapur untuk membuat teh. Viola berdiri dan melihat-lihat apartemen itu, lalu matanya tertuju pada kamar tamu yang sedikit terbuka. Ia mengintip ke dalam dan melihat sosok Alzena yang sedang tertidur lelap di ranjang.
"Oh, jadi ini dia," bisik Viola, tersenyum kecil.
Viola masuk perlahan, mendekati Alzena. Ia memperhatikan wajah menantu barunya itu dengan saksama. Tanpa riasan dan dalam tidurnya yang damai, Alzena terlihat begitu polos dan cantik alami. Viola tersenyum tipis. "Dia cantik, tapi gayanya sederhana sekali. Tidak seperti Katrine," gumamnya pelan.
Ferdinan yang melihat ibunya masuk ke kamar Alzena langsung menegur. "Mama, jangan ganggu dia. Dia sudah tidur."
Viola berbalik dengan ekspresi penasaran. "Aku tidak ganggu, kok. Hanya melihat-lihat. Tapi, Ferdinan, kamu yakin bisa hidup dengan wanita sesederhana ini? Dia berbeda jauh dari Katrine, tahu."
Ferdinan mendesah kesal. "Mama, jangan mulai lagi. Katrine itu urusan lain."
Viola tersenyum licik. "Baiklah, aku tidak akan ikut campur. Tapi, Ferdinan, ingat. Kalau kamu ingin bahagia, pastikan kamu memilih pasangan yang benar. Kakekmu tidak akan terus mengontrol hidupmu."
Setelah itu, Viola kembali ke ruang tengah dan memutuskan untuk beristirahat di kamar tamu lainnya. Namun, sebelum tidur, ia masih menyimpan rasa penasaran tentang Alzena. Ada sesuatu tentang gadis itu yang membuatnya berpikir dua kali—entah karena kesederhanaannya atau aura tenangnya yang berbeda dari Katrine.
"Ferdi, mama tidur di kamar sebelah ya, "Viola langsung memasuki kamar Ferdinan. Dan dia tanpa menunggu jawaban Ferdinan langsung merebahkan tubuhnya di ranjang kingsize milik Ferdinan.
"Gawat, jadi aku tidur dimana ?"Ferdinan merasa frustasi di situasi seperti ini. "Apa aku tidur di kamarnya Alzena ya, bagaimana kalau dia bangun lalu dia marah?"gumam Ferdinan.
Ferdinan terpaksa tidur di sofa yang ada di kamar Alzena. Makanya menatap wajah Alzena yang terlihat sangat tenang dan damai dalam tidurnya, dan terlihat cantik.
"Dia memang cantik.,juga tegas, keras kepala juga, kadang ngeselin." Ferdinan langsung merebahkan tubuh tingginya di sofa tersebut.
Saat itu Ferdinan berusaha memejamkan matanya, karena besok dia harus berangkat ke kantor, ada beberapa meeting penting. Dia memainkan ponselnya agar bisa segera tidur. Sebelumnya dia pasti akan telponan dengan Katrine hingga tertidur. Entah kenapa dia enggan menelepon kekasihnya tersebut.
"Huffft, kenapa aku susah tidur ya?"Ferdinan mendekati ranjang dan menelisik wajah Alzena dari dekat. "Sebenarnya dia cantik, bulu matanya lebat, bibirnya...."Jantung Ferdinan berdegup kencang, saat menatap bibir ranum dan berwarna pink milik Alzena.
"Cup."Entah dorongan darimana, Ferdinan mencium bibir Alzena yang sedang terlelap, bahkan dia mengakses rongga mulut Alzena dengan leluasa. "Ternyata sangat manis, rasanya, huaahhh, akhirnya aku ngantuk juga,"gumam Ferdinan dan dia tertidur, lelap terbuai mimpi.
"Loh, kok dia tidur di sini?"Alzena bangun dengan terkejut.