Bab 6 Pergi Berkencan

1073 Words
Sekembalinya dari rumah kakek dan neneknya hari itu, Angel merasa semua tenaga dan akal sehatnya terkuras habis, jadi dia ingin menghabiskan dua hari libur di rumah saja untuk memikirkan bagaimana dia harus menangani masalah berpacaran pura-pura ini dengan Kriss. Tapi, ketika sedang bersantai sambil berjemur di teras apartemennya di pagi kedua hari liburnya, ponsel pribadi dan khusus hanya untuk teman dan keluarganya yang tenang sejak kemarin tiba-tiba bergetar. Angel membuka mata dengan malas dan meraih benda pipih kesayangan sejuta umat itu dan membukanya. 'Ayo pergi kencan.' Adalah tiga kata yang tertulis di kotak pesan dan dari nomor asing yang tidak Angel ketahui. Karena berpikir itu adalah pesan dari salah satu mantannya, Angel meletakkannya kembali dan tak peduli, tapi tak lama kemudian ponselnya berdering lagi, kali ini sebuah panggilan telepon. Sekali lagi membuka mata, Angel mulai kesal dan menjawab dengan suara tak ramah. "Halo." "Kau mengabaikan pesanku?" Suara setengah kesal terdengar dari seberang. "Kau siapa?" "Kau tidak menyimpan nomor teleponku?" "Tidak, kau memangnya siapa?" Orang di seberang menghela napas keras. "Aku Kriss." "Oh." "Oh? Hanya itu reaksimu?" Angel memutar mata, meletakkan kepalanya kembali ke sandaran kursi, merapikan masker buah yang hampir pecah dan lanjut memejamkan mata. "Dari mana kau dapat nomor ponsel pribadiku?" "Dari ibumu." Sudah kuduga. "Oh. Jadi ada apa?" tanya Angel lagi. Di seberang telepon, Kriss menarik dan menghembuskan napas lagi dan berupaya agar tetap sabar. "Aku tunggu di coffe shop xxx di jalan xxxx." Angel membuka matanya sedikit dan menyalakan loudspeaker, kemudian meletakkan ponselnya di meja. "Skip, hari ini aku mau libur di rumah saja." "Kalau begitu aku ke apartemenmu." "Hey!" Angel langsung bangkit dan mendelik ke arah ponselnya. "Ada apa denganmu? Untuk apa berkencan tiba-tiba begini?" Masker yang sudah Angel upayakan agar tidak bergeser pada akhirnya pecah juga, menjatuhkan remahan keringnya ke pangkuan gadis itu. "Ini bukan tiba-tiba, aku sudah menghubungimu sejak tadi malam! Tapi ternyata yang kau berikan padaku nomor telepon bisnismu! Yang juga sedang tidak aktif. Padahal kita sudah sepakat untuk kerja sama, tapi kau justru bersikap seperti ini." Angel berdehem pelan. "Aku terbiasa memberikan orang nomor telepon bisnisku, jadi secara tak sadar memberikannya padamu juga." Kriss mendengus tak percaya. "Terserah, datang ke tempat yang aku bilang tadi, aku sudah di jalan." "Kenapa tiba-tiba?" "Datang saja." Kemudian, dengan suara bip pelan, pria itu sudah memutuskan panggilan secara sepihak. Angel meraih ponselnya kembali dan menatap dengan kesal. "Kenapa dia semakin menyebalkan setelah dewasa?" gumamnya. Dia kemudian beranjak ke kamar mandi untuk cuci muka dan sikat gigi, setelah itu menyisir rambutnya asal-asalan, memasang kacamata minus, karena terlalu malas memakai softlens dan meraih jaket musim semi berwarna abu-abu di lemari. Keseluruhan penampilannya sangat biasa, hanya dengan kaos oblong dan celana jeans pendek, tidak lupa topi untuk menutupi wajahnya agar tidak dikenali jika kebetulan bertemu rekan kerja. Bagaimanapun, Imagenya sebagai pemimpin perusahaan harus selalu terjaga. Tapi, sesaat sebelum dia keluar, ponsel yang dia letakkan di saku jaket bergetar lagi. 'Berdandan yang cantik, ini kencan bukan pergi berbelanja di minimarket!' itu isi pesan Kriss. Angel mengerutkan kening, menatap penampilannya yang memang biasanya hanya akan dia pakai untuk berbelanja bulanan di minimarket terdekat dan membalas. 'Apa kau cenayang?' 'Itu karena kau pernah melakukan itu padaku sebelumnya!' Sebelum Angel membalas, pesan lain masuk lagi. 'Cepat! Setidaknya berpenampilan yang rapi!' Angel mendengus. "Kenapa dia selalu mengakhiri pesannya dengan tanda seru? Lagipula untuk apa kencan tiba-tiba?" Tapi pada akhirnya dia tetap berbalik untuk mengganti pakaiannya. Setibanya di coffe shop yang telah dijanjikan, Kriss sudah menghabiskan setengah kopinya dan duduk bersedekap dengan wajah sedikit tertekuk. Seolah takut kalau orang tidak akan sadar bahwa dia sedang bad mood. Angel mengangkat alis dan mengetuk meja di depan pria itu. "Permisi, begitukah caramu menyambut teman kencanmu?" Kris melirik dengan kesal. "Kau membuatku menunggu setengah jam," ujarnya sambil menunjukkan jam tangan. "Apa kau sengaja?" Angel mengendikkan bahu. "Jika kau tidak menyuruhku berdandan dulu, aku pasti tiba di sini setengah jam lebih cepat." Wajah Kriss semakin ditekuk, padahal dia mengharapkan permohonan maaf karena dibuat menunggu, tapi gadis di hadapannya malah membuatnya semakin kesal. Tapi, dia tidak punya waktu mengungkapkan kekesalannya begitu melihat beberapa sosok masuk ke coffe dan mendudukkan diri di meja terdekat dengan mereka. Kriss berpura-pura tidak melihat dan mengubah wajahnya secepat kilat. Dengan senyum berkembang lebar, dia berdiri dan merentangkan tangannya ke arah Angel. Angel yang terlalu terkejut, tidak sempat bereaksi dan baru sadar setelah dipeluk dengan erat. "Apa yang kau lakukan?" "Jangan memberontak, seseorang mengawasi kita," bisik Kriss. Dia kemudian menarik gadis di dalam pelukannya ke sofa tempat dia duduk tadi tanpa melepas rangkulannya, hanya menggesernya ke pinggang. "Orang berpakaian coklat yang duduk di depan mengikutimu dan orang berpakaian hitam di belakang, mengikutiku." Angel langsung mengerti maksudnya. "Para orang tua itu memata-matai kita?" Kriss mengangguk, mendekatkan wajah dan menggeser rambut di pipi Angel ke belakang telinga. "Sejak kemarin, ibuku terus menelpon ibumu karena gelisah kita belum memperlihatkan kemajuan apapun, jadi tunggu apa lagi? Jangan terus memasang wajah enggan seperti itu. Berakting seolah kau sangat men... hummfft "Percaya atau tidak, jika kau mengatakan kata-kata menjijikkan seperti itu di depanku, setengah kopi di atas meja akan berkahir di kepalamu." Kriss menepis tangan yang menutup mulutnya dan mengerutkan kening. "Entah mengapa kata-kata itu terdengar sangat familiar." Angel tidak peduli dan mengangkat tangannya untuk memanggil pelayan, memesan ice americano dan red velvet cake. Kemudian menoleh untuk mendorong bahu Kriss. "Lepaskan tanganmu dan bergeser sedikit, kau hampir menjepitku." "Kenapa? Kita harus berakting mesra." "Jika ingin berakting kita sedang kencan tanpa dicurigai, maka lakukan dengan lebih alami, yang kau lakukan tadi itu terlalu berlebihan." Angel merilekskan duduknya, dengan posisi yang tidak terlalu dekat dan tidak terlalu jauh. "Lagipula, siapa yang akan berkencan dan menempel layaknya perangko seperti tadi?" "Aku berkencan seperti itu dengan Rachel." Angel langsung melempar tatapan jijik. "Di depan umum?" "Tentu saja tidak, Rachel selebriti, jadi kami tidak bisa duduk di tempat ramai seperti ini." "Thats the point, i'am not Rachel, jadi jangan perlakukan aku seperti dia." "Tentu saja bukan, dari sisi manapun aku melihat, kau tidak mirip sama sekali dengan Rachel, bahkan jika aku hanya melihat bayangan kalian aku bisa membedakannya." Angel terdiam sejenak, seolah mengingat sesuatu sebelum mendengus dan tertawa. "Kenapa ketawa? Apanya yang lucu?" "Kau bilang bisa membedakan kami hanya dengan bayangan?" "Tentu saja." Angel mendengus. "Baik, anggaplah seperti itu." Tapi dari raut hingga nada bicaranya, dia jelas sama sekali tidak percaya. Jika waktu bisa diputar, Angel benar-benar ingin kembali ke masa lalu dan menampar Kriss dengan kenyataan tentang kebohongannya saat ini. Tapi, masa lalu bukan sesuatu yang ingin Angel ingat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD