Pengintaian

1115 Words
"Ternyata mereka hidup dengan baik," ujar Alfi bermonolog sendiri. Ia menatap lima orang yang sedang duduk di meja kerja masing-masing. Tatapan Alfi tidak bisa dikatakan biasa. Bahkan dari awal ia masuk, ia langsung fokus pada lima orang yang berfoto dengan kakaknya. Alfi memang belum mendapat jawaban yang pasti tentang kematian sang kakak. Jika memang sang kakak bunuh diri, maka apa penyebabnya? Meskipun dia dan sang kakak hidup tanpa sosok ibu, tapi sang Papa membesarkan mereka dengan kasih sayang. Alfi ingin mencari tahu sendiri. Jika tidak, maka ia hidup dengan rasa bersalah yang sangat besar kepada kakaknya. Mungkin orang akan bertanya-tanya bahkan menyebutnya bodoh karena pindah kerja ditempat yang tidak lebih baik dari perusahaan sebelumnya. Tapi untuk sekarang, Alfi tidak ingin mencari pekerjaan dengan gaji serta fasilitas yang lebih baik. Alfi sudah berusaha agar bisa masuk ke perusahaan kosmetik ini. Usahanya tidak sia-sia karena kesempatan itu datang sendiri. Alfi memegang dua ponsel. Satu adalah ponsel versi lama, sedangkan satu lagi diproduksi 6 tahun yang lalu. Meskipun begitu, masih banyak yang menggunakannya karena sistem di dalam ponsel tersebut masih cocok digunakan di tahun ini. Keduanya adalah ponsel milik sang kakak. Anehnya, satu ponsel sudah tidak ada data apapun. Semua peraturan dan sistem kembali ke pengaturan pabrik. Aneh demi keanehan Alfi temukan. Tampaknya ia begitu terlambat menyadarinya. Seharusnya 4 tahun yang lalu ia berani melihat semua barang-barang milik sang kakak. Tapi mau bagaimana lagi, saat itu Alfi syok luar biasa. Bahkan hanya ada keinginan untuk mati dalam dirinya. Bertahan sampai sejauh ini sudah sangat bagus. Alfi yang baik tidak ada lagi. Apalagi Alfi yang selalu ramah dengan orang lain, semua sudah menghilang. Hidupnya benar-benar seperti robot yang hanya menghabiskan waktu untuk bekerja saja. Bahkan ia sanggup bekerja 48 jam tanpa tidur. Kesehatan menurun membuat dia terpaksa tidur dengan obat tidur. Alfi masih memperhatikan lima orang secara bergantian. Dia membuka sedikit tirai yang menutupi jendela kaca ruangannya. Tentu saja Alfi tidak akan melakukan secara terang-terangan. "Sial," umpat Alfi saat melihat seseorang menutupi pandangannya. Tapi mata Alfi tidak ingin berpaling dari objek tersebut. Dia bahkan penasaran dan ingin mendengar apa yang mereka bicarakan. Bahkan Alfi tidak sadar mengepalkan tangan. "Makasih untuk s**u kotak kemarin, Mas." Ayana sedikit canggung. Dia menyodorkan dua kaleng kopi kepada lawan bicaranya. Gio menggaruk leher yang tidak gatal. "Saya tidak mengharapkan balasan," balasnya. Ayana tersenyum. "Tidak apa-apa, Pak. Tolong jangan ditolak." "Baiklah. Terima kasih." Gio tersenyum tipis. Entah kenapa menurut Ayana hal itu terlihat manis sekali. Beginilah kalau orang yang jarang tersenyum, sekali tersenyum terlihat sangat manis sekali. "Sama-sama, Pak" Ayana ingin kembali ke meja kerjanya. "Ayana." Gio memanggil sehingga langkah Ayana terhenti. Ayana bahkan membalikkan badannya karena tidak sopan berbicara dengan membelakangi lawan bicara. "Iya, Pak. Kenapa?" Ayana sedikit takut kalau kopi yang ia berikan tidak disukai oleh Gio. "Terima kasih sudah membantu saya." "Membantu apa?" Ayana mengerutkan kening. "Soal desain tim saya." Ayana malu sendiri. "Tidak apa-apa, Pak. Saya senang bisa membantu Laksa dan yang lain." Tiga hari yang lalu, Ayana memang membantu tim 1 untuk mendesain sebuah poster. "Kapan-kapan saya traktir." Ayana langsung menggeleng. "Tidak usah, Pak." Gio memasang wajah sedih. "Tenang saja, kita tidak berdua. Ada anggota tim saya yang akan ikut." Ayana merasa tidak enak hati. "Tidak perlu, Pak. s**u kotak yang Bapak berikan sudah lebih dari cukup." "Baiklah. Saya tidak akan memaksa." Ayana tersenyum. Ternyata Gio bukan orang yang keras kepala. Berbeda dengan kepala divisi mereka. Aduh, kenapa Ayana jadi ingat Alfi sih. Padahal dia sudah tidak ingin berhubungan atau memikirkan Alfi lagi. Ayana sudah membuang Alfi jauh-jauh sampai ke dasar laut agar tidak muncul di kepalanya lagi. "Kalau begitu, saya kembali ke meja kerja dulu, Pak." "Oh ya, Silahkan." Gio mempersilahkan. Mereka jarang berbicara, mungkin kali ini baru berbicara cukup panjang. Gio dan Ayana berbeda tim sehingga jarang berinteraksi. Ayana kembali ke meja kerja. Lusi menatap Ayana sambil senyum-senyum sendiri. "Kenapa?" tanya Ayana. "Pak Gio boleh juga tuh," bisik Lusi karena tidak ingin didengar oleh yang lain. Ayana menghela nafas panjang. "Kamu bilang apa sih?" "Udah nggak usah malu-malu, Pak Gio ganteng kok. Maksudnya Mas Gio." Lusi juga bingung memanggil Gio dengan sebutan apa. Jabatan Gio tentu lebih tinggi dari mereka, maka sepantasnya untuk menghormati dan memanggil dengan sebutan 'Pak'. Tapi anggota tim Gio memanggil Gio dengan sebutan 'Mas'. "Iya sih, senyumnya juga manis." Ayana mengakui hal itu. Lusi langsung menutup mulut agar tawanya tidak terdengar yang lain. Bahaya karena masih jam kerja. "Dia senyum?" tanya Lusi penasaran. Ayana mengangguk. "Manis," ujarnya memberi penilaian. "Cie Ayana, udah lihat senyum Pak Gio aja." "Cerita apa ni?" Tiba-tiba Indra ikut nimbrung. Padahal dia baru saja kembali dari luar. Bahkan maskernya belum terbuka. "Nggak usah ikut campur," balas Lusi langsung. Padahal dia asik menggoda Ayana, tapi Indra malah ikut nimbrung. "Ini cerita perempuan," lanjut Lusi tanpa henti. "Gue cuma nanya." Indra menatap Lusi dengan tajam. "Udah udah, masih jam kerja. Nan-" Ayana langsung berhenti berbicara. "Kenapa?" tanya Lusi. Ayana langsung menyembunyikan wajahnya. "Kenapa sih?" Lusi kembali bertanya. "Coba lihat ruangan Pak Alfi." Ayana mengatakan dengan suara pelan. Lusi dan Indra langsung melihat ke arah ruangan sang kepala divisi. Tapi tidak ada apa-apa. Ruangan tertutup, bahkan tirainya juga tertutup. Lusi menatap Indra. "Lo lihat?" tanyanya. Indra menggelang karena memang ia tidak melihat apa-apa. "Lihat apa sih?" Lusi jadi bingung sendiri. Ayana menegakkan kembali kepalanya. Dia melihat ke arah ruangan sang atasan. Memang tidak ada, padahal sebelumnya Ayana melihat Alfi menatap dari dalam ruangan. Ayana sampai kaget sendiri saat tatapan mereka tidak sengaja bertemu. Mana tatapan juga tajam. Bikin takut saja. "Hantu kali." Indra berbicara asal saja. Ayana tertawa dengan tidak niat. "Iya, hantu mungkin." "Ha? Serius?" Lusi kaget. Apa benar di ruangan mereka ada hantunya? memang sih ruangan mereka agak seram. "Iya, coba aja ntar malam lembur." Indra menantang Lusi. "Nggak mau!" Lusi menolak mentah-mentah. Ayana hanya bisa geleng-geleng kepala. Dia menyudahi obrolan mereka dan kembali bekerja. Dia tidak ingin mendapat omelan dari sang atasan karena banyak bicara di jam kerja. Apalagi Alfi memperhatikan karyawan yang lain dari dalam ruangan. Bikin takut saja. Disisi lain, Alfi seperti orang yang sedang melarikan diri. Seharusnya ia tidak perlu menutup tirai jendela. Tapi jika tidak, maka yang lain bisa melihatnya dan Alfi tidak bisa memperhatikan targetnya lagi. Alfi tidak bisa menunggu lagi. Dia mengirim pesan kepada lima orang yang sedang menjadi target pengintainya. Tentu saja nomor yang digunakan Alfi adalah nomor kakaknya. Dia mengaktifkan kembali nomor tersebut. Sabrina Halo. Lama tidak berjumpa. Apa kabar? Pesan sudah terkirim. Alfi membuka kembali tirai dengan hati-hati agar tidak ada yang melihat. Dia ingin melihat respon dari lima orang yang memiliki hubungan mencurigakan dengan kakaknya. Gubrak!! Suara orang terjatuh. Alfi langsung melihatnya. "Kenapa Arsel?" tanya Ayana dan Lusi yang sudah berdiri. Mereka kaget. "Ti-tidak ada apa-apa." Arsel menjawab dengan terbata-bata.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD