Kena Lagi

1037 Words
"Muka kusam tidak terawat. Kantung mata terlihat jelas." Lusi memberikan jempol kepada Ayana. "Menggambarkan bagaimana kehidupan para pekerja sebenarnya," lanjut Lusi lagi. Ayana membasuh wajahnya berkali-kali. Memang benar, wajahnya terlihat kusam. Bukan karena dia tidak pandai merawat diri. Tapi hal ini terjadi karena dua hari yang lalu sang abang yaitu Fajar membawa dirinya ke pantai. Tanpa ada perencanaan, bahkan Ayana tidak menyiapkan diri dengan baik. Dia tidak membawa sunscreen, dia juga tidak membawa masker. Topi dan kacamata saja dibeli di kawasan pantai. Sungguh sang abang tidak bisa ditebak sama sekali. Niat Fajar memang baik yaitu membawa Ayana keluar untuk menikmati kehidupan selain bekerja. Tapi Ayana tidak ada persiapan. Bahkan Ayana berpikir ia akan dibawa ke mall saja atau berburu jajanan di festival. "Kusam banget ya?" tanya Ayana. Kulitnya memang bukan tipikal kulit yang putih. "Mau jawaban jujur atau bohong?" Ayana langsung menutup mulut Lusi. "Nggak usah jawab," balasnya. Lusi tertawa. "Dibawa santai aja." Ayana mengeringkan wajahnya dengan tisu. Setelah itu ia kembali memakai masker. Selain wajah kusam, kantung matanya juga terlihat karena sudah begadang menyiapkan pekerjaan. Ayana menghela nafas berkali-kali. Lusi sudah memperhatikan dari tadi. "Kenapa?" tanya Lusi. "Nanti aku harus menghadap ke Pak Alfi." Ayana memasang wajah sedih. "Hari ini ya?" Ayana mengangguk. Ternyata sudah satu minggu berlalu sejak Ayana mendapat omelan dari sang kepala divisi. Lusi sampai tidak sadar. Pantas saja Ayana bekerja begitu gigih. "Udah, nggak usah terlalu dipikirkan." Lusi berusaha memberi semangat kepada Ayana. "Aku yakin rancangan kali ini akan lolos," lanjut Lusi lagi. Ayana sedikit tidak yakin. "Menurut kamu rancangan yang aku buat gimana?" "Bagus kok. Warnanya juga nyaman dimata." Lusi mengatakan sesuai dengan penilaiannya sendiri. "Gimana kalau ditolak lagi?" Ayana ingin menangis padahal dia belum menghadap sang ketua divisi. "Kita kempesin ban mobilnya," usul Lusi. Ayana langsung tertawa. "Emang kamu berani?" Lusi menyengir. "Nggak sih," ungkapnya jujur. Setelah berbincang sebentar, Ayana dan Lusi sama-sama keluar dari kamar mandi. Mereka melangkah menuju lift. Di tangan mereka sudah ada beberapa cup kopi milik mereka dan rekan kerja yang lain. "Apa yang dibilang Mbak Tias memang nggak salah." "Apaan?" Ayana mengerutkan dahinya. Mereka sedang menunggu pintu lift terbuka. "Rasa kopinya lebih enak dari sebelumnya," jelas Ayana. "Oh ya?" Ayana belum mencobanya. Ia ingin minum saat sudah duduk di meja kerja saja. "Iya." "Baris-" Pintu lift terbuka. Beberapa karyawan keluar dari dalam lift sehingga lift kosong. Ayana dan Lusi masuk ke dalamnya. Mereka ingin menutup pintu lift, tapi masih ada yang ingin masuk. "Siang, Pak." Lusi buru-buru menyapa dengan ramah ketika melihat atasan masuk ke dalam lift. "Ya, siang." "Siang, Pak." Ayana juga menyapa. Sungguh jantungnya berdetak dengan cepat. Ayana bukan sedang jatuh cinta, mungkin dia terlalu takut. "Hm." Lift diisi dengan keheningan saja. Bahkan Ayana menunduk sambil menatap sepatunya. Apa Ayana terlalu berpikir berlebihan? Sepertinya begitu. Ia merasa sang kepala divisi membalas sapaan dirinya dan sapaan Lusi dengan berbeda. Kenapa membalas sapaan Ayana begitu singkat? Ayana bukan ingin bersikap atau berpikir secara kekanak-kanakan, tapi dia merasa Alfi tidak begitu ramah kepadanya seperti kepada yang lain. Padahal Ayana dan Alfi sudah mengenal sejak dibangku perkuliahan. Kenapa Alfi menjadi orang yang berbeda? Ayana benar-benar tidak punya jawaban. Sebelum ia berpikir terlalu jauh, pintu lift terbuka. Alfi keluar lebih dulu. Kemudian baru Lusi dan Ayana. Keduanya sama-sama menghela nafas penuh kelegaan. Entah kenapa saat berada di dalam lift mereka merasa lama sekali. Padahal biasanya tidak, mungkin karena mereka tidak bisa berbicara atau mengobrol. Apalagi satu lift dengan atasan baru tentu sedikit tidak nyaman. "Ke kamar mandi dulu yuk?" ajak Lusi sebelum masuk ke dalam ruangan. Ayana mengangguk. Mereka ke kamar mandi sebentar. Setelah itu barulah menuju ke meja kerja masing-masing. "Ini kopinya," ujar Ayana sambil memberikan satu cup kopi kepada Indra. Indra mengucapkan terima kasih. Selanjutnya Ayana memberikan kepada yang lain. "Kenapa lama?" tanya Indra. "Kenapa?" Bukannya menjawab, Ayana malah balik bertanya. "Tadi Pak Alfi nyari," jelas Indra. Ayana dan Lusi sama-sama kaget. "Kapan?" "Lima menit yang lalu." "Ha? Barusan?" Ayana mematikan. "Iya." "Beliau nyarinya gimana?" Ayana benar-benar tidak mengerti. Padahal tadi dia baru saja bertemu dengan Pak Alfi di dalam lift. Indra meminta bantuan kepada Arsel. Dia tidak menjelaskan sendiri tapi malah memperagakan bagaimana Pak Alfi mencari dirinya. "Ayana kemana?" "Izin beli kopi di bawah, Pak." "Saya tidak masalah kalau ada yang ingin membeli sesuatu di jam kerja. Tapi jangan sengaja membuang-buang waktu padahal pekerjaan sedang banyak." "Ba-baik, Pak." "Nanti jam dua, suruh dia menghadap saya." Indra memperagakan dengan baik. Bahkan Ayana dapat membayangkan dengan jelas bagaimana nada bicara dan ekspresi Pak Alfi. "Baik, Pak." "Begitu Ayana," ujar Arsel setelah selesai memperagakan sang atasan. Apa yang harus Ayana lakukan? Jelas sekali Pak Alfi sedang menyindir dirinya. Padahal Ayana menghabiskan waktu yang sedikit lama dari biasanya karena harus mengantri ditambah ke kamar mandi. Tapi kenapa tidak langsung mengatakan kepada dirinya? "Kayaknya kamu udah ditandai, Aya." Lusi sedikit prihatin. Padahal dia juga ikut bersama Ayana. "Sepertinya aku harus mencari info lowongan kerja," ujar Ayana dengan wajah frustasi. "Jangan!" Lusi jelas saja melarang. "Kamu nggak akan dipecat dan jangan mengundurkan diri," lanjutnya. Dia sudah dekat dengan Ayana, jadi Lusi tidak ingin kehilangan rekan kerja seperti Ayana. “Doain ya,” pinta Ayana. Lusi tentu saja mengangguk. Pukul dua siang, Ayana sudah berdiri didepan ruangan Pak Alfi. Dia menarik nafas dalam-dalam agar bisa lebih tenang dan rilex. Rekan kerja hanya melihat Ayana dari meja kerja saja. Mereka bahkan tidak henti-hentinya memberi Ayana semangat dengan gerakan tangan atau gerakan mulut tanpa suara. Ayana mengetuk pintu. Setelah ada jawaban dari dalam, barulah ia membuka pintu dan masuk. Meskipun Pak Alfi terlihat lebih dewasa, Ayana tidak boleh jatuh hati lagi. Hubungan mereka hanyalah atasan dan bawahan. Ayana cukup sadar diri. Apalagi berlarut-larut dalam perasaan yang tidak halal sangat tidak baik. “Apa rancangannya sudah selesai?” “Sudah, Pak.” Alfi langsung mengulurkan tangan. Ayana mengerti dan memberikan tap yang berada ditangannya. Tidak banyak bicara. Pak Alfi langsung melihat rancangan yang sudah dibuat oleh Ayana dan Zane. Ayana berdiri sambil menunggu hasil. Semoga saja kali ini rancangannya bagus dan sesuai dengan keinginan sang atasan. “Hanya ini kemampuan kamu?” tanya Pak Alfi. Dia melepaskan kacamata dan menatap Ayana. “Iya, Pak.” “Sungguh mengecewakan.” Deg! Ayana tidak bisa berkata lagi. Dua kata sederhana tapi sungguh membuat hatinya merasa tidak nyaman.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD