Bab 2 Putusnya Hubungan

1103 Words
" ... " Rachel dan Kriss menoleh bersamaan dan melihat seorang gadis menopang tubuhnya di kap mobil, sambil menutupi mulutnya. Sakit? Tapi bukan urusan mereka. Kriss kembali memusatkan perhatiannya pada Rachel, menarik kedua tangan gadis itu dengan lembut. "Rachel, kau tahu sendiri aku sangat mencinta... "Hoeek ... " ... " Kriss menarik napas. "Aku sangat mencintai ... "Hoeeeeeeekkk... "Aku mencin... "Hoeeeekkk... "Apa masalahmu! Apa kau sengaja!" Angel masih menopang tubuhnya di mobil. Selain rasa mual, keringat dingin juga mulai menetes dari dahinya, sedangkan napasnya mulai sesak. "Ughh ... Bisakah, bisakah kalian berhenti bicara terlebih dahulu." "Apa?" Meskipun parkiran cafe itu sangat luas, tapi saat ini jarak Angel dan Kriss cukup dekat, jadi meskipun Angel hanya bisa mengeluarkan suara pelan, Kriss dan Rachel masih bisa mendengarnya. “Aku tidak tahan lagi!” Angel mendongak dengan mata melotot. “Bisakah kalian melakukan pertengkaran ci-Hoeeek, menjijikkan kalian di tempat lain? Di sini tempat umum!” Setelah itu, tanpa memberikan dua sejoli itu tatapan lain, Angel masuk ke mobilnya dan meninggalkan parkiran dengan auman mobil mewahnya yang menggelegar. Kriss berkedip dan menoleh pada Rachel. "Dia terlihat familiar." "Tentu saja, dia Angelica Auclair!" Wajah Rachel memerah karena amarah, dia menepis tangan Kriss dan mulai memukul lengan pria itu. "Semuanya, karenamu, aku akan kehilangan sponsornya karenamu! Padahal aku sudah berusaha sangat keras agar bisa jadi brand ambassador makeupnya!" Kriss meringis, dia menahan tangan Rachel dan menunduk. "Rachel, jika hanya karena masalah kecil seperti ini dia tidak mau bekerja sama lagi, maka dia tidak pantas menjadi partner kerja, kau bisa mencari perusahaan lain dengan statusmu." "Apa yang kau tahu! Meskipun perusahaannya masih relatif kecil, tapi semua selebriti papan atas ingin menjadi brand ambassadornya!" "Ya sudah, lagipula dia tidak mungkin membatalkan kerjasama hanya karena melihat kita bertengkar kan?" Rachel semakin marah. "Sekarang dia tahu kalau aku punya kekasih, bagaimana bisa ini sesuatu yang bisa dikatakan sebagai hanya?" "Apa maksudmu Rachel?" "Aku mengaku tidak punya kekasih saat tanda tangan kontrak, dan sekarang dia tahu aku berbohong! Semuanya karenamu!" Kriss membelalak. "Bagaimana bisa kau masih mengaku seperti itu Rachel? Kita sudah berkencan selama tiga tahun!" Dia juga mulai tersulut amarah. Padahal, saat dia melamar gadis ini, Rachel sudah setuju untuk terbuka ke publik mengenai hubungan mereka. Rachel menarik dan menghembuskan napas. "Baiklah, hanya ada satu pilihan untuk mempertahankan pekerjaanku saat ini." Dia menatap tepat ke mata Kriss. "Kita harus putus." "Rachel!" "Seperti yang kau lihat Kriss, aku tidak akan pernah bisa menomorsatukan hubungan kita, aku punya karir dan cita-cita yang ingin kukejar." Rachel melepaskan cincin yang telah menghiasi jari manisnya selama satu tahun lebih tanpa ragu, kemudian meletakkannya ke telapak tangan Kriss. "Selamat tinggal." Kriss berkedip, cincin yang masih menyisakan rasa hangat dari pemiliknya seolah tidak bisa menghangatkan hatinya yang perlahan beku. "Rachel, pernikahan kita adalah bulan depan, jika kau mau mengejar karir, aku akan mendukungmu sepenuhnya." Rachel menggeleng. "Bukan hanya karena karir, tapi karena aku juga belum siap terikat dalam pernikahan Kriss, aku masih ingin merentangkan sayapmu dengan lebar dan bebas. Untuk pernikahan itu, kau bisa mencari wanita lain untuk memuaskan keinginan orang tuamu. Selamat tinggal." Kali ini, Kriss tidak lagi mengejar. Bukan karena tidak mau, tapi karena dia merasa bahkan jika dia mengejar semuanya akan sia-sia. Rachel sama sekali tidak memiliki keraguan ketika melepas cincin pertunangan mereka. *** Kriiiiingg Kriiiiingg Angel mengeluarkan tangannya dari balik selimut dan meraba-raba meja nakas, ketika tidak menemukan jam weker yang masih betah berbunyi, dia membuka selimut dan mencari dengan mata setengah terpejam. Setelah itu, kembali menarik selimut untuk melanjutkan tidur. Tapi, hanya beberapa menit kemudian, ponselnya lah yang membangunkannya. Angel mengabaikannya, tapi si penelpon sepertinya orang yang cukup gigih, terus menelpon hingga ke lima kalinya. Angel mengerang keras dan menyibak selimut, menarik ponselnya dan mengangkat tanpa melihat nama si pemanggil. "Halo, siapapun kamu dan urusan apapun kau menghubungiku, tolong hargai waktu luangku, aku sedang libur hari ini." "Ini aku." Angel langsung membuka matanya lebar-lebar. "Ibu?" "Ya, Kenapa kau masih tidur jam segini? Apakah kau mabuk-mabukan lagi?" Angel memegangi kepalanya yang berdenyut dan bangkit dengan pelan. "Tidak, aku hanya minum sedikit." Bohong tentu saja, semalam dia pergi ke bar dan bahkan tidak begitu ingat bagaimana dia bisa kembali ke apartemen. Emilie adalah nama ibu Angel, dia adalah wanita yang lemah lembut, jadi meski tahu anaknya sedang berbohong, dia tidak akan memarahinya melalui telepon. "Ayo turun, aku ada di bawah," ujarnya pelan. Semua kantuk yang awalnya terus menggoda Angel menghilang sepenuhnya. "Di bawah? Bagaimana bisa ibu datang tanpa memberitahuku?" "Jadi apakah aku harus minta izin dulu jika ingin datang mengunjungi putriku?" "Tidak tentu saja, tapi ... Ah! sudahlah, tunggu sebentar, aku akan turun segera." Angel mematikan telepon dan berlari cepat ke kamar mandi. Cuci muka, menggosok gigi, dan merapikan penampilan. Tak lupa memakai banyak parfum agar bau alkohol tidak terlalu menyengat hidung ibunya. Tak lama kemudian, Angel akhirnya turun, masih dengan piyama satinnya. Karena tempat tinggal Angel adalah apartemen mewah dua lantai dengan pembatas kaca bening di tangga, Angel sudah bisa melihat sosok ibunya sedang menonton di ruang tamu sambil minum teh. Angel mengikat erat tali piyama kimononya dan berlari memeluk leher ibunya dari belakang, tak lupa kecupan singkat di pipi. "Selamat pagi Bu." "Selamat pagi." Emilie menggosok kepala putrinya sebelum mendorongnya menjauh. "Kau bau alkohol." Dia menjepit hidungnya. Angel tersenyum lebar dan mendudukkan diri ke sisi ibunya. "Padahal aku pake parfum banyak tadi." "Tapi kau tidak mandi." "Jika aku mandi dulu, ibu akan menunggu lebih lama lagi." Emilie memutar mata dan menyodorkan sandwich telur yang baru saja dia buat selagi menunggu Angel. "Sarapan dulu." Angel menerimanya dengan senang hati dan makan dengan lahap. Saat berada di depan ibunya, Angel memang tidak begitu memperdulikan tentang etiket dan sopan santun yang dia pelajari dari dunia kerja, dia selalu bersikap seadanya dan berinteraksi dengan Emilie layaknya seorang temen. Selesai makan, Angel memberikan jempol untuk masakan Emilie. "Masakanmu adalah yang terbaik!" Emilie tersenyum lembut dan mematikan TV, dia kemudian menoleh dan mulai berwajah serius. "Angel, apa kau benar-benar putus dari Hendry?" Angel langsung terbatuk karena pertanyaan tiba-tiba itu. Meskipun dia sudah memperkirakan bahwa ibunya pasti datang karena ingin membicarakan sesuatu, tetapi topik tentang putusnya hubungannya dengan Hendry sama sekali tidak pernah melintas di pikirannya. Jadi dari mana ibunya tahu? Angel tentu saja tidak akan menanyakan itu. Jadi dia menjawab, "ya, kami putus kemarin." "Kenapa?" "Hanya tidak cocok saja." Emilie menghela napas. "Kau selalu memberi alasan seperti itu setiap kali kau putus dengan seseorang, apakah standarmu tidak terlalu tinggi?" "Tidak, standarku biasa saja. Asalkan dia tinggi dan tampan, aku tidak masalah." Angel berkata jujur, tapi tidak memberitahu ibunya bahwa standar yang paling pokok adalah tidak jatuh cinta padanya. Jangankan jatuh cinta, memikirkan perasaan merepotkan itu saja sudah membuat Angel sesak napas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD