Damai Enggak Ya?

2079 Words
Sabtu ini cuaca mendung, semendung hati Mimi yang ditinggal Zaldy semalam. Ratusan chat mimi kirim tapi hanya di read hingga akhirnya Mimi kesal dan menulis di chat itu, "Chatnya didiemin. Biar matang merata ya?" dan sukses nomor Mimi di blokir Zaldy.Yang Mimi bisa lakukan hanya pasrah lah saat ini, meskipun sedikit hati Mimi merasa senang karena tahu kalau Zaldy cemburu. Konon katanya cemburu itu tanda cinta, makanya kalau pasangan cemburu barangkali dia memang masih cinta. Sebelumnya Mimi sempat meragukan perasaan Zaldy padanya, terlebih dikompori abang semata wayangnya dan teman kerjanya Cathy. Tapi Kini Mimi merasa Zaldy benar-benar tulus padanya. Biarlah Mimi disebut bodoh, tulalit, oon yang penting dia merasa senang meski hanya disamping Zaldy. Mimi melihat ke luar rumah, cuaca memang mendung namun hujan belum juga turun. Diapun berinisiatif untuk memasakkan sesuatu buat Zaldy sebagai penebus rasa bersalahnya semalam tadi. Dan Mimi mengambil jaket dan membawa sepeda motor miliknya yang sudah cukup lama tak digunakan, menuju pasar tak jauh dari rumah demi membuat hidangan spesial untuk Zaldy seorang. *** Sabtu yang berbeda di kamar kost Zaldy. Lelaki itu hanya telungkup membaca pesan dari Mimi dengan bibir yang tersenyum sinis persis seringaian. Dia pun menghitung waktu sampai kapan Mimi akan tiba di kamar kostnya. Kamar kost Zaldy cukup luas meski hanya satu kamar, ada tempat mencuci piring kecil menyatu dengan tempat kompor gas satu tungku dan lemari piring dibawahnya, kamar mandinya pun di dalam. Sehingga menjadikan kamar itu tempat nongkrong ideal bagi teman-temannya. Biasanya jika dia ngambek seperti ini, tak lama Mimi akan merajuk dan berbaik hati pada Zaldy. Zaldy yang merasa kepercayaan Mimi padanya mulai luntur pun berinisiatif untuk melakukan hal ini. Ya semenjak kerja jadi sekretaris di kantor yang bagi Zaldy 'sialan' itu hubungannya dengan Mimi agak merenggang, Mimi jarang sekali bisa diajak berbelanja kebutuhan peribadi mereka yang sebenarnya justru lebih banyak membeli barang untuk Zaldy. Mimi pun sudah jarang main ke kostnya untuk membereskan kamar kost, membersihkan pakaian kotor dan peralatan makan, termasuk mengisi kulkas kecil yang ada di kost-an Zaldy itu. Bahkan sampai kini Zaldy tak tahu gaji Mimi berapa? Mimi selalu saja berkilah jika ditanya tentang gaji. Suara pintu diketuk, Zaldy bangkit dan melihat cermin, di acak rambutnya agar terlihat berantakan. Diapun keluar dengan memasang tampang melas dengan sorot mata kesedihan. Akting, bukan hal yang sulit baginya setelah lima tahun membohongi wanita itu. Dan benar dugaan Zaldy, Mimi sudah berdiri dengan sumringah di depan kamar kost Zaldy, diapun membawa kotak makanan yang cukup banyak. Dengan enggan Zaldy membuka pintu kamar kostnya lebih lebar dan membiarkan Mimi masuk ke dalam. "Kamu udah makan siang?" tanya Mimi sambil duduk di lantai berhadapan dengan Zaldy. "Sarapan juga belum, boro-boro makan siang." "Nih, aku masakin rendang daging buat kamu, ada balado jengkol juga, sama kentang goreng. Nasinya juga ada, aku siapin ya." Zaldy mengangguk lemah meskipun perutnya berkerucuk kesenangan melihat hidangan yang menggugah selera itu, selain bodoh ternyata Mimi juga cukup pandai masak. Hanya saja terkadang dia malas memasak dirumah, kecuali saat disuruh emak. Mimi mengambil piring bersih di lemari kecil dibawah wastafel. Dia kembali duduk di samping Zaldy, menyendokkan nasi kepiring lengkap dengan lauknya. Melayani persis seperti istri yang baik. Zaldy mulai menyuap makanannya. Rasanya enak, Mimi sepertinya mengalami beberapa peningkatan dalam memasak. "Aku cuci piring kotor dulu ya." Zaldy mengangguk, Mimi pun berjalan lagi ke wastafel dan mencuci tumpukan piring kotor disana. Dia bahkan mengelap kompor gasnya dan memasukkan baju kotor Zaldy ke dalam keranjang. Pekerjaan Mimi selesai bertepatan dengan Zaldy yang juga selesai makan, akhirnya Mimi kembali membereskan sisa makan Zaldy. Dan menaruh lauk yang memang sengaja dibuat banyak untuk persediaan itu ke dalam kulkas. Lalu mencuci kembali piring kotornya. "Masih marah?" ucap Mimi lembut pada Zaldy yang kini duduk menonton televisi sambil merokok. Tak perduli paparan asap rokoknya terhirup Mimi. "Jangan diulangin lagi, pulang hampir tengah malem sama laki-laki lain." Ucap Zaldy merajuk. Mimi hanya mengangguk. "Temenin aku beli sepatu mau? Sepatu aku udah rusak." Mimi melirik ke lemari sepatu Zaldy. Banyak sepatu berjejer disitu yang sebagian besar dibelikan oleh Mimi. Karena tak mau Zaldy marah, Mimi pun menyetujui ajakan Zaldy. Di motor, Zaldy menarik tangan Mimi agar memeluknya, entah kenapa rasanya seperti berbeda. Mimi tak tahu sebabnya? Yang dia tahu tubuhnya seolah menolak sentuhan Zaldy. Apakah pengaruh dari Radit dan Cathy sudah sangat besar ke otaknya. Mereka memarkirkan motor di mall yang cukup besar, Mimi memegang erat tali tas dompetnya sambil berjalan. Zaldy berjalan beberapa langkah di depannya, dan Mimi mengekor persis pesuruh. Zaldy langsung masuk ke sport station, mencoba berbagai sepatu, sementara Mimi terlihat tak menaruh minat, dia berjalan ke bagian sepatu wanita. Melihat-lihat harganya tanpa berniat membeli. "Yank," tegur Zaldy, Mimi menoleh dan terlihat seorang karyawan wanitanya tersenyum geli. Mungkin bingung kenapa orang seperti Mimi bisa berpacaran dengan lelaki yang bisa dibilang cukup tampan. "Ini bagus enggak?" Zaldy menunjukkan sepatu berlogo NB ke Mimi, Mimi mengambil dan melihat harganya delapan ratus ribu kurang seribu. "Bagus," "Pinjem uang kamu yank, nanti aku ganti." Mimi seolah sudah paham dengan kebiasaan Zaldy yang bilang minjam, namun tak pernah mengganti itu. "Aku Cuma bawa uang dua ratus ribu yank." Mimi membuka tas dompetnya dan mempertontonkan isinya. "ATM enggak bawa?" Zaldy nampak sedikit kesal dibuatnya. "Enggak, ATM disita emak. Cuma dapet jatah mingguan aja sekarang, ya ini segini." Zaldy menarik nafas kasar dan meletakkan kembali sepatu itu di raknya. Dia berjalan lebih dahulu keluar dari toko tanpa menoleh sedikitpun. "Maaf ya mba," Mimi tersenyum tak enak pada pelayan toko itu yang hanya dibalas senyuman lebar, biarlah orang menganggapnya apa? Toh Mimi sudah biasa ditatap dengan pandangan mencemooh seperti itu oleh orang lain. Mimi berusaha mensejajari langkah Zaldy dan menarik tangan Zaldy. "Kamu kenapa sih?" tanya Mimi, "Enggak, enggak apa-apa. Harusnya bilang dari awal kalau enggak bawa uang, kan jadinya aku gak semalu itu tadi." "Kamu kan udah kerja, udah gajian kan? Aku fikir kamu mau beli sendiri." "Kamu perhitungan sekarang Mi, bukan seperti Mimi yang aku kenal!" Zaldy menunjuk wajah Mimi, membuat Mimi beringsut mundur, beberapa pasang mata sudah menatap mereka seolah menantikan pertengkaran mereka selanjutnya. "Ma..maaf." cicit Mimi sambil menunduk, hampir butiran air mata itu luruh. Zaldy melihat ke sekitar, orang-orang mulai memandangnya dengan pandangan jijik seolah Zaldy manusia paling jahat. Ya memang dia jahat, semua juga setuju. Laki-laki yang hanya bisa memanfaatkan wanita yang mencintainya itu bahkan lebih dari jahat! "Mi, hey, udah engak apa-apa. Kita makan es krim yuk." Zaldi mengusap bahu Mimi dengan kedua tangannya, lalu dia menggandeng tangan Mimi, pergi dari keramaian. Dia harus memutar otak lagi, dengan cara yang lain. Karena mungkin kini Mimi mulai menyadari tipu muslihatnya. Zaldy belum mapan, pekerjaannya belum tetap, dia masih membutuhkan Mimi untuk menyokong hidupnya seperti bebera tahun belakangan ini. Dia harus membuat Mimi luluh kembali, tak perduli apapun caranya. *** Mimi sudah sampai rumah, kini dia menjatuhkan kepalanya di meja belajar yang sekarang berfungsi jadi meja kerja di kamarnya. Ya terkadang Mimi menyelesaikan pekerjaannya dirumah sambil mengisi waktu luang. Tapi tidak saat ini. Kali ini Mimi memutar-mutar kartu ATM nya dengan malas serta berkali-kali menarik nafas seolah menanggung beban berat. Dia telah membohongi Zaldy lagi dengan berkata bahwa ATM disimpan emak, karena kenyataannya ATM dia yang pegang, sementara Emak memang sudah punya account bank sendiri yang digunakan untuk menabung sebagian gaji Mimi. Tadinya Mimi pikir karena jarak rumahnya dan kost Zaldy dekat, jadi dia tak perlu membawa ATM tapi ternyata Zaldy malah mengajaknya ke Mall. Sehingga Mimi tak bisa belanja disana, uangnya sih aman. Tapi entahlah bagaimana dengan hubungannya dengan Zaldy kedepan? Mimi mulai merasakan lelah setelah flashback semua yang terjadi selama ini. Tentang perhatian Zaldy padanya, kata-kata cinta dari pria itu, pujian dan sanjungannya. Dan juga tentang sifat Zaldy yang hobi meminjam uang pada Mimi namun tak pernah diganti. Mimi yang dulu mungkin masih gadis polos yang termakan rayuan gombal lelaki hidung belang macam Zaldy. Namun sekarang? Apakah masih sama? Mimi banyak bertemu orang-orang di PT. Central Asia Pratama, tempatnya bekerja kini. Membuka sedikit banyak fikiran Mimi. Dia yang dulu bekerja di kantor cabang yang hanya terdiri dari sepuluh karyawan, bahkan bullian menjadi makanan sehari-harinya. Mimi yang tumbuh menjadi wanita yang tidak percaya diri, tapi Kini dia berbeda. Ya rekan kerjanya merupakan orang-orang terpelajar bahkan lulusan terbaik di bidangnya yang bertutur kata sopan dan pas pada tempatnya. Meskipun di awal bekerja terkadang ada mulut-mulut yang nyinyir namun setidaknya tidak separah dahulu. Mimi menjadi pribadi yang lebih percaya diri. Tidak hanya dia yang bertubuh gemuk disana, banyak wanita yang bahkan ukuran tubuhnya lebih gemuk dari Mimi. Namun mereka bisa survive, bisa sukses dalam karir. Dan juga Pram, ukuran tubuhnya juga besar bahkan mungkin lebih besar dari Mimi, tapi dia bisa diterima oleh semua orang, untuk berteman dan menjalin hubungan tak harus terpaku pada fisik kan? Buktinya Cathy, sosok wanita sempurna bagi Mimi dan hampir seluruh karyawan pria mengidolakannya, cantik, tinggi, langsing, putih dan pintar. Tapi lihatlah, dia bahkan sangat dekat dengan Mimi dan sudah menganggap Mimi sahabatnya. Tak pernah malu berjalan bersama Mimi, gila-gilaan bersama. Meskipun terkadang mulutnya menyebalkan kalau sudah membahas Zaldy dan bobot tubuh Mimi yang bukannya berkurang namun semakin bertambah. "Mi, dipanggilin dari tadi. Ngapain sih lu?" Bapak melongokkan kepala di pintu Mimi, pria itu hanya mengenakan kaos oblong yang biasa dipakai untuk daleman berwarna putih, juga celana sarung dan jangan lupakan kopiah hitam yang selalu bertengger dikepalanya. "Kenapa Pak?" Mimi mengangkat kepalanya dengan malas. "Noh bapak bawain duren kesukaan elu, abis dah tuh sama abang lu." "Mimi lagi gak nafsu makan pak, buat abang aja." Bapak melangkahkan kaki menghampiri Mimi, lantas memegang kening Mimi dan merasai suhu tubuhnya. "Elu sakit lagi?" "Enggak Pak, Cuma lagi males aja. Mimi mau tidur aja ah." "Yaudah tidur dah lu biar segeran dikit, ntar sisa durennya bapak taro kulkas ya." Tutur bapak penuh perhatian, Mimi hanya mengangguk dan pindah ke kasurnya. Baru saja matanya ingin terpejam sebuah panggilan masuk ke handphonenya, dari Pram. "Kenapa Pram?" sapa Mimi. "Mi, besok ada acara enggak? Nonton bioskop yuk." "Gue lagi males keluar sih," "Yah, padahal lagi ada film bagus, abis itu kita makan atau elo mau jalan kemana? Gue temenin deh, lagi boring banget nih." "Ciee bilang aja mau ngabisin duit tapi bingung buat apa? Mentang-mentang bonusnya gede." "Elah Mi, tapi alhamdulillah sih gak sia-sia kerja lembur bagai kuda. Kuda Nil maksudnya... hehe." Mimi tertawa cukup keras, ya Pram dengan kesederhanaannya. "Yaudah gue temenin, mau kemana kita?" "Ocean Park atau snow bay gimana?" "Mau berendem kayak kuda nil gitu?" Mimi terpaksa membekap mulut agar tidak tertawa. "Iya, udah lama nih badan enggak dibawa berendem, udah pada kering." "Hahaha, yaudah oke-oke." Setelah menyetujui jam janjian merekanya, Mimipun mematikan telepon dari Pram. Mengurungkan diri untuk tidur karena dia harus menyiapkan baju untuk besok, ah peduli amat dengan Zaldy. Mimi ingin bersenang-senang dan dia sudah lelah mencoba menghubungi Zaldy, toh setelah tadi habis bertemu pun Zaldy masih belum membuka blokiran nomor Mimi! Mimi membuka lemari dan memasukkan baju ganti juga handuk bersih, dia teringat bahwa memang sejak kecil dia paling anti dengan kolam renang, entah kenapa? Sehingga dia tak pernah ikut jika sekolah mengadakan renang. Itu sebabnya dia tak pernah punya baju renang. Akhirnya Mimi pun keluar kamar mencari emak, yang ternyata masih asik ngobrol dengan bapak dan abangnya Radit. "Ma, Mimi besok mau renang, emak gak punya baju renang apa? Mimi pinjem." Emak dan bapak juga Radit saling tatap lalu melihat Mimi dengan wajah tegang. "E..elu yakin mau renang? Elu kan udah gak pernah ke kolem sejak... sejak kelas enam SD." Emak berbicara seolah takut salah bicara. Yang Mimi tahu bahwa dia pernah tenggelam di kolam renang ketika itu, sehingga dia trauma akan kolam renang. "Ya, kali aja Mimi udah enggak takut kolem lagi mak, lagian kan kolemnya beda enggak kayak kolam renang biasa, ini ada kolam ombaknya ya gitu-gitu deh. Punya enggak." "Emak lu mana ada baju renang Mi, klo nyebur ke sawah juga pake kolor doang ama kaos." Ucap Bapak sambil melirik ke wajah emak yang udah salah tingkah. "Mau gue pinjemin ke Shela gak?" Tawar Radit, Mimi hanya mendengus, ukuran tubuhnya aja hampir dua kali lipat dari Shela yang bertubuh mungil, kurus, kecil namun hidup itu. "Lo ngehina bang? Bisa robek baju Shela ama gue!" ucap Mimi sambil memukul bahu abangnya dengan kesal. "Yaudah beli aja disono juga ada yang jual kali, susah amat!" Tutur Radit sambil mengusap bahunya yang terkena gebokan Mimi. "Iya sih, udah ah Mimi kedalem dulu." Mimi pun berjalan ke dalam, meninggalkan emak, bapak juga Radit yang terdiam dengan pikiran yang berkecamuk. "Mudah-mudahan aja dia enggak kumat takutnya besok." Doa bapak yang langsung diaamiini oleh istri dan anak laki-lakinya itu. *** -bersambung-
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD