Sakit Tapi Tak Berdarah

2073 Words
Sudah dari kemarin sore Mimi merasa sakit kepala yang tak kunjung reda, bahkan semalam tadi dia sempat ke dokter untuk memeriksakan diri namun setelah minum obat, sakitnya tak jua mau hilang. Sehingga dengan terpaksa dia izin tidak masuk kerja hari ini. “Elu sakit apa sih Mi? Saban hari pala lu keliyengan begitu kaga tega emak kan liatnya.” Emak memijat kepala Mimi lembut. “Enggak tau ma, sakit banget kayak ditusuk-tusuk.” “Et dah, kedukun bae yuk, kali aja ada santet salah sasaran ke elu.” “Emak jangan ngaco deh, emang emak gak inget kata bapak gak boleh kedukun mak dosa!” Mimi masih meracau sambil sesekali mendesah merasakan sakit di kepalanya yang rasanya membesar mengecil. “Ya abisan,” Emak memandang Mimi dengan pandangan iba, belum pernah dia melihat anaknya kesakitan seperti ini. “Assalamualaikum...” Seru suara seorang pria dari arah luar. “Walaikum salam,” Emak keluar dari kamar Mimi dan melihat siapa gerangan yang bertamu tengah hari seperti ini. “Bosnya Mimi kan ya? Masuk-masuk pak bos.” Hela Emak pada Vino yang sudah menyerahkan parsel buah ke emaknya Mimi. Vino diajak masuk ke kamar Mimi, Mimi yang masih pusing sempat tak menghiraukan kalau atasannya itu sudah duduk di kursi meja belajar Mimi. “Kamu sakit apa?” Mimi terhenyak, dia mengucek mata demi memastikan bahwa orang yang di depannya kini adalah benar bosnya. “Enggak usah bangun,” “Aku belum mandi pak, jangan deket-deket.” Vino tertawa cukup keras melihat ekpresi Mimi yang mengkerut bahkan dia menutup sebagian wajahnya dengan selimut. “Sudah ke dokter?” “Sudah pak,” “Diminum dulu, emak tinggal sebentar ya ada tukang sayur didepan.” Ucap Emak meninggalkan Vino dan teh manis hangat buatannya. Vino menarik kursi nya dan duduk lebih dekat ke ranjang Mimi, dia memegang kening Mimi demi dapat merasakan suhu tubuhnya. “Agak demam ya.” Entah Kenapa Mimi merasa justru dingin dan membeku disentuh seperti itu oleh Vino, malahan Vino tak jua mau menarik tangannya. “Sakit apa?” Vino merasakan Mimi yang tegang, dia pun mengusap kening Mimi lalu menarik tangannya, bahkan dia dapat mendengar tarikan nafas Mimi yang cukup kencang seolah sedari tadi dia menahan nafas. “Pusing pak, nanti juga sembuh.” Vino mengangguk dan membuka jas hitamnya, dia merasakan suhu kamar Mimi yang cukup panas padahal ada kipas angin disana dan juga jendela terbuka dengan lebar. Vino mengambil kotak dari saku jasnya dan menyerahkan ke Mimi. Sebuah kotak berisikan coklat kecil sebanyak empat buah dan berlambang hati. “Nih oleh-oleh dari Aussie, enak deh. Makan ya.” Mimi mencoba duduk bersandar di tembok dan Vino membantunya meletakkan bantal di punggung Mimi. “Coklat?” Vino mengangguk dan mengambil butiran coklat itu lalu membuka plastiknya dan menyuapi Mimi –lagi. “Gimana? Enakkan?” Mimi berbinar merasakan coklat tersebut yang lumer di mulutnya bahkan ada lelehan coklat cair yang keluar ketika Mimi menggigitnya. Vino membuka lagi coklat-coklat itu dan menyuapi Mimi sampai coklatnya habis. Baru pertama kali Mimi merasakan coklat seenak ini, rasanya memang lain dari pada yang lain, dan tentu harganya pasti mahal. Setelah sedikit berbincang, Vino pun pamit undur diri karena harus kembali ke kantor. Dan sepeninggal Vino, Mimi merasa pusingnya cukup mereda, mungkin di dalam coklat yang diberikan Vino ada obat pusingnya, entahlah? Mimi tak mau ambil pusing lagi karena kini perutnya sudah meronta kelaparan. Diapun beranjak ke dapur, membuka tudung saji di meja makan yang ternyata kosong melompong. Dengan raut sedih dia berjalan ke depan, dimana ada emak masih asik bergosip dengan beberapa ibu-ibu di depan tukang sayur. Setelah sedikit merajuk, akhirnya Emak mau juga melenggangkan kaki ke dapur demi memenuhi kebutuhan gizi anaknya yang sudah berteriak minta makan. Emak heran sama Mimi tadi pagi dia bahkan disuapi bubur tidak mau, tapi setelah dijenguk pak bos gantengnya langsung segar bugar. Fixed, Mimi pasti mengidap penyakit malarindu yang menyebabkan dia meriang alias merindukan kasih sayang. Sambil menunggu masakan emak matang, Mimipun memutuskan mandi dengan air hangat. Guyuran air hangat ke tubuhnya menimbulkan gelenyar nyaman di saraf-sarafnya. Mimi merasa segar sekali setelah mandi. Diapun bergegas memakai daster batiknya. Membuat Mimi terlihat lebih tua dari umurnya. Tapi jika tidak cuek bukan Mimi namanya, dia selalu mengutamakan kenyamanan terutama dalam berpakaian. Buat apa memakai baju bagus jika tidak nyaman? Harum aroma masakan Emak tercium sampai kamar, sambil menyisir rambut, Mimi berjalan ke dapur dimana sudah tersedia telur balado dan sayur asem lengkap dengan ikan asin gabus kering favorit bapak dan bang Radit. “Baca Bismillah dulu.” Sentak emak memukul punggung tangan Mimi, Mimi misuh-misuh sambil baca doa. “Biar berkah makanan yang elu makan, biasain baca doa.” “Iya Mak.” Mimi dengan lahap memakan makanannya ditemani Emak yang menatap putri gembulnya lekat. “Pak bos lu udah nikah Mi?” “Belom, kenapa? Emak naksir ya? Mimi bilangin bapak baru tau rasa ntar.” “Ngaco lu! Kali aja dia demen elu Mi, ada kemungkinan gak begitu?” “Enggak!” jawab Mimi cepat. “Cepet amat jawabnya. Mikir dulu kek!” Emak mulai sewot, Mimi hanya mendengus. “Di kantor enggak ada yang demen elu emangnya Mi?” “Emak kenapa sih? Diomongin sama tetangga lagi, gara-gara Mimi belum kawin juga?” “Bukan gitu Mimi, anak emak yang caem dan buncit.” Mimi melotot, emak malah tertawa, lanjutnya, “Emak sebenernya kurang suka ama Zaldy, kalau memang Elu dapet laki-laki lain yang lebih baik dari Zaldy emak setuju banget Mi.” “Mimi udah kepalang nanggung mak sama Zaldy, udah lama juga pacaran.” Mmi terus saja menyantap makananannya tak memperdulikan guratan khawatir yang ditunjukkan diwajah emaknya. “Elu belum ngapa-ngapain kan sama Zaldy? Emak bisa percaya kan sama elu Mi?” “Ya Allah Mak, gini-gini Mimi bisa jaga diri juga kali jangan sampe berbuat Zinah. Ciuman bibir aja belum pernah.” Mimi meringis membayangkan bibir seksinya yang belum terjamah siapa-siapa. Zaldy paling parah juga cium pipi saja yang sering ya cium kening. “Gak usah sedih gitu napa? Nanti juga ama laki lu disosor mulu lu jangankan bibir, ketek juga disosor!” “Emangnya Mimi mau kawin ama bebek kok disosor?” “Ah elu mah, pokoknya jangan ampe ya sekali-kali elo berbuat yang enggak-enggak dosanya berat Mi, jaga batesan diri lo. Udah ah emak pokoknya percaya klo anak emak yang satu ini gak bakalan menodai kepercayaan emak. Ya neng botoh,” (botoh itu sebutan untuk anak atau perempuan yang semok) setelah menghabiskan makannya, Mimi pun menyempatkan diri mencuci piring sebelum kembali ke kamarnya. Omongan emak memang benar, meskipun dia telah lama pacaran, bukan berarti dia bisa bersentuhan sesuka hati dengan yang bukan muhrim, lagipula sebelum akad nikah terucap, hal itu haram dan dosa besar. Itu adalah petuah yang sering disampaikan bapak. Memang ilmu agama Bapak mungkin tak setinggi para ustad atau kyai di kampungnya. Diapun tahu diri bahwa dia hanya laki-laki biasa, tapi laki-laki biasa ini yang sedang berusaha melindungi keluarganya dari api neraka. Setidaknya dia sudah menyampaikan kepada kedua anaknya tentang hal tersebut, tentang zinah, dan Menodai anak gadis orang lain. Sedang asik telungkup diatas kasur sambil membaca n****+ favorit Mimi, tiba-tiba Radit datang dan meletakkan es krim box berukuran besar bergambar biskuit coklat yang kini kehadirannya sudah menjelma, merasuki hampir seluruh makanan. Dari es krim, cake, dan lain sebagainya. “Wih tumben baek nih abang, abis gajian ya?” “Gajian pala lu peyang. Baru tanggal berapa inih?” Radit duduk di ranjang Mimi, hingga ranjang itu bergerak. Mimi ikut duduk dan langsung membuka box es krim itu, dia mengambil sendok plastik yang memang selalu setia di tempat pensilnya diatas meja. Biasalah dia kan memang suka comot sana sini, sendok itu bawaan wajib baginya. “Anak kunyuk itu udah kemari?” Mimi menyuap es krimnya sambil memelototkan matanya ke abang semata wayangnya, tentu dia tahu panggilan anak kunyuk itu ditujukkan buat kekasih tercintanya. “Gak usah bahas dia deh,” Sengit Mimi, namun kini pandangannya sudah beralih ke es krim vanila bertaburan biskuit coklat tersebut. “Kenapa emangnya? Udah bosen sama dia? Apa udah sadar dari khilaf lo?” “Gak apa-apa juga sih, Cuma lagi males aja.” Lanjutnya “Bang Radit kapan nikah?” “Akhir tahun kali, duitnya udah terkumpul sih, tinggal ajak emak sama bapak aja buat lamaran.” “Emang pake acara lamaran segala? lha itu rumah pacarnya juga keliatan dari sini.” Tunjuk Mimi ke arah rumah pacarnya Radit yang memang juga tetangganya, temannya semasa kecil. “Pake lah, gue kan nikahin manusia bukannya kucing!” Radit mendengus sambil menoyor kepala Mimi, lantas berlalu ke kamarnya. Dia perlu mandi sehabis pulang kerja seperti ini. Mimi menutup es krimnya, sebenarnya mulutnya masih agak pahit meskipun tubuhnya sudah tidak sakit seperti tadi, namun entah kenapa rasanya pahit. Sepahit kenangannya bersama Zaldy. Dia berfikir bahwa Radit yang baru berpacaran dengan Shela, kekasihnya saja sudah melakukan komitmen dan akan menikah. Sementara dia? Sudah pacaran lima tahun tapi tak jelas akan dibawa kemana hubungannya? Mimi berusaha memejamkan mata, tak ingin larut dalam kesesakan dadanyaa. Dia harus sehat agar bisa kerja esok hari. *** Mimi nampak tak nyaman dalam duduknya, berkali-kali dia merubah posisi duduk di kursi kerjanya. Membuat Cathy yang sedang mengetik jadwal menoleh ke arah Mimi dan mengernyitkan keningnya. “Lo kenapa sih Mi? Gak bisa diem banget?” tanya Cathy menelisik. “Roknya Ket, agak gak nyaman.” Mimi menarik ke atas bagian bawah roknya. Hari ini dia memakai rok span sebetis dengan bagian bawah yang sangat rapat tanpa belahan. Tentu rasanya tidak nyaman, apalagi tingginya nanggung seperti itu. “Lagian kenapa pakai rok itu? Lagian gue juga baru liat, lo baru beli?” Cathy menjulurkan kepala ke kolong meja dan memperhatikan bagian bawah rok Mimi dengan seksama, tak ada belahan rok padahal harusnya untuk rok seperti ini ada belahannya agar memudahkan yang memakainya untuk berjalan. “Iya beli minggu lalu bareng Zaldy, dia suka banget rok ini.” “Lo suka juga rok ini?” “Enggak sih, tapi gimana dong, dia yang minta pakai katanya dia suka.” Cathy menarik nafas frustasi dia menghembuskannya dengan cukup keras, lalu melipat tangan didada, bersiap meledak mendengar penjelasan Mimi barusan. “Mi, denger ya. Lo gak harus maksain suka dengan apa yang dia suka, karena satu hal, Cinta itu tak pernah memaksa. Yang memaksa itu namanya obsesi. You know? Sekarang ganti roknya! Sebagus apapun kalau kita enggak nyaman pasti gak akan terlihat bagus. Lo ada pakaian ganti di loker kan?” Mimi terlihat berfikir sejenak dan mempertimbangkan saran Cathy, rok ini bukan dirinya banget. Dia tak bisa menjadi diri sendiri ketika mengenakan pakaian ini. akhirnya dengan langkah cepat yang dipaksakan karena rok span itu cukup menghambat jalannya, Mimipun berjalan ke ruangan loker dimana para karyawan biasanya meletakan pakaian ganti atau barang pribadi yang sewaktu-waktu bisa diperlukan. Mimi mengambil celana panjang hitamnya dan mengganti di kamar ganti. Lalu dia keluar dan meletakkan rok kesukaan Zaldy itu di loker. Sekembalinya ke ruangan, Cathy melihat wajah Mimi yang sudah tak semuram tadi, langkahnya pun terlihat cepat dan pasti. “Nah gitu dong,” Cathy bahkan bersiul yang dibalas cibiran oleh Mimi. “Ket, kemarin gue sebenernya juga lihat video yang lo maksud.” Ucap Mimi berbisik. Cathy menghentikan ketikannya di komputer dan memutar kursinya untuk menatap Mimi lekat. “Bener kata lo, kayaknya cewek itu gak wajar.” “Gue rasa dia cewek jadi-jadian.” Bisik Cathy “Siluman?” “Elu siluman! Mana ada siluman, emangnya lo hidup di dunia dongeng! Ah kesel gue sama lo.” “Yaudah sih sepele gak usah ngegas. Jadi maksud lo apa?” “Waria, laki-laki yang nyamar jadi perempuan. Atau memang dia waria, entahlah tapi dari cara jalannya yang kaku begitu kayaknya bukan perempuan asli.” Mimi mengerutkan keningnya, kepalanya sakit lagi, meski tak sesakit beberapa hari lalu. “Kenapa?” “Enggak tahu Ket, gue gak ngerti kenapa nginget hal itu bikin gue sakit kepala?” “Yaudah enggak usah diinget, kita kan enggak boleh ikut campur kehidupan pribadi pak bos. Oke, calm down beb.” Cathy menepuk bahu Mimi dan melanjutkan kerjaannya. Pun dengan Mimi yang memilih memakan cemilan sebelum mulai bekerja di pagi ini. Cathy hanya menggeleng, melihat nafsu makan Mimi yang luar biasa, dia tak mau memaksa Mimi agar diet, toh dia juga lebih suka melihat Mimi yang menjadi diri sendiri, Be your self is the best. Caption yang ada di meja mereka berdua, ditulis diatas foto mereka berdua dengan wajah jelek. *** To be continued happy reading yaa
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD