Bab 5 Menegaskan posisinya sebagai istri

1277 Words
Ferdinan, yang tak mampu menahan keinginannya lebih lama, akhirnya menceburkan dirinya ke dalam kolam. Percikan air yang ditimbulkannya membuat Alzena menoleh sejenak, namun ia memilih tak menghiraukannya dan melanjutkan berenang dengan gerakan yang anggun dan terlatih. Ferdinan, yang awalnya hanya ingin berenang untuk menemaninya, tanpa sadar semakin mendekat, terpesona oleh ketenangan Alzena di air. Saat Alzena berenang menuju tepi kolam, Ferdinan pun mengikuti. Namun, momen tenang itu tak bertahan lama. Katrine, yang baru bangun dan mencari Ferdinan, berjalan mendekati kolam renang. Matanya membulat saat melihat Ferdinan bersama Alzena, bahkan di dalam kolam yang sama. Amarahnya langsung membara. “Ferdinan, apa yang kamu lakukan di sini bersama dia?” sergah Katrine tajam dengan nada sinis. Tanpa menunggu jawaban, ia melayangkan pandangan penuh kebencian pada Alzena. “Kamu benar-benar gadis penggoda! Pantas saja kamu pura-pura sederhana—hanya untuk mencuri perhatian Ferdinan, bukan?” Alzena, yang biasanya memilih diam dan menghindar, merasa tuduhan itu sudah kelewat batas. Kali ini, ia tidak berniat mengalah. Alzena menatap Katrine dengan tatapan tajam dan penuh ketenangan. “Gadis penggoda?” balas Alzena tenang namun tegas. “Lucu sekali, Katrine. Aku tidak pernah meminta berada di sini. Justru kamu yang datang-datang ke bulan madu orang lain dan tanpa rasa malu menunjukkan kemesraanmu di depan istri sahnya.” Katrine tampak tersentak mendengar kata-kata itu. Ia tak menyangka Alzena berani bicara seperti itu. “Apa yang kamu maksud, Alzena? Kamu itu hanya gadis pengganti, tidak lebih. Jangan merasa punya hak apa pun atas Ferdinan!” teriak Katrine. Alzena menghela napas panjang, berusaha tetap tenang meski hatinya terasa perih. “Justru kamu yang datang sebagai orang ketiga dalam pernikahan ini, Katrine. Bukan aku yang mengundangmu, dan bukan aku yang memintamu ada di sini. Jika ada yang mengusik orang lain, mungkin kamu harus introspeksi, siapa sebenarnya yang berada di posisi salah.” Ferdinan, yang berada di antara keduanya, mendadak merasa bingung. Ia tak menyangka Alzena akan bersikap setegas itu. Di satu sisi, ia ingin membela Katrine, namun di sisi lain, ia mulai merasa bahwa Alzena tidak seharusnya disalahkan dalam situasi ini. Katrine merasa tak terima atas balasan Alzena. Dengan wajah merah padam, ia menatap Ferdinan, menuntut pembelaan darinya. “Lihat saja, Ferdi! Dia mencoba merusak hubungan kita. Kamu benar-benar mau mengabaikan semua ini?” Namun, kali ini Ferdinan tetap terdiam. Sikap Alzena yang tenang dan berani membuka matanya akan sesuatu yang selama ini ia abaikan bahwa Alzena tak pernah meminta berada di posisi ini, dan bahwa mungkin Katrine yang terlalu mendominasi. Alzena akhirnya memutuskan untuk meninggalkan kolam, membiarkan Katrine dan Ferdinan menyelesaikan masalah mereka sendiri. Dengan langkah yang anggun, ia pergi tanpa menoleh, memilih menjaga harga dirinya daripada terlibat dalam pertengkaran yang tak ada ujungnya. Di dalam hatinya, ia berjanji bahwa dirinya takkan membiarkan siapa pun merendahkan harga dirinya lagi, termasuk Katrine. Siang itu, ruangan tengah villa terasa hening, hanya diisi suara dari televisi yang memutar sebuah film romantis. Ferdinan dan Katrine duduk berdekatan di sofa, menikmati adegan-adegan manis dalam film. Namun, Katrine tiba-tiba menjadi lebih agresif dari biasanya. Dengan tatapan penuh hasrat, ia menarik Ferdinan lebih dekat, menautkan bibirnya pada bibir Ferdinan, seolah tak peduli dengan apapun di sekitarnya. Sementara itu, Alzena yang sedang haus berjalan pelan menuju dapur untuk mengambil minum. Ia baru saja melewati ruang tengah ketika matanya tanpa sengaja menangkap pemandangan di sofa—Katrine yang menempel mesra pada Ferdinan. Alzena terdiam sejenak, matanya tak bisa lepas dari mereka, meski ia tahu seharusnya tak perlu memerhatikan. Di dalam hatinya, ada perasaan tak nyaman yang ia sendiri tak mengerti. Ia berpikir untuk segera berlalu tanpa mengganggu mereka, tetapi matanya bertemu dengan tatapan Ferdinan. Ferdinan yang tengah tenggelam dalam pagutan panasnya dengan Katrine, tiba-tiba merasa ada yang mengawasinya. Saat ia menoleh, ia melihat Alzena berdiri di ujung ruangan, menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Cukup Katrine, aku ..." Ada sekilas perasaan canggung yang tiba-tiba muncul di dalam dirinya. Tanpa sadar, ia