Mari Bertemu Disaat sudah sama-sama siap

1104 Words
Apa yang terjadi setelah Ayana dan Alfi tahu jika mereka saling menyukai? Mereka memilih untuk menjauh. Berkomunikasi hanya untuk hal-hal penting saja. Selain itu, jangankan untuk berbicara, bertatapan saja tidak. Mereka sama-sama menghindar karena pada sejatinya mereka merasa sekarang bukanlah waktu yang tepat. Apa yang mereka inginkan? Tentu saja kalau sama-sama sudah siap adalah sebuah pernikahan. Tapi sekarang keadaan mereka tidak bisa untuk menikah. Ayana dan Alfi masih menjadi seorang mahasiswa. Lebih baik fokus dengan pendidikan lebih dulu. Meskipun begitu, ada kalanya Ayana dan Alfi tidak sengaja bertemu di lingkungan kampus. Mereka sama-sama salah tingkah. Bahkan Alfi pernah tidak sengaja terpeleset di depan Ayana. Tentu saja kejadian yang memalukan sekali. Tapi Ayana sangat mengkhawatirkan Alfi. Beberapa orang mengetahui bahwa Ayana dan Alfi saling menyukai. Tapi mereka juga sama-sama heran, kenapa Alfi dan Ayana semakin menjauh? Tapi mereka tidak ingin ikut campur. Hal seperti ini terjadi sampai Alfi lulus dari kampus. Waktu terasa begitu cepat berlalu. Ayana masih berada di semester tujuh tapi Alfi sudah lulus dan akan wisuda sebentar lagi. Ayana membuat beberapa buket bunga untuk senior-seniornya yang wisuda termasuk untuk Alfi. Tentu saja buket bunga untuk Alfi terlihat lebih besar dan sedikit lebih bagus. Mungkin karena Ayana memang punya niat untuk memberikan kepada Alfi. Apa setelah Alfi wisuda mereka akan bertemu? Entahlah, Ayana tidak berharap banyak. Mungkin perasaan kagumnya hanya sampai disini saja. Alfi akan memasuki kehidupan yang sibuk dengan pekerjaan. Dia akan semakin dewasa, pikirannya juga semakin dewasa. Ayana jelas tertinggal dibanding dengan sosok perempuan yang akan ditemui oleh Alfi nanti. "Jangan nangis dong," ujar Yola sambil menyenggol bahu Ayana. "Siapa yang nangis?" Yola tertawa kecil. "Kalau jodoh nggak kemana." Ayana percaya hal itu. Tapi apa dia dan Alfi berjodoh? Entahlah, orang yang sama-sama suka juga bisa tidak berjodoh. Tapi mau bagaimana lagi? "Ini pasti buket buat Kak Alfi?" tebak Yola. Ayana tersenyum malu. Kemudian ia mengangguk. "Bagus banget. Effort kamu nggak main-main sih." Yola memberikan dua jempol kepada sang teman. Padahal buket bunga bisa dibeli agar tidak ribet, tapi Ayana memilih untuk membuatnya sendiri. "Lebih murah kalau buat sendiri." Ayana mencari-cari alasan. "Iya deh." Hari wisuda datang juga. Banyak junior yang juga datang untuk memberi selamat kepada senior yang sudah lulus lebih dulu. Yola juga membawa beberapa buket bunga untuk diberikan kepada senior-senior mereka. Ayana bingung, bagaimana cara ia memberikan buket bunga kepada Alfi? Langsung diberikan saja? Atau harus ada yang Ayana ucapkan lebih dulu. Dia sangat-sangat bingung. Ayana lebih dulu melihat Verno. Dia mendekat dan langsung memberikan buket serta ucapan selamat wisuda. Verno mengucapkan terima kasih. Ditangan Verno sudah banyak buket bunga. Jelas saja karena selama ini dia menjadi salah satu senior yang sangat baik. "Lagi nyari Kak Alfi ya?" Verno juga sama pekanya dengan Yola. Jadi melihat bagaimana gelagat Ayana, dia bisa menebaknya dengan mudah. "Iya, Kak." Ayana menjawab dengan malu-malu. "Sebentar lagi keluar. Kak Alfi lagi bicara sama dosen dulu." Ayana mengangguk. Sembari menunggu Alfi keluar, Ayana memberikan buket bunga kepada senior yang lain. Akhirnya tinggal satu buket yang tersisa. Dari jauh Ayana bisa melihat Alfi bersama seorang perempuan dan pria paruh baya. Alfi tampak dekat dengan perempuan itu. Ayana jadi tidak ingin menghampirinya. Tidak apa-apa. Ayana hanya kagum saja, Alfi juga berhak dekat dengan perempuan manapun. Ayana bukan siapa-siapa meskipun mereka saling suka sekalipun. Ayana ingin pulang ke kosan. Tapi dia mencari Yola lebih dulu. Di Banyak kerumunan orang, ia sedikit kesulitan. "Apa sudah ketemu sama Alfi?" tanya Verno. "Belum kak. Besok saja." Verno mengerutkan kening. "Besok kapan?" "Ya besok-besok kapan Kak Alfi ke kampus." "Apa kamu tidak tau kalau Alfi bakalan kerja di luar negeri?" Ayana terdiam sejenak. Dia sama sekali tidak tahu. "Langsung kerja?" Ayana memastikan. "Iya. Alfi kan pintar, jadi wajar sebelum lulus udah ada yang minta dia bergabung di perusahaan luar." Benar juga. Alfi memang pintar, bahkan dia sudah membuat berbagai macam aplikasi dengan tingkat keamanan yang cukup tinggi. Beberapa kali Alfi juga mengikuti perlombaan di dalam dan luar negeri. "Sayang banget kalau nggak ketemu sekarang. Setidaknya kamu juga harus kasih buket itu sama Alfi." Verno menatap buket bunga yang dipegang oleh Ayana. Pasti buket itu untuk Alfi. "Nggak usah, Kak." Ayana menolak. Verno jadi geram sendiri. "Tunggu disini," ucapnya. "Mau ngapain?" "Pokoknya tunggu." Verno langsung pergi. Ayana menunggu sesuai dengan perkataan Verno. Entah apa yang diinginkan seniornya itu. Tidak lama, Verno datang bersama seseorang. Mereka berlari mendekati ke arah Ayana. Nafas mereka tampak tidak beraturan. "Bilang apa yang mau dibilang, udah gede juga. Asal ucapan bisa dipertanggung jawabkan." Verno memberi nasehat sebelum meninggalkan Ayana dan Alfi. Mereka sedang berada di keramaian orang. Tapi tidak masalah, Ayana sudah membuat buket dengan sepenuh hati. Tidak ada yang mulai berbicara. Ayana hanya menatap buket yang ada di tangannya saja. Sedangkan Alfi menggaruk-garuk leher yang tidak gatal. Tapi mereka tidak bisa diam-diaman seperti sekarang. "Saya-" "Kakak-" Ayana dan Alfi sama-sama berbicara. "Kakak saja dulu," ujar Ayana cepat. "Kamu saja," balas Alfi. "Kakak saja." Alfi tertawa kecil. "Baiklah, maaf untuk semua tindakan aneh saya selama ini." "Saya juga," balas Ayana. "Apa kamu masih menyukai saya?" Alfi bertanya langsung saja. Ayana menutupi wajahnya dengan buket bunga. Malu sekali. "Jawab saja," pinta Alfi. Dia bahkan berbicara tidak jelas. "Saya juga malu," lanjutnya lagi. "Iya, saya masih suka." Ayana menjawab dengan jujur. Dia bahkan menjawab dengan suara yang sedikit tidak jelas di tengah keramaian. Meskipun begitu, Alfi mendengarnya. Alfi tersenyum lebar. Entah kenapa ia merasa lega. "Saya akan bekerja di Singapura." "Saya tau." Ayana tidak sedih, dia malah sangat bangga. "Apakah kamu mau menunggu saya dua tahun lagi?" Deg! Jantung Ayana menggila. Apa maksud sang senior? Dia sedikit sulit untuk mengerti. Lebih tepatnya, Ayana tidak mau salah paham. "Bagaimana Ayana?" Alfi kembali bertanya. "Apa kakak juga menyukai saya?" Ayana memberanikan diri untuk bertanya. "Ya. Kalau tidak, mana mungkin saja menyuruh kamu menunggu." Wajah Ayana memerah. Rasanya ia ingin berteriak saja. "Hanya minta waktu dua tahun. Setidaknya selama dua tahun saya sudah punya tabungan untuk melamar kamu. Dua tahun lagi, kamu juga sudah lulus kuliah." Jangan tanya bagaimana keadaan Ayana sekarang. "Sa-saya akan menunggu." "Tapi jika dalam waktu dua tahun, kamu menyukai laki-laki lain dan laki-laki itu sudah siap untuk menikahi kamu serta dia juga laki-laki baik. Maka terima lah." Rasanya tidak mungkin. Ayana saja kagum kepada Alfi sudah dari lama. "Maaf, sepertinya saya tidak bisa mengatakan hal yang sama. Kakak jangan menikah dengan siapapun," cicit Ayana. Alfi tertawa. "Baiklah, Ayana. Kamu harus belajar yang rajin dan jagalah diri dengan baik." "Tentu saja, Kak." Ayana juga ingin menjadi orang yang pantas bersanding dengan pria seperti Alfi. "Mari bertemu lagi disaat kita sama-sama siap." Ayana memberikan buket bunga kepada Alfi. Alfi menerima dengan senang hati. "Terima kasih, Ayana." Dia tersenyum. Flashback Off
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD