Mimi sudah menelungkupkan tubuhnya diatas kasur ternyaman sejak pukul tujuh tadi. Padahal biasanya dia baru pulang kerja pukul delapan malam. Itu karena sejak jam enam dia sudah pulang dari kantor barunya, dan besok dia tetap bekerja di kantor lamanya hingga awal bulan.
Radit, abangnya tadi menjemputnya di depan gang, curiga karena Mimi membawa banyak kantung belanjaan yang dia yakini hasil menjarah dari toko koh Ahong yang diamuk massa. Dan dengan susah payah Mimi menjelaskan kalau kantor barunya itu yang memberikan itu semua untuknya sebagai penunjang pekerjaanya nanti.
Selain mengomentari pemborosan yang dilakukan kantor barunya itu, Radit juga menuduh kalau bos Mimi yang baru pasti matanya terkena katarak, sehingga tidak bisa membedakan Mimi dan memintanya jadi sekretaris pribadi seperti itu. Dan untuk kali ini Mimi sudah kehabisan tenaga untuk berdebat dengan Radit, abang semata wayangnya. Makanya Mimi lebih milih tiduran dan guling-gulingan di kasur.
"Kuda Nil! Ada cowok lo noh di depan." Radit melongokkan kepala di pintu kamar Mimi, lalu dia membuka pintu itu dan bersedekap, menghalau Mimi untuk keluar.
"Inget pesen abang lo yang ganteng ini ya, jangan jujur sama dia tentang gaji lo, gue tuh yakin dia Cuma morotin elo doang Mi. Denger omongan gue!"
"Bawel!" desis Mimi sambil mendorong Radit hingga tubuh Radit harus terpental menabrak tembok. Radit mengaduh dan mengerucutkan bibirnya sebal.
Mimi hanya mengenakan baju tidur kumalnya keluar dari kamar, di teras Zaldy sudah menunggu dengan tatapan penuh penyesalan. Terlihat tampan seperti biasanya.
"Mi," Zaldy bangkit dan Mimi hanya mengangkat tangan meminta Zaldy duduk kembali. Rumah Mimi berdesign ala rumah Betawi, dengan teras besar di depannya juga banyak pepohonan yang menambah sejuk.
Mimi mengambil duduk di kursi sebelah meja, membatasi dirinya dari Zaldy.
"Mau ngarang apalagi sekarang?" Sinis Mimi,
"Aku Cuma mau ngucapin selamat ke kamu karena udah kerja di tempat yang jauh lebih bagus, yang tadi siang memang kesalahan aku. Aku khilaf Mi, dia deketin aku terus-terusan. Apalagi akhir-akhir ini kamu sibuk, kita jarang komunikasi... aku.."
"Bukannya kamu yang emang jarang hubungin aku ya?" Mimi mematahkan ucapan Zaldy. Setelah apa yang Mimi beri selama ini pada pria itu, dengan entengnya sang pria berselingkuh di depan matanya seperti itu.
Mimi teringat ketika tak lama setelah mereka jadian, Zaldy resign dari kantor pengiriman barang tersebut. Dia sempat menjadi supir pribadi selama dua tahun, lalu berhenti entah kenapa? Padahal saat itu dia sedang menempuh perkuliahan. Dan dia pun melamar menjadi ojek online, sempat bekerja di sebuah rumah makan juga, lalu menganggur lagi hingga kini.
Dan selama itu pula Mimi lah yang membiayainya, membayar kuliahnya, dengan alasan pinjam uang, namun tak pernah diganti. Mentraktirnya makan atau sekedar membelikannya pulsa.
Lamunan Mimi buyar karena Zaldy mengguncang bahunya, sepertinya omongan Radit ada benarnya.
"Oiya ngomong-ngomong gaji kamu di tempat yang baru berapa Mi? Kalau lebih kecil dari yang sebelumnya lebih baik jangan diambil, sayang." Mimi memandang takjub pada pria itu yang belum apa-apa sudah menanyakan gaji, tapi Mimi tak bisa berbuat banyak, dia sangat mencintai pria itu.
"Lebih besar dikit, oiya tabungan pernikahan kita udah berapa? Aku mau liat bukunya dong," Mata Zaldy membelalak, dia menggaruk kepalanya.
"Ehmm aku enggak bawa-bawa lah buku tabungan itu, nanti yaa aku print." Selama ini Mimi bekerja dan menyisihkan gajinya untuk ditabung yang katanya tabungan pernikahan mereka berdua, pun dengan Zaldy yang katanya juga ikut menabung disana.
"Terserahlah, aku mau tidur." Mimi beranjak namun dengan cepat Zaldy menarik tangannya dan menyodorkan coklat batangan dengan hiasan pita ke tangan Mimi.
"Maafin aku ya, Love you... Mimpi indah ya sayang." Zaldy mengecup tangan Mimi, membuat ribuan kupu-kupu dalam perut Mimi berterbangan. Secepat itu wajahnya bersemu dan pipinya memanas. Zaldy mengusap kepala Mimi dan pamit pulang. Mimi masih diam seperti patung diperlakukan dengan manis oleh Zaldy, hal yang selalu membuatnya luluh lantak.
"Baru dikasih coklat udah klepek-klepek lo!" Toyor Radit ke kepala Mimi, diapun langsung pergi membawa sepeda motor besarnya.
"Haish berisik!" Sungut Mimi sambil masuk ke dalam setelah menutup pintu.
Dia berjalan ke kamar dan mulai bergulingan lagi di kasur, matanya masih belum juga mau terpejam. Terbayang kelakuan Zaldy tadi siang. Mimi sangat mencintainya, tapi apakah dia siap jika Zaldy terus-terusan berselingkuh di belakangnya?
***
Sementara itu di kost-Zaldy beberapa teman pria sudah menunggunya. Mereka asik nonton pertandingan bola dari televisi berukuran tiga puluh dua inci tersebut. Zaldy datang dan meletakkan helmnya dengan kasar.
"Gimana Mimi? Putus kalian?" tanya salah seorang teman Zaldy
"Enggaklah, dia tuh cinta mati sama gue." Jawab Zaldy sambil mengupas kacang kulit dan memakannya.
"Elo yang mati tanpa dia, ada juga!" Ledek temannya yang dibalas sorakan teman lainnya.
"Haha iya sih, bisa enggak makan gue klo putus sama dia, gak ada yang bayarin nih kostan dan biaya lainnya." Zaldy mengiyakan ucapan temannya tanpa merasa bersalah sedikitpun.
"Gue kira cewek bego udah enggak ada lagi di dunia, ternyata belum punah toh." Timpal teman lainnya membuat Zaldy malah merasa bangga karena telah memperdaya Mimi selama ini.
Dia memang tidak pernah sekalipun mencintai Mimi, dia hanya memanfaatkan kepolosan Mimi, yang mau saja diperdaya oleh pria player seperti dirinya.
Zaldy mulai sibuk berbalas pesan dengan kekasihnya, tak lupa mengirim ucapan selamat tidur untuk Mimi yang malang.
***
Hari demi hari dilalui Mimi seperti biasanya, bekerja di kantor pengiriman barang. Yang berbeda adalah kini Zaldy jadi lebih intens berhubungan dengannya, setiap hari dia diantar jemput oleh pria itu.
Zaldy memberikan perhatian yang sangat lebih ke Mimi membuat Mimi berbunga-bunga setiap harinya. Padahal Mimi tak tahu saja bahwa semua itu palsu.
Hingga kemudian, Mimi pun mulai bekerja sebagai sekretaris, hari-hari pertama bekerja terasa berat, ya banyak sekali orang yang seolah nyinyir padanya. Tapi Vino dan Cathy yang selalu berada disampingnya membuat Mimi sering lolos dari intimidasi karyawan lain.
Terlebih para atasan yang ingin berhubungan langsung dengan Vino, mereka yang biasanya bergenit ria dengan Cathy kini harus berhubungan dengan Mimi seorang yang notabenenya mempunyai fisik yang jauh berbeda dari Cathy.
Mengenai Zaldy, dia telah diterima bekerja di sebuah perusahaan. Entah perusahaan apa? Yang jelas dia hanya bisa bertemu Mimi setiap weekend saja, karena sejak jadi sekretaris Vino pun, untuk berangkat dan pulang kerja Mimi selalu bersama Vino yang memang selalu lewat depan gang rumahnya.
***
"MIMI!! Bujug buset dah! Udah jam berapa ini belum bangun juga lu! Mentang-mentang libur yak lu enak bener hidup lu! Bangun, rezeki dipatok ayam entar!" Teriak emak dengan logat betawi nya yang kental. Pasalnya memang matahari sudah ada di atas namun Mimi nampak masih pulas di dunia mimpinya. Dia bahkan menarik selimut sampai ke atas tubuhnya.
"Ayam matoknya beras mak sama nasi! Mana ada ayam matok rejeki. Udah ah Mimi mau tidur capek semalem abis Zumba ama keket!" Meski berceloteh Mimi bahkan tidak membuka matanya. Hingga emak semakin kesal dan keluar dari kamar.
Mimi pikir keadaan sudah aman, diapun membalik tubuhnya menghadap tembok. Namun baru saja terlelap kembali. Tubuhnya langsung terasa dingin dan basah. Ya! Emak menyiramnya dengan air bekas rendaman kain pel.
"Emak!! Allahuakbar aer apaan ini bau banget!"
"Baru dah lu bangun! Dari tadi susah banget gue bangunin! Pantes ya dikatain kuda nil sama abang lu! Sono mandi, perawan jam segini masih ileran! Kesel gua sama elu!" Protes emak sambil menenteng ember bekas air pel-an tersebut.
Mimi yang masih duduk dikasur segera mendorong selimutnya yang kini sudah basah plus kotor. Dengan bibir maju lima senti di kumpulkan selimut itu dalam satu rangkulan tangan, diapun berjalan ke kamar mandi sambil misuh-misuh.
"Ngapa lu Mi? Bibir jadi panjang gitu?" Tanya Radit sambil ngambil gorengan di meja.
"Berisik lu bang!" Sengit Mimi sambil menghentakkan kaki ke arah kamar mandi.
"Mi! Rubuh rumah bapak lu klo elu gebrak-gebrak gitu sambil jalan!" Teriak bapak entah dari mana? Membuat Mimi kesal, khayalan tentang tidur nyaman di hari libur pun musnah seketika.
***
Setelah mandi Mimi langsung mengeringkan selimutnya di mesin cuci dua tabung milik emaknya. Sementara Emak yang dari luar hanya mendengus melihat Mimi yang masih merengut menatap mesin cuci yang dibeli dari gaji pertamanya di kantor Vino.
"Mak, laper." Mimi menghentakkan kakinya ketika mendapati bahwa dibawah tudung saji meja makan tak ada nasi sebutirpun. Hanya ada gorengan itupun tinggal bakwan satu biji.
"Emak belom masak, beli aja sonoh ada ketoprak di depan." Tunjuk emak dengan dagu ke arah jalanan depan rumah.
"Yaudah sini duitnya."
"Kaga ada,"
"Mak, separuh gaji Mimi kan dikasih ke Emak masa udah abis aja? Ini baru tengah bulan lho mak. Emak beli pesawat ya?"
"Ngaco lu kalo ngomong, duit elu emak tabung buat lu nikah nanti! Lagian ngasih lima juta bae kayak ngasih semilyar, pake bilang beli pesawat segala luh!" Emak menepuk bahu Mimi yang lebar lalu masuk ke kamarnya.
Bertepatan dengan mesin cuci yang berhenti mengeringkan pakaian, Mimi pun membawa gulungan selimut itu ke halaman untuk dijemur, lalu dia berjalan ke penjual ketoprak di depan rumah.
Abang penjual ketoprak yang sedang melayani seorang pembeli itu cengengesan melihat Mimi.
"Eh ada Neng Mimi, beli ketoprak neng?"
"Beli somay ada bang?"
"Yah si eneng ngelawak siang-siang!" Dengus abang penjual ketoprak, tangannya lihai mengulek cabai dan kacang di piring beling. Lalu dia memasukkan ketupat dan toge serta bihun, membuat Mimi meneguk ludahnya karena sangat tergiur aroma kacang
"Ketopraknya satu setengah porsi ya bang, cabenya yang banyak." Celetuk Mimi sambil duduk di kursi hijau milik penjual ketoprak tersebut. Masa bodoh deh dengan senam Zumba yang dia lakukan semalam. Perutnya sudah berteriak minta diisi, dan dia tak bisa mengabaikannya.
"Siap neng,"
Disaat Mimi sedang asik menikmati Ketoprak sepiring penuh, disaat itu pula seorang pria berusia akhir tiga puluhan menatapnya dibalik kaca hitam mobil sedan mewah yang dikendarainya.
Pria berkumis tipis yang menyeringai dan melihat dengan tatapan tajam penuh aura permusuhan. Dia mencengkram erat kemudi mobilnya lalu memutar kunci dan melajukan mobil meninggalkan Mimi. Sambil bergumam, "Lo berani macam-macam, gue yang akan turun tangan langsung hadapin lo! Liat aja!"
Sementara di tempat lain, Vino yang sedang berenang mengangkat kepalanya ke atas. Disugar rambut basahnya sambil mengelap wajahnya dia naik ke atas melalui tangga kolam.
Tubuh atletisnya berkilauan terpapar sinar matahari. Tangan nya mengambil minuman berwarna orange di meja dan dengan segera meminumnya, dia tersenyum sambil menggeleng. Ingatannya beralih ke kejadian empat belas tahun silam. Dimana dirinya hampir saja meninggal karena tenggelam di kolam renang umun, kalau bukan Mimi yang menyelamatkannya. Mimi adalah pahlawan baginya, meskipun mungkin Mimi sudah sepenuhnya lupa akan kejadian itu.
***
Mimi membuka bungkus roti dan asik melahapnya, sementara Cathy mengenakan mascara di sampingnya. Mereka berdua saat ini sudah berada di kantor seperti biasa.
Seorang laki-laki berkumis tebal dengan mata yang jelalatan. Head bagian purchasing atau pembelian barang menghampiri meja sekretaris yang kini dihuni dua orang berbeda ukuran tubuh tersebut.
Laki-laki cukup tua bernama Hendro itu membawa berkas ke hadapan Cathy dan tersenyum sumringah, padahal tak sedikitpun Cathy meliriknya.
"Pagi bu Cathy, saya mau serahin dokumen untuk pa Vino." Cathy mendelik dan menutup maskaranya dengan agak kasar.
"Pak Hendro, please ya sepertinya sudah berbulan-bulan deh tugas internal perusahaan dipegang Mikhayla. Kenapa harus sama ya terus ya bapak nyerahinnya?" Mimi hanya mengangguk sambil berusaha menelan rotinya yang sepertinya justru tercekat di tenggorokan.
Hendro, mendengus dan menggeser berkasnya ke hadapan Mimi.
"Tolong ya Bu Mikhayla,,, bye Cathy." Lambainya setelah Mimi mengangkat jempolnya, karena rupanya dia masih susah menelan roti itu.
"Minum!" Desis Cathy melihat mata Mimi yang membulat karena tersedak roti. Mimi mengambil gelas dan meminum air di dalamnya. Terkadang dia bingung kenapa otaknya itu suka tidak berjalan dengan semestinya. Sementara itu Cathy membuka mascaranya lagi lalu menggunakan di mata kirinya setelah tadi menggunakan di mata kanan.
"Mi, Mau pakai gak?"
"Enggak ah." Mimi melanjutkan makan rotinya. Lalu datanglah seorang pria bertubuh gempal, pipinya juga sangat chubby dengan wajah yang baby face dia tersenyum sumringah sambil berjalan riang ke arah Mimi.
"Pagi Mimi,," Sapa pria itu.
"Pagi Pram." Mimi membalas senyuman dari Pram. Sementara Cathy hanya acuh dan lebih memilih fokus ke bulu matanya yang sudah cukup tebal.
"Mi, gue titip dokumen untuk pa Vino ya, bilang urgent ini tentang pemberian bonus tahun ini." tutur pria bernma lengkap Pramudyo Agung Suseno itu. Ya Pram ini usianya hampir sama dengan Mimi, selain ramah, dia juga sangat pintar karena lulus kuliahnya saja cumlaude dan dia punya banyak teman karena mudah bersosialisasi dan suka sekali mentraktir teman-temannya, termasuk Mimi.
"Wow, bonus ya? Gue dapet enggak?"
"Enggaklah Mikhayla Chubby... elo kan belum setahun." Pram menjawil gemas pipi Mimi, apa dia tak sadar bahwa pipinya dan tubuhnya itu sebelas dua belas dengan Mimi?
"Sakit ish!" Mimi mendorong tangan Pram.
"Ehem,,," Dehem Vino yang entah datang dari mana? Dan sudah berdiri tepat diantara Pram dan Mimi
"Mi, tolong bacakan jadwal saya untuk hari ini, saya tunggu didalam ya." Ucap Vino setelah tersenyum sopan pada Pram yang sudah membeku, Pram bahkan lupa menurunkan tangannya yang masih terulur ke arah Mimi.
"Mi, entar makan siang bareng ya." Mimi mengangkat jempolnya dan Pram mengedipkan sebelah matanya lalu pergi meninggalkan Mimi yang sudah berdiri sambil membawa berkas penting dan buku agendanya.
Mimi masuk ke dalam ruangan Vino, Vino sudah duduk di mejanya sambil menopang dagu. Setelah menyerahkan berkas-berkas dari karyawan tadi, Mimipun membacakan jadwal harian Vino. lalu dia pamit keluar ruangan.
"Mi," panggil Vino, Mimi membalikkan tubuh dan menghadap Vino.
"Kamu suka renang?"
"Enggak lah pa, Aku malah takut renang." Vino mengerutkan keningnya, "Kenapa?" Tanyanya dipenuhi rasa penasaran. Mungkinkah Mimi masih mengingat jelas kejadian beberapa belas tahun silam itu? Sama seperti dirinya.
"Enggak tau pa, kata emak aku sih aku pernah tenggelam dulu. Jadi kebawa takut deh," Cengir Mimi, Vino terdiam, dugaannya salah. Mimi sepertinya tidak ingat sama sekali dengan kejadian kala itu.
"Jadi dulu pas SD kan aku pernah renang, terus tenggelam dan besoknya demam sampai tiga hari, sampai dirawat di rumah sakit. Makanya dari situ aku malah takut kalau lihat kolam renang. Takut tenggelam lagi." Vino menatap Mimi dengan tatapan datar dan susah diartikan.
"Ada apa pa?" Mimi kali ini memajukan tubuhnya untuk melihat Vino lebih jelas, karena pikiran pria itu sepertinya sedang berkelana ke tempat lain.
"Ehm, enggak... baiklah kamu boleh kembali ke meja kamu. Thanks yaa." Vino mengambil berkas dan berusaha terlihat konsentrasi dalam membacanya. Setelah Mimi menutup pintu, Vino memegang kepalanya yang mendadak sakit.
"Gue yakin dia tahu suatu hal. Pasti dia lihat sesuatu yang enggak seharusnya dia lihat." Gumam Vino, tangannya terulur mengambil sebuah buku agenda dan membukanya, ada potongan koran usang tersimpan disitu. Headlinenya bertuliskan dengan huruf besar.
"PEMBULLIAN MAHASISWA BERUJUNG CELAKA!"
"SEORANG MAHASISWA HAMPIR TEWAS TENGGELAM AKIBAT DIBULLY TEMAN KULIAHNYA"
"MAHASISWA KORBAN PEMBULLIAN ADALAH ANAK PENGUSAHA TERNAMA"
Begitulah headline di potongan koran yang ditempel rapih dalam bukunya. Lengkap dengan foto Vino memakai almamater kampusnya. Dan tiga orang yang dulu mengaku membullinya hingga hampir menghabisi nyawanya, ketiga mahasiswa itu dipenjara saat itu. Namun sebuah kejadian tragis terjadi berikutnya, tepat seminggu setelah mereka dipenjara. Mereka ditemukan sudah tak bernyawa karena diduga bunuh diri dalam tahanan.
Vino menarik nafas panjang dan menutup kembali buku agenda usang itu, lalu memasukkan ke lacinya. Dia memutar kursi menghadap ke jendela besar di belakangnya sambil memejamkan mata dia coba mengenyahkan berbagai pikiran yang berkecamuk dalam otaknya.
***
bersambung