Arkadewi Cinde, nama lengkap Dewi yang asalnya dari bahasa Sansekerta. Papanya yang memberikan nama itu karena sangat menyukai bahasa Sansekerta. Sebagai salah satu dosen Fakultas Ilmu Budaya di kampus tempat dewi berkuliah, Ardiman—nama ayah Dewi—juga menyukai sejarah yang ternyata diturunkan pada anak paling bontotnya.
Ardiman dan Anantari, istrinya adalah orang Yogyakarta yang kemudian pindah ke Jakarta karena tempat Ardiman juga di sini. Mereka mengajarkan dua bahasa pada anak-anaknya sehingga Dewi juga bisa bahasa Jawa bahkan krama alus (bahasa jawa dengan tuturan paling tinggi, biasanya dipakai seorang lebih muda kepada yang tua atau yang dihormati).
Yogyakarta meninggalkan banyak kenangan untuk Dewi yang mendadak jadi suka aksara Jawa karena melihat banyak tempat menggunakan tulisan ini di papan nama. Yang akhirnya membuat dia mengulik banyak tempat sejarah di sana, hingga menjadi sangat tertarik dengan kerajaan bernama Majapahit. Salah satu kerajaan terbesar di Indonesia yang wilayah kekuasannya kemudian diperkirakan hampir ke seluruh wilayah Asia Tenggara.
Ardiman memiliki 3 anak, dan Dewi adalah yang paling terarik dengan apa yang dia lakukan. Kedua anaknya yang lain, Argani anak pertamanya menjadi polisi dan anak keduanya yang bernama Adhinatha menjadi dokter kandungan. Tidak ada pemaksaan dalam memilih cita-cita karena baginya dan sang istri, mimpi anaknya adalah yang terpenting.
“Pa, hasil terjemahanku udah pas, belum?” tanya Dewi pada sang Ardiman yang tengah membaca buku tentang perkembangan budaya di masa kini di ruang tengah yang berbatasan langsung dengan dapur.
Ardiman mengambil kaca matanya lalu mengambil buku yang disodorkan Dewi padanya. Membaca terjemahan Kitab Panjiwijayakarma. Isi kitab ini menceritakan perjalanan hidup Raden Wijaya untuk menjadi Raja Majapahit.
Sebenarnya sudah ada terjemahannya, tapi Dewi suka untuk menyalin yang kemudian akan diperiksa oleh ayahnya. Sehingga dia bisa mengukur sudah sepaham apa dia dengan basaha dan aksara yang dia pelajari.
“Wah... udah bagus ini, Dek. Meski ada beberapa yang salah untuk penempatan struktur katanya, tapi nggak papa. Ini sudah bisa dibaca dan dipahami,” ujar Ardiman pada sang putri.
“YEYYY!!” Dewi bersorak karena lemburnya sejak kemarin akhirnya berbuah hasil. “Kira-kira aku bakal dapet nilai berapa kalau ini adalah tugas, Pa?” tanyanya lagi.
“Mm... 85?”
“Kok cuma 85?!”
Anantari yang sejak tadi mengamati suami dan anak bontotnya ini cuma tersenyum. Dia sendiri tengah menyiapkan makan malam setelah bergantian dengan sang suami kemarin.
Melihat sang putri cemberut karena mungkin berharap bisa mencapai nilai 90 ke atas, tapi ternyata cuma 85 pun membuat Ardiman tersenyum. Dia pun segera memberikan pengertian sebelum anaknya ini ngambek dan malah makin getol untuk belajar sampai lupa waktu. Yang meski cukup pecicilan dan suka ngambek, pada nyatanya Dewi adalah anak yang rajin belajar.
“Papa kasih nilai segini karena pembacaan naskah Kuno itu tetap menimbulkan tafsiran yang berbeda untuk setiap orang. Menurut kamu begini, tapi bagi yang lain berbeda. Makanya papa bilang terjemahan kamu struktur katanya ada yang kurang tepat dari apa yang diterjemahkan oleh peneliti sebelumnya,” jelas Ardmian.
Setelah dijelaskan begitu, Dewi akhirnya mengerti. Dia tahu sih karena dosennya juga mengatakan demikian. Dia pun kemudian duduk di sebelah ayahnya sembari menunggu makan malam dengan menu kesukaannya yaitu Gudeg.
“Ayok makan dulu.”
Anantari akhirnya selesai menyajikan makan malam dengan menu utama Gudeg dan menu pendampingnya yaitu ayam goreng, krecek dan kering tempe. Menu Khas Jogja yang begitu disukai putrinya.
“Pelan-pelan, Dek. Kakakmu nggak di sini lagi, jadi nggak akan ada yang rebut!” Anantari menegur putrinya yang suka kalap kalau bertemu gudeg.
Bibir Dewi maju dan makin maju karena di dalam mulutnya masih ada makanan yang hendak dia kunyah. “Soalnya mamah udah dua minggu nggak masak ini... aku kan kangen gudeg....”
“Astaga, Dek... cuma dua minggu. Dan dua minggu ini kamu juga sibuk jadi kalau mama masak nggak akan ada yang abisin,” ujar Anantari.
“Mm.. bener juga si. Soalnya aku lagi ikut nyiapin acara kampus,” kata Dewi.
Ardiman jadi ingat kalau putrinya ini jadi ikutan sibuk merecoki seniornya untuk melakukan kunjungan ke Jawa Timur beberapa hari lagi. “Persiapan udah berapa persen?” tanyanya.
“Udah 80 sih, Pa. Tinggal print beberapa hal dan siapin kenang-kenangan buat museumnya kalau kita pernah mengunjungi. Sisanya tinggal kita berangkat,” jawab Dewi.
“Oke. Yang penting nanti utamakan sopan dan santun. Jaga diri dan dengarkan baik-baik penjelasan dari pemandu di sana. Karena belajar dari internet pasti beda feel-nya dengan belajar langsung,” tutur Ardiman yang selaku dosen juga untuk putrinya sehingga harus menyampaikan ini.
“Siap, Pak!” Dewi berkata seraya memberikan hormat.
Satu keluarga ini kemudian makan dengan tenang seraya menikmati siaran TV tentang berita hari ini.
“Kalau aja ada mesin waktu, aku mau lihat ke Zaman Majapahit langsung dan lihat sebenarnya apa yang terjadi sebelum runtuh.... Arghhh penasaran banget!” celetuk Dewi saat ada berita ditemukannya jalur trem saat sedang membangun proyek MRT Jakarta.
“Papa juga kepengen kalau ada. Mau lihat kemegahan Majapahit gimana,” timpal Ardiman.
Sedangkan Anantari mendengarkan saja karena dia juga tertarik dengan topik sejarah tapi tidak tahu banyal. Seperti putranya yang lain, dia punye profesi dan kesukaan yang berbeda dari Ardiman. Dia sendiri pernah jadi koki sebuah hotel ternama dan kini jadi juru masak saja dan di rumah untuk merawat kebun kecil.
“Kalau mama mau liat sih gimana cantiknya putri kerajaan. Soalnya adek selalu bahas selir ini jadi mama penasaran,” ungkap Anantari kemudian.
“Nah... kan... mama jadi ikut penasaran... soalnya tuh kita cuma bisa liat relief dan ilustrasi. Hmmm.... kalau aja ada beneran mesin waktu. Aku cuma mau liat aja nggak pengen ubah sejarah. Atau coba bisa lakuin time travel gitu. Tiba-tiba pingsan dan bangun udah jadi putri raja hehehe.”
“Ada-ada aja kamu, Dek... film apalagi yang kamu liat kali ini?”
“Hehe... ini bukan Film sih, drama korea, judulnya Mr. Queen.”
Ardiman mengusap puncak kepala putrinya karena memang topik soal mesin waktu dan kembali ke masa lalu suka diucapkan putrinya. Tapi jelas, hal ini tidak mungkin terjadi, semua itu cuma karangan. Belum ada yang bisa membuktikan jika hal seperti ini ada walau telah banyak yang mengklaim telah melakukan perjalanan waktu, tapi selalu bisa dibantah oleh logika.
“Nanti kalau aku bisa kembali ke masa lalu, aku kasih hal yang cuma bisa ada di masa itu buat jadi bukti ke mama sama papa,” ujar Dewi penuh tekad.
Ardiman dan Anantari cuma bisa meringis karena mereka tahu itu tidak akan terjadi.