bc

Love at the First Sight

book_age18+
667
FOLLOW
2.5K
READ
billionaire
goodgirl
CEO
twisted
sweet
campus
office/work place
love at the first sight
like
intro-logo
Blurb

Semenjak sebuah kecelakaan membuatnya menjadi yatim piatu dan sebuah penyakit yang diderita bibinya membuatnya harus bertahan hidup seorang diri, Vanilla hanya berpikir untuk berjuang hidup dan mengejar cintanya. Dalam sebuah kehidupan yang menurutnya begitu kelam, Aditya datang memberikan secercah harapan. Tapi nyatanya hubungan mereka tidak bisa semulus yang diharapkan sampai kedatangan seseorang yang justru menguak semua cerita masa lalu Vanilla.

Semua trauma dan derita masa lalunya terpampang di depan matanya tepat saat ia sedang merenguk nikmatnya kebahagiaan. Apa benar Vanilla berada di tempat dan bersama orang yang salah?

chap-preview
Free preview
Vanilla
Udara berembus kencang, semilir angin menyapu wajah telanjang gadis itu, juga menerbangkan beberapa helai rambutnya. Beberapa kali terdengar petir menggelegar, membuat gadis itu bergidik ngeri. Ia merapatkan resleting jaketnya hingga menutupi leher. Menutup tiap inci tubuhnya yang bisa dijangkau jaket itu. Langit sepertinya akan menumpahkan isi perutnya sebentar lagi. Ia mempercepat langkah kakinya saat menyadari dari sebentar lagi akan hujan. Saat tujuannya hanya tinggal beberapa langkah lagi, langit benar-benar tidak punya ampun. Hujan benar-benar turun begitu derasnya dan membuatnya terpaksa mengeluarkan jurus kaki seribu. Ia membuka gerbang kecil dan masuk ke rumahnya. Ia membuka sepatu dan mengibas- ngibaskan rambutnya yang sudah basah, lalu beralih ke kamar mandi. Setengah jam kemudian ia keluar dari kamar mandi dan langsung berbaring di ranjangnya Vanilla menatap langit-langit kamarnya. Sekilas terlintas wajah Aditya. Pria yang sudah beberapa bulan ini mewarnai hari-harinya. Setelah bertahun-tahun merasa kesepian karena hidup seorang diri, Aditya datang membawa warna dan membuat hidupnya lebih baik. Dunia Vanilla pertama kali hancur saat sebuah kecelakaan merenggut nyawa kedua orangtuanya. Ia menjadi yatim piatu saat ia duduk di bangku sekolah dasar. Saat itu ia dan kedua orangtuanya yang sedang dalam perjalanan pulang dari rumah bibinya dengan taksi mengalami kecelakaan beruntun di sebuah tol. Kedua orangtuanya meninggal di tempat sedangkan ia mengalami koma selama empat hari. Saat ia membuka mata di rumah sakit, yang pertama dilihatnya adalah sosok bibinya dengan mata merah dan raut wajah menyedihkan. Dengan tangis yang tertahan, ia menceritakan perihal kecelakaan yang merenggut nyawa kedua orangtuanya. Menyadarkan anak itu bahwa ia sudah kehilangan kedua orangtuanya. Bahwa kedua orangtuanya sudah berada di sisi Tuhan dan ia tidak akan pernah bertemu dengan mereka lagi. Semenjak itu, Vanilla diurus oleh bibinya yang hanya tinggal seorang diri. Bibinya mencoba menjadi orangtua pengganti untuk Vanilla. Vanilla masih terlalu kecil, namun ia samar-samar mengingat kecelakaan itu. Kilasan yang membuatnya mimpi buruk beberapa kali. Bibinya yang bekerja sebagai pegawai di sebuah perusahaan travel, mengambil alih tanggung jawab almarhum kedua orangtuanya. Dan Vanilla mulai terbiasa mengurus rumah. Sewaktu anak sebayanya sibuk menghabiskan waktu untuk bermain. Ia mulai membiasakan diri dengan pekerjaan rumah. Setiap hari ia mengakrabkan diri dengan semua peralatan rumah tangga. Pagi hari, ia akan meninggalkan rumah setelah selesai membersihkan rumah. Ia menyapu, mengepel bahkan membuatkan sarapan untuk ia dan bibinya. Hanya sepotong roti dengan selai yang dibeli bibinya setiap akhir bulan. Rumah bibinya jauh lebih kecil dibanding rumahnya, tapi cukup nyaman dengan kebun kecil di depan rumah dan dua buah kamar minimalis juga ruang tamu yang cukup rapi dalam pandangannya. Setiap akhir pekan, ia akan ikut dengan bibinya untuk berbelanja di pasar. Vanilla akan sangat senang karena inilah saatnya ia bisa keluar cukup jauh dari rumahnya. Ia tidak memungkiri bahwa berada di rumah setiap hari sangat membosankan. Tapi toh bibinya tidak pernah mengizikannya main terlalu jauh, hanya seputaran komplek yang dihuni oleh anak seusianya. Sepulang dari pasar, Vanilla akan membantu bibinya di dapur. Mengajarkan Vanilla mengolah berbagai bahan yang dibelinya dari pasar. Membuat Vanilla mengenal satu persatu bentuk dan bau bumbu-bumbu itu. Vanilla pikir kehilangan kedua orangtuanya sudah cukup baginya. Tapi ternyata Tuhan masih masih terus mengujinya. Saat ia duduk di bangku sekolah menengah atas, bibinya divonis mengidap gagal ginjal. Akhirnya selama berbulan-bulan lamanya, Rahma, bibinya, menjalani cuci darah sebelum mendapatkan ginjal yang tepat untuknya. Vanilla sudah sempat mengajukan tes untuk mendonorkan ginjalnya, tetapi hasil test menunjukkan kalau ginjalnya tidak memiliki kecocokan dan akan menyebabkan komplikasi kalau dipaksakan. Suatu malam, Vanilla merenung di kamarnya. Memikirkan kondisi keuangan bibinya yang ia tahu semakin menipis. Ia tahu kalau biaya sekolahnya saja sudah menguras keuangan bibinya. Apalagi dengan semua biaya pengobatan yang sedang berjalan. Ia harus mendapatkan bantuan dan donor ginjal untuk bibinya. Itulah yang ada dipikirannya saat itu. Bibinya sebenarnya mempunyai satu anak yang kini tinggal bersama mantan suaminya. Mereka berdua bercerai karena orangtua suaminya tidak menyetujui pernikahan keduanya dan tanpa perasaan menjodohkan suaminya dengan wanita lain. Vanilla hampir tidak percaya dengan cerita itu, kalau saja bibinya tidak pernah menunjukkan sebuah foto yang menunjukkan dirinya sedang terbaring di ranjang rumah sakit dengan seorang bayi mungil di sampingnya. Ia ingat bagaimana bibinya yang masih tampak begitu muda tersenyum bahagia ke arah kamera dan di salah satu foto menunjukkan ia sedang mencium bayinya. Bibinya bercerita, jika suaminya tidak mau menceraikannnya dan menolak calon yang dipilihkan orangtuanya, ia akan kehilangan hak waris dari keluarganya. Itulah mengapa beberapa minggu setelah anak itu lahir, suaminya menceraikan bibinya dan membawa serta anak mereka. Dengan modal informasi yang ia temukan tanpa sepengetahuan bibinya, sepulang sekolah, ditengah teriknya panas matahari, dengan seragam putih abu-abunya, ia pergi ke sebuah komplek mewah. Menyusuri jalan setapak yang diapit oleh rumah-rumah megah nan mewah. Komplek rumah itu besar, menjadikan nomor dengan alfabet sebagai pembeda. Gerbang tinggi dan tembok yang menyelimuti tiap rumah seakan menunjukkan seberapa kaya keluarga yang tinggal di sana. Setelah melihat nomor rumah yang dicarinya tersemat di tembok sebuah rumah bercat putih, ia menelan ludah menyadari betapa kayanya paman yang tidak pernah ia kenal selama ini. Rumah itu bisa dibilang lebih mencolok dibanding rumah lainnya. Gerbang putihnya terlihat kokoh dengan semua sudut yang benar-benar tertutup. Dari depan Vanilla hanya bisa melihat sebatas balkon atas. Juga pepohonan tinggi yang menjulang melewati tinggi gerbang. Setelah mengambil napas panjang, ia memencet bel dan beberapa saat kemudian muncul wanita paruh baya yang membukakan gerbang. Wanita itu lebih tua dari bibinya dan jauh lebih pendek darinya. Memakai daster dengan corak abstrak hampir semata kaki. Matanya bulat dengan garis-garis kerutan di sekitar wajahnya. Pipinya yang bergelambir menunjukkan bahwa ia sudah tidak muda lagi. “Permisi, Bu, saya mencari pemilik rumah ini.” Dahi wanita itu berkerut, merasa heran melihat seorang gadis mencari majikannya. “Ada perlu apa, ya?” tanyanya ramah tapi tidak menyembunyikan kebingungannya. “Saya Vanilla, saya ada perlu dengan pemilik rumah.” Gadis itu mengelap peluh dari keningnya karena merasakan matahari makin terasa menyengat. “Tuan Alex sedang tidak ada di tempat. Beliau sibuk dan tidak setiap hari ada di rumah.” Tepat saat itu, sebuah mobil berhenti di belakang Vanilla dan mengklakson beberapa kali. Vanilla terlonjak karena kaget. Refleks ia menyingkir. Ia menoleh, jendela mobil itu terbuka, mobil itu berjalan pelan di sampingnya dan sebuah tangan terulur dengan selembar uang lima ribuan di antara jemarinya. Vanilla menangkap uang yang hampir dijatuhkan di hadapannya. Matanya menatap laki-laki dalam mobil baik-baik. Laki-laki itu sama sekali tak menoleh ke arahnya. Memakai kacamata hitam yang menyembunyikan sebagian wajahnya, juga kemeja dan jas yang terlihat mahal. “Tapi….” Belum sempat Vanilla menjelaskan, pria itu sudah kembali menginjak pedal gasnya dengan kencang. Dan entah sejak kapan pintu gerbang sudah dibuka, seakan mempersilakan mobil mewah itu masuk. Karena orang yang ia cari tidak ada, wanita tua itu langsung menutup gerbang dan membuat Vanilla terdiam di tempat selama beberapa saat. Vanilla berpikir dan yakin kalau itu adalah anak yang diceritakan bibinya. Anak yang keluar dari rahim bibinya. Ia menatap selembar uang di tangannya lalu memasukkannya ke saku seragamnya Hari itu ia pulang dengan tangan kosong. Tapi ia berjanji ia tidak akan menyerah. Bagaimanapun mereka harus tahu keadaan bibinya saat ini. Ia tahu hanya anak itu yang bisa menyelamatkan bibinya. Ia kembali ke rumah dan melihat bibinya sedang menonton televisi di ruang tamu. Ia duduk di samping bibinya yang langsung bertanya kenapa ia pulang telat. Vanilla terpaksa berbohong. Ia lalu bilang pada bibinya ingin berhenti sekolah. Pasalnya, asuransi tidak mencover semua biaya hemodialisa bibinya. Ia pikir ia perlu mencari kerja agar bisa membantu keuangan bibinya. Tapi saat itu bibinya bersikeras kalau ia tidak boleh berhenti sekolah. Bibinya memang masih bekerja, hanya saja ia tidak boleh terlalu lelah. Bibinya ingin ia fokus pada sekolahnya dan tidak memikirkan kondisinya. Bibinya hanya selalu meminta gadis itu untuk kuat apapun yang akan terjadi nantinya. Wanita itu sepertinya tahu bahwa hidupnya tidak akan lama lagi. Wanita itu ingin Vanilla dalam keadaan siap saat ia harus pergi. Satu-satunya yang membuatnya berat adalah karena ia satu-satunya yang dimiliki gadis itu. Jika ia pergi, gadis itu akan sebatang kara, diusinya yang masih begitu muda. Vanilla menatap bibinya nanar sambil menggeleng. Ia bilang bahwa ia percaya kondisi bibinya akan membaik. Ia percaya Tuhan tidak akan tega mengambil wanita itu dari hidupnya. Vanilla tidak pernah membayangkan akan hidup seorang diri. Vanilla tidak akan sanggup dan ia akan melakukan apapun agar bibinya kembali sehat seperti sedia kala. “Tuhan akan menjagamu…” kata wanita itu. Vanilla menggeleng lagi. Ia menggigit bibirnya untuk menahan tangisnya yang siap pecah. “Tuhan tidak akan tega.” kata Vanilla dengan nada patah-patah, “aku hanya punya Bibi. Tuhan tidak akan sampai hati membuatku jadi sebatang kara.”

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
98.4K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.4K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.5K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.0K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook