**
Kemarin ....
Aku melihatnya, suamiku dan kekasihnya atau entah ... apa hubungan mereka. Di dalam kamarku mereka memadu kasih dan berbagi mesra, diatas ranjangku wanita itu menggeliat dan suamiku mencumbunya dengan penuh gairah yang bergelora.
Cara mereka bersama, bagaimana suamiku berbisik pelan ke telinganya, bagaimana bibir itu menyentuh bahu wanita berkulit putih dan bertubuh indah itu, aku ... kehilangan kata-kata untuk mendeskripsikan bahwa aku ... Sakit.
Kurasa kalimat sakit terlalu universal untuk menggambarkan rasa sakit yang kedengarannya begitu-begitu saja, terdengar normal padahal tidak.
Ketika melihatnya dari balik pintu kamar, lidahku keluh dan tenggorokanku tercekat untuk sekedar mengucap satu kata. Napasku tersengal-sengal dan sesal ketika melihat ritme permainan mereka semakin memburu.
Dan ketika luapan kepuasaan itu terbang ke udara aku hanya mampu menahan tangisku dengan mulut dibekap kedua belah tangan. Aku memilih untuk menjauh, diam, bungkam dan mencari tahu mengapa ia berselingkuh, mengkhianatimu, cintaku, pengorbanan serta pengabdianku.
Dan ya, dia melakukannya di kamar kami, diatas ranjang kami, tega sekali bukan?
Suatu siang aku menyusuri kontak dan alamat kantor wanita itu, kuminta nomor teleponnya pada bagian informasi di loby lalu kuhubungi dan meminta waktu dengannya di jam istirahat siang.
"Apa hubunganmu dengan suamiku," kataku pada wanita cantik dengan rambut tergerai panjang itu, kulitnya bak porselen dengan bibir tipis merah muda, wanita yang duduk di hadapanku saat ini.
"Aku tak mengerti apa maksudmu," ucapnya dengan senyum yang terlihat dipaksakan.
"Dengar, tak peduli apa yang telah terjadi antara kalian aku hanya ingin kau meninggalkan suamiku." Aku mengucapkan tetap dengan nada tenang meski napas ini tertahan.
Kali ini dia mengangkat wajahnya dan menatapku tajam seolah sorot mata itu menyiratkan sesuatu, sebuah penolakan.
"Andai pun aku meninggalkan dia, apa kamu yakin rumah tanggamu akan tetap bahagia, akan tetap utuh, kau punya jaminannya?" nada itu cukup menekan di pendengaranku.
Berani sekali dia.
Apalagi dia mengatakan itu dengan tatapan yang begitu percaya diri, sedikit sudut bibirnya melengkung dengan gestur mengejekku.
"Aku mohon, suamiku ... Aku mencintainya, sedangkan kamu ... Kamu masih muda dan kuyakin banyak pria yang menyukaimu." Aku terbata-bata karena mencoba menahan emosi yang kian membuncah.
Ia meletakkan cangkirnya dengan kasar sembari menggebrak meja, meraih tas lalu pergi begitu saja meninggalkanku.
"Aku tak akan mengampunimu," ancamku namun masih dengan nada pelan.
"Tak masalah, kita lihat siapa yang memenangkan pertaruhan memenangkan hati Mas Randy.
Randy ...
Ya nama itu, pria yang berhasil menundukkan hatiku dan berhasil meyakinkan Papa untuk membawaku pada ikatan pernikahan suci yang hingga saat ini belum dikaruniai seorang buah hati pun.
Suamiku, ia pria yang baik, senyumnya ramah, berhidung mancung dan memiliki tatap mata yang selalu menyiratkan sebuah rasa yabg tersimpan untukku. Tiap kali aku bersitatap kusadari diriku tenggelam dan tersesat dalam sorot yang membiuskannya. Bila harus jujur, aku jatuh hati padanya tiap hari, tiap waktu, bahkan tiap detik dalam hidupku.
Dia pemuda yang kukenal semasa kuliah, meski fakultas kami berbeda entah mengapa sebuah pertemuan yang tak disengaja di perpustakaan membuka jalan pertemanan untuk kami.
Dia memang sosok yang menarik, supel dan pintar. Ia tak pernah kehabisan cara dan topik pembicaraan untuk menghabiskan waktu denganku. Candaannya dan sorot matanya yang bersemangat adalah daya tarik yang telah melelehkan hatiku.
"Uhm, mengapa kamu memilih berteman denganku," kataku kala itu, delapan tahun yang lalu ketika kami berada di semester 7.
"Apa berteman butuh alasan?" tanyanya.
"Tidak, hanya saya, kamu terlaku baik dan perhatian, aku takut aku akan menyukaiku," kataku dengan jujur.
Ia tertawa kecil sambil menutup buku yang tadi ia baca.
"Imelda, jika kau menyukaiku, aku tak punya alasan untuk menolak rasa itu." Ia kembali menatap lekat padaku.
"Namun ... Aku mungkin tidak pantas, lihatlah diriku, ...." Aku memperhatikan tubuhku sendiri sambil meremas jemariku.
"Apa yang salah dengan tubuhmu?"
"Aku gemuk dan tidak cantik, apakah kamu tidak malu."
Ia tersenyum kecil lalu meraih jemariku dan menggenggamnya erat. Membuatku sedikit salah tingkah dan berdebar-debar tak karuan.
"Sebaliknya, jika tiba waktunya aku akan melamarmu."
"Apa?!" Aku berusaha memastikan bahwa aku tidak salah dengar.
"Setelah wisuda dan mendapatkan pekerjaan aku akan menemui orang tuamu dan memintamu menjadi istriku?"
"Kau yakin?"
"Ya."
Kupeluk erat dirinya dengan hati yang bagai disiram bunga-bunga. Betapa hari ini ia memberiku kejutan, kebahagiaan yang tak terduga. Dan pada tahun-tahun berikutnya ... Kini aku istrinya.
Beberapa hari yang lalu ia memintaku menemui ibunya, sekedar mengunjungi, untuk menghibur karena anak lelakinya kurang memiliki waktu untuk menemui orang tua sendiri, jadi sebagai menantu yang berbakti aku menurut pada permintaan suamiku. Terlebih lagi dia memintaku dengan nada yang amat lembut dan merendah, seolah aku adalah bidadari yang selalu akan dia muliakan.
Namun sekembalinya dari sana, adegan mengejutkan itu, terpampang jelas di mataku. Aku terpana, terluka, dan kini, luka itu bernanah dan menimbulkan sakit serta benih-benih dendam yang tak terlupa.
Next.
Pante
.