refleks menjauhkan Katrine dari pangkuannya, membiarkan jarak di antara mereka. Tindakan spontan ini membuat Katrine bingung dan heran. “Kamu kenapa, Ferdi?” tanya Katrine dengan nada kecewa, mengerutkan kening saat ia memperhatikan perubahan sikap Ferdinan. Ferdinan seolah kehilangan kata-kata. Ia tak ingin terlihat lemah atau merasa bersalah, namun ia juga tak bisa mengabaikan perasaan aneh yang menyelimuti pikirannya setelah melihat Alzena di sana. “Aku… hanya merasa sedikit lelah,” jawab Ferdinan, mencoba menghindari penjelasan lebih lanjut. Katrine menatapnya dengan kecurigaan yang samar, namun akhirnya ia memutuskan untuk tidak menekannya lebih lanjut. “Baiklah,” ucapnya pelan, meskipun jelas ia tidak puas dengan jawaban itu. Alzena yang menyaksikan semua ini merasa sedikit terganggu. Ia tak ingin berada di situasi yang membuatnya canggung atau memberi kesan bahwa ia mencampuri urusan mereka. "Huhh, kalau begini mataku bisa ternoda dengan kelakuan kotor mereka," Segera, ia mengalihkan pandangannya, mengambil segelas air di dapur, dan pergi kembali ke kamarnya dengan langkah cepat."Lupakan ,lupakan,pokoknya lupakan Alzena..."Alzena menepuk pelan kepalanya. Di balik kepergiannya, Ferdinan tidak bisa menahan diri untuk berpikir tentang Alzena. Ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Ferdinan merasa terpecah antara komitmen palsunya dengan Alzena dan perasaannya pada Katrine. Bayangan Alzena yang terlihat tenang dan penuh harga diri membuatnya merasakan hal-hal yang tak pernah ia duga,"Ada apa denganku ."Ferdinan merasa ada sesuatu yang menciptakan sebuah kebingungan dalam hatinya."Aneh, perasaan apa ini, yang jelas enggak mungkin aku suka sama perempuan itu!" Malam itu, Alzena merasa lapar dan memutuskan untuk memasak mie instan di dapur villa. Ia memasak dalam kesunyian, merasakan aroma mie yang mendidih dalam panci kecil. Di saat yang sama, Ferdinan memasuki dapur untuk membuat teh. Mereka berdua saling menyadari kehadiran masing-masing, namun tak satu pun dari mereka berbicara—setidaknya sampai Alzena memecah keheningan. “Ferdinan,” ucap Alzena dengan suara tenang, namun ada nada serius di baliknya. Ferdinan menoleh, sedikit terkejut dengan inisiatifnya untuk berbicara. Alzena melanjutkan, “Aku tahu ini mungkin bukan urusanku, tapi aku ingin mengatakan sesuatu.” Ia menarik napas dalam-dalam, menatap mata Ferdinan dengan penuh keteguhan. “Apa yang kamu dan Katrine lakukan… kamu tahu itu melanggar agama. Jika kalian terus melakukannya, itu bukan sekadar salah, tapi dosa. Kita sudah menikah, meskipun aku tahu pernikahan ini bukan atas dasar cinta. Namun, tetap saja, apa yang kamu lakukan itu zina, dan aku tak ingin berada di tengah situasi seperti ini.” Ferdinan sempat terdiam mendengar kata-kata Alzena. Awalnya, ia merasa terganggu dan tak terima ditegur tentang urusan pribadinya. Dengan nada ketus, ia menjawab, “Itu urusanku, Alzena. Kamu tidak perlu ikut campur.” Alzena tidak mundur. “Mungkin benar, tapi ini bukan hanya tentang kamu atau aku. Pernikahan ini—sekalipun tidak seperti pernikahan yang biasa—tetap saja kita terikat komitmen. Aku tidak ingin terlibat dalam sesuatu yang menyalahi agama, dan aku tidak akan berpura-pura menyetujuinya.” Ferdinan menatapnya lama, mencerna ucapan Alzena yang penuh kejujuran dan ketulusan. Ada sesuatu dalam kata-katanya yang menyentuh hati Ferdinan, meski ia sendiri tidak mengerti kenapa. Kata-kata Alzena berhasil menimbulkan perasaan bersalah yang selama ini coba ia abaikan. Tanpa berkata apa-apa lagi, Ferdinan berbalik meninggalkan dapur, meninggalkan Alzena dengan perasaan campur aduk. Malam itu, ia memutuskan untuk tidur di sofa ruang tengah, menahan diri dari keinginan untuk berbagi kamar dengan Katrine seperti malam-malam sebelumnya. Ia tidak tahu mengapa teguran Alzena begitu berpengaruh padanya, namun malam itu ia merasa lebih tenang. Katrine, yang mendapati Ferdinan memilih tidur di sofa, merasa bingung dan sedikit terluka. Namun, Ferdinan tetap pada keputusannya, meski tanpa penjelasan. Di dalam hatinya, ada sebuah perubahan kecil yang mulai tumbuh, dan semua itu berawal dari teguran sederhana namun tulus dari Alzena. Dan akhirnya mereka pun bersiap pulang ke kota xxx tanpa ada kata-kata dari Alzena dan juga Ferdinan, Katrine sesekali merengek manja. "Ada apa denganmu honey, kenapa kau diam saja heum?"Katrine merasa ada yang aneh dengan kekasihnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